Golput yang Tak Pernah Redup

4 Februari 2019 13:09 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengenang Reformasi '98 Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
zoom-in-whitePerbesar
Mengenang Reformasi '98 Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alghiffari Aqsa punya pesan singkat ketika menggelar deklarasi “Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana” di Kantor YLBHI, Cikini, Rabu (23/1). Ia berada di tengah barisan kelompok yang tak ingin menggunakan hak suara saat dalam pemungutan suara Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Alghif, nama sapaan Alghiffari Aqsa, berdiri bersanding dengan rekan-rekannya dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Jakarta, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Mereka selama ini dikenal tekun mendampingi korban pelanggaran HAM masa lalu.
Tapi nyaris lima tahun perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo mereka tak pernah mengecap kemajuan atas perkembangan kasus yang mereka bela. Dilupakan.
Padahal saat Pilpres 2014 sebelumnya mereka berdampingan dengan Jokowi, menerima janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Sebut saja janji Jokowi mencari Wiji Thukul, penyair yang namanya tercantum dalam kasus penghilangan paksa 1997-1998. Namun, hasilnya sampai sekarang nihil.
ADVERTISEMENT
“Pada tahun pertama, masyarakat sipil betul-betul merapat, malah justru Jokowi yang menjauh,” keluh Alghif kepada kumparan di kediamannya, Bekasi, Rabu (30/1).
Mereka tak hanya bersikap dengan golput. Menurut Alghif, rekan-rekannya sudah bertekad mengampanyekan golput. Sikap ini akan menjadi garis perlawanan—melawan alpa.
Sumarsih dan payung hitam di Aksi Kamisan. Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan
Golput memang sudah lama menjadi bentuk perlawanan dalam lembar sejarah demokrasi Indonesia. Ia tak pernah digdaya merebut kuasa, tapi paling tidak dapat menggerus legitimasi. Pada masa Orde Baru, golput merupakan perlawanan atas manipulasi demokrasi oleh penguasa.
Istilah golput—golongan putih—lahir atas keikutsertaan Golongan Karya sebagai peserta Pemilu 5 Juli 1971. Kelompok ini mendorong pemilih mencoblos kertas putih alih-alih menyumbang suara kepada Golkar yang disebut bakal menang bahkan sebelum Pemilu 1971 digelar.
ADVERTISEMENT
Gerakan ini merupakan wujud ikhtiar untuk memastikan Pemilu 1971 terselenggara dengan adil seperti marwahnya. Stephanie Sapiie menuliskan dalam Intellectual Identity and Student Dissent in Indonesia in the 1970s bahwa golput merupakan pengingat terhadap moralitas politik yang tengah berada dalam bahaya pada saat itu.
Pada periode itu, pemerintah Orde Baru tampak begitu gamblang menggunakan perangkat pemerintahan untuk memenangkan pemilu. Mulai dari jaringan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pegawai negeri sipil, hingga birokrasi di semua tingkat menjadi alat politik pemenangan Golkar.
Aktivis Angkatan ‘66 Arief Budiman mempelopori gerakan golput ketika menghadiri Diskusi Kader Nasional Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Ia menyebut Pemilu 1971 sebagai “sandiwara penguasa untuk mempertahankan kekuasaan.”
Golput kala itu tidak berusaha ikut bersaing dalam kontestasi pemilu. Gerakan ini hanya disebut Arief bagian dari tanggung jawab moral atas realitas pemilu saat itu.
ADVERTISEMENT
“Mahasiswa hanya berusaha menyuarakan aspirasi mereka, untuk memberi tahu para pembuat kebijakan tentang masalah dan ketidakadilan, dan kemudian, seperti dalam mitologi Jawa klasik, mundur,” ucap Arief seperti termuat dalam tulisan Stephanie Sapiie.
Gerakan golput tak mampu membendung kemenangan Golkar yang memuncaki Pemilu 1971 dengan meraup 236 kursi di DPR atau 63,8 persen suara. Angka partisipasi politik ketika itu cukup tinggi, mencapai 96,6 persen.
Protes terhadap Soeharto Foto: Emmanuel Dunnand/AFP
Direktur Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre, Ariel Heryanto, mengatakan rendahnya angka golput dulu itu bukan sarana untuk mengukur kekuatan sikap politik. Menurutnya, golput adalah sikap relevan karena Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru. Kemenangan Golkar pun terus bergulir selama tujuh kali sampai Pemilu 1997.
ADVERTISEMENT
“Golput berfungsi seperti lampu alarm atau bunyi sirene. Ia mengingatkan kita, ada yang tidak benar. Atau ada ancaman bahaya bila diterus-teruskan,” kata Ariel melalui surel kepada kumparan, Jumat (1/2).
Reformasi Tahun 1998. Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
Setelah Soeharto tumbang pada 1998, harapan terhadap demokrasi yang murni tumbuh. Pencarian sistem pemilu yang mewadahi suara rakyat melalui partai politik mendapat sambutan meriah.
Andi Mallarangeng yang pada 1998-1999 duduk sebagai tim perancang pemilu, mengakui perwakilan suara rakyat rentan jika langsung diberikan kepada negara. Sistem itu, berdasarkan pengalaman semasa Orde Baru, justru disalahgunakan untuk kepentingan penguasa.
“Nanti bisa saja dimobilisasi. Kalau mobilisasi diarahkan pada satu partai kan (penyalahgunaan),” kata Andi ketika berbincang dengan kumparan.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu 1999, angka partisipasi politik terhitung mengagumkan, yaitu mencapai 92,6 persen. Andi meyakini sisa angka yang tak ikut Pemilu 1999 lebih karena faktor administrasi, bukan perkara golput ideologis seperti gerakan Arief Budiman pada 1971.
Sayangnya, perjalanan reformasi tidak kemudian menghapus golput dalam politik Indonesia. Jarak partisipasi politik dengan angka golput kembali lebar pada Pemilu 2004, tatkala Indonesia pertama kali menggelar pemilihan presiden secara langsung.
Angka golput pada Pemilu Legislatif 2004 mencapai 15,9 persen. Sementara golput pada Pemilu Presiden 2004 putaran pertama mencapai 21,8 persen, dan naik pada putaran kedua sebesar 23,4 persen.
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
Berbagai peristiwa politik diyakini mempengaruhi peningkatan golput. Misal saja mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan terang-terangan golput pada 11 Juni 2009. Sikap ini ia tegaskan karena konflik internal partainya, PKB. Sikap Gus Dur itu berlanjut di Pemilu 2009.
ADVERTISEMENT
Pada saat bersamaan, gerakan golput muncul dari masyarakat sipil seperti Fadjroel Rachman dan Sri Bintang Pamungkas. Fadjroel sempat memperjuangkan diri sebagai capres independen akhirnya memilih golput. Judicial review yang ia ajukan ditolak Mahkamah Konstitusi pada 17 Februari 2009.
Sementara Sri Bintang Pamungkas menggelar Kongres Nasional Golput di Yogyakarta pada 8 Mei 2009 dan di Jakarta pada 10 Mei 2009 sebagai simbol protes terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kongres itu lalu dibubarkan paksa dan Sri Bintang ditahan polisi.
"Kongres Nasional Golput pada intinya menolak pelaksanaan Pilpres 2009," ucap Sri Bintang seperti dilansir Antara.
Menurut Ariel Heryanto, aspirasi Gus Dur, Fadjroel, dan Sri Bintang bisa dianggap mirip dengan aspirasi Arief ketika mengampanyekan golput pada 1971. Golput ideologis bukan berarti tak muncul pada masa Reformasi.
ADVERTISEMENT
“Sama dengan alasan golput selama hampir setengah abad terakhir,” kata Ariel, “Krisis kepercayaan publik (ditujukan) terhadap kualitas kontestan atau sistem pemilu secara keseluruhan.”
Angka golput nyatanya cenderung naik melampaui tren perolehan suara partai politik yang justru turun. PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 1999 mengantongi 33,74 persen suara, sedangkan Partai Golkar yang memenangi Pemilu 2004 meraup 21,58 persen suara.
Kampanye Golkar tahun 2004. Foto: AFP/Kemal Jufri
Suara partai pemenang kembali turun kala Partai Demokrat yang menjadi kampiun Pemilu 2009 meraih 20,81 persen suara. Suara partai pemenang kemudian turun menjadi 18,95 persen ketika PDIP memenangi Pemilu 2014.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memberikan catatan soal golput pada masa Reformasi ini. Menurutnya, ada pergeseran makna golput. Sikap ini tak semata-mata diartikan sebagai kehadiran gerakan politik yang menolak memilih.
ADVERTISEMENT
Peran peserta pemilu sekaligus KPU menjadi faktor penting naik-turunnya angka partisipasi politik. Lonjakan angka golput pada Pileg 2004 dan 2009 dari 15,9 persen ke 29,1 persen terjadi karena perubahan sistem proporsional terbuka.
Pada Pileg 2009, para calon legislatif kaget dengan putusan MK soal perhitungan suara yang mepet dengan pelaksanaan pemilu, sehingga mereka tidak maksimal dalam melakukan kampanye.
Warga mengambil surat suara saat melakukan simulasi pemungutan suara di Desa Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (12/5). Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
“Ada golput yang politis, ada golput yang apolitis, ada golput yang teknisi—tidak bisa menggunakan hak pilih karena kendala administrasi, atau bahkan golput yang dihambat oleh negara untuk bisa mendapatkan hak pilihnya,” kata Titi kepada kumparan.
Terbukti partisipasi pemilih pada Pileg 2014 berhasil menurunkan golput menjadi 24,89 persen. Titi meyakini caleg sudah terbiasa dengan sistem proporsional terbuka. “Caleg langsung membangun komunikasi politik dengan pemilih,” katanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, angka partisipasi pileg sejak 2004 selalu lebih tinggi dibanding dengan pilpres. Hal ini juga terjadi dalam pilkada. Artinya, semakin banyak calon, partisipasi semakin tinggi.
Data milik Titi terbukti pada Pilkada Serentak 2018. Pilgub Jawa Barat yang mempertarungkan 5 calon berhasil mencetak angka partisipasi pemilih sebanyak 71 persen.
Angka itu lebih baik dari provinsi lain yang ikut menggelar pilgub namun hanya dengan dua kandidat. Misal Pilgub Jawa Tengah dengan tingkat partisipasi 64,6 persen, Jawa Timur 62,23 persen, dan Sumatera Utara 64,2 persen.
Jebloknya partisipasi politik pada Pilpres 2014 pun membuktikan terdapat kejenuhan akibat minimnya pilihan politik dalam pertarungan dua calon. “Ada kelompok yang merasa tidak terfasilitasi dengan pilihan politik yang ada sehingga merasa jenuh, kemudian (berpikir) untuk apa (memilih),” kata Titi.
ADVERTISEMENT
Komisioner KPU Wahyu Setiawan menyatakan, lembaganya tak dapat membedakan antara golput ideologis atau golput karena kendala teknis. Meski begitu, ia memaklumi jika masih terdapat kelompok yang memilih golput ideologis, sebab sikap itu merupakan hak. Apalagi banyak faktor politik yang mempengaruhi sikap pemilih.
“Itu sikap politik yang lumrah menurut saya, meskipun tentu KPU tidak sejalan dengan hal itu,” kata dia, Kamis (31/1).
Infografik Potensi Golput 2019. Foto: Basith Subastian/kumparan
Apa pun pilihan politik yang diambil individu, Wahyu menekankan tugasnya sebagai KPU adalah untuk memastikan hak-hak pemilih terpenuhi. Nah, apakah hak itu dilaksanakan atau tidak, terserah pada pemilih.
Saat ini KPU mematok target angka partisipasi pemilih 77,5 persen pada Pemilu 2019. Pada 2014, partisipasi pemilih dalam pileg dapat melampaui target 75 persen, yakni 75,14 persen. Namun partisipasi pada pilpres hanya mencapai 70 persen, turun dibanding Pilpres 2009 yang keikutsertaan pemilihnya di angka 72 persen.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya: apakah target partisipasi tinggi akan meredupkan golput?