Gen Z dan Narasi Demo Mahasiswa yang Kekinian

24 September 2019 13:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana demonstrasi di depan kantor DPRD Kota Malang, Senin siang (23/9/2019). Foto: Tugumalangid/bayu eka novanta
zoom-in-whitePerbesar
Suasana demonstrasi di depan kantor DPRD Kota Malang, Senin siang (23/9/2019). Foto: Tugumalangid/bayu eka novanta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demonstrasi tak melulu mesti disampaikan secara serius. Tak perlu pula dengan narasi yang berat-berat. Cukup dengan bahasa sehari-hari, sebuah demonstrasi besar pun dapat terlaksana. Sesederhana spanduk bertuliskan ‘Gedung Ini Jadi Warung Pecel Lele’ yang ditempel saat demo mahasiswa di Gedung DPRD Malang, Senin (24/9).
ADVERTISEMENT
Ketimbang menulis ‘Gedung Ini Disegel’, diksi yang dipilih di beberapa demo mahasiswa justru surplus metafora. Mereka bermain-main dalam ranah semiotika. Tanpa harus menghilangkan esensi dari demonstrasi itu sendiri. Bahwa mahasiswa tengah marah terhadap wakil rakyat.
“Tujuan utamanya ada dua, pertama untuk mendukung dan memberikan semangat kepada kawan-kawan di Jakarta agar bisa menduduki Gedung DPR RI. Kedua, penyatuan Gerakan rakyat,” kata Reni Eka Mardiana, Korlap Perwakilan dari Resister Indonesia, kepada tugumlaang.id, partner 1001 media kumparan.
Reni adalah satu dari ribuan mahasiswa yang memadati Gedung DPRD Malang. Massa yang tergabung dalam berbagai aliansi itu berunjuk rasa untuk menolak sejumlah RUU yang dinilai problematis. Di antaranya adalah Revisi KUHP, RUU Pertanahan, hingga RUU Sumber Daya Air.
ADVERTISEMENT
Massa yang mengenakan pakaian serba hitam itu juga membawa sejumlah poster. Tulisannya pun unik-unik. Misalnya, mereka menulis: ‘Hadeh Kesel Banget’, hingga ‘Asline Mager Pol. tapi Piye Meneh? DPRe Pekok!’.
Massa menutup baliho iklan dengan spantuk tuntutan. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Selain di Malang, ekskalasi massa yang lebih besar ada di Yogyakarta. Di kota gudeg tersebut, demo mahasiswa berpusat di Gejayan (Jalan Affandi). Tuntutannya pun sama, yakni menentang sejumlah RUU yang dinilai menyusahkan masyarakat.
Gejayan sendiri memiliki sejarah yang melekat pada mahasiswa Yogyakarta. Pada tahun 1998, gerakan pro reformasi melaksanakan aksi di tempat tersebut. Setelah 21 tahun, Gejayan kembali menggema. Kali ini dengan narasi dan pengemasan isu yang unik. Mahasiswa sekarang menggunakan kalimat-kalimat sederhana dan terbilang kekinian.
“Tentunya kami semacam flashback ke belakang, bahwa ini tempat bersejarah dan bisa menggerakkan semua elemen masyarakat dan buktinya ini sekitar 20 ribu orang. Dari semua kampus di Yogya, bahkan ada dari Magelang,” kata Rico Tude, Kordinator umum Aliansi Rakyat Bergerak.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta Pusat, pada Senin (23/9). Foto: Irfan Adi Saputra/kumpara
Dalam satu poster yang dibawa misalnya, tertulis ‘Aku ingin ayang-ayangan tanpa ditangkap polisi’. Kalimat sederhana merujuk pada Pasal 417 RKUHP. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa negara mengancam hukuman satu tahun penjara untuk orang yang melakukan persetubuhan di luar ikatan pernikahan.
Terkait dengan isu karhutla yang tengah mendera Sumatera dan Kalimantan, mahasiswa tak menggunakan bahasa-bahasa ilmiah. Dibandingkan menggunakan diksi yang kaku, mahasiswa di Yogya lebih memilih diksi: “Asap Ini Menutupi Ketampananku’.
Gen Z dan Politik
Gen Z adalah sebuah Gen yang lahir di era internet tumbuh. McCrindle Research Centre di Australia menyebut Gen Z sebagai orang yang lahir pada 1995 sampai 2009. Sementara itu, Paw Research Center menyebut Gen Z adalah orang-orang yang lahir setelah tahun 1997.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan klasifikasi itu, mahasiswa yang turun ke jalan adalah Gen Z. Mereka adalah mahasiswa angkatan 2013-2019 yang lahir di atas tahun 1995. Sebuah Gen yang bahkan kerap dipandang ‘masa bodo’ tak tertarik dengan politik sama sekali.
Massa mahasiswa yang membawa poster "RIP Kos-Kosan Bebas". Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Meski demikian, kenyataan justru berbicara sebaliknya. Dalam sebuah survei dari The Harris Poll yang mewakili American Psychological Association, terungkap bahwa Gen yang lahir pada pertengahan era 90-an sampai pertengahan 2000-an jutsru lebih peduli terhadapn isu sosial dan politik ketimbang Gen di atasnya
Dalam isu deportasi imigran di AS misalnya, terdapat 57% Gen Z yang mengaku peduli dengan isu ini. Angka tersebut lebih besar ketimbang responden usia dewasa yang hanya 45%. Untuk kasus kekerasan dan pelecehan seksual, terdapat 53% Gen Z yang peduli dibandingkan 39% orang dewasa.
Demo Mahasiswa di Kantor DPRD Tegal Foto: panturapost
Survei itu sendiri dilaskanakan selama periode Juli hingga Agustus 2018. Ada 3.458 orang dewasa dan 300 responden dari Gen Z yang terlibat dalam survei tersebut.
ADVERTISEMENT
"Isu sosial dan politik membuat banyak orang menjadi stres, tetapi anak-anak mudalah menjadi golongan yang paling merasakan dampaknya," ungkap Arthur C. Evan, Chief Executive Officer American Psychological Association.
Gen Z dalam Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme adalah cara pandang yang melihat seluruh manusia adalah setara. Seluruh suku bangsa, ras atau bahkan agama sekalipun merupakan satu komunitas tunggal di bawah bendera kemanusiaan.
Demo Mahasiswa di Kantor DPRD Tegal Foto: panturapost
Mehdi Nejatbakhsh dalam Globalization, Cosmopolitanism, and the New Generations: Growing Up with Global Ties (2014) memaparkan, Gen Z percaya akan gagasan kosmopolitanisme.
Teknologi informasi membuat Gen Z lebih melek terhadap persoalan dunia. Semua itu bisa mereka peroleh dari film, YouTube, atau bahkan media sosial. Kesadaran itu bertumbuh dari sana.
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Gen Z lantas memiliki gaya berpolitik yang berbeda dengan generasi di atasnya. Oleh sebab itu, tak perlu heran bila mahasiswa di Indonesia melakukan aksi dengan caranya yang unik.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah generasi yang berpikiran terbuka, toleran, dan percaya tentang masa depan yang lebih baik.
Hidup Mahasiswa!