Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut pencabutan hak politik selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok.
ADVERTISEMENT
Jaksa penuntut umum (JPU) KPK mengatakan, Irwandi dinilai terbukti menerima suap Rp 1,05 miliar bersama dengan staf khususnya, Hendri Yuzal dan orang kepercayaannya, Teuku Saiful Bahri. Suap itu, kata jaksa KPK, berasal dari Bupati Bener Meriah nonaktif Ahmadi.
Dalam berkas yang sama, jaksa juga menuntut Hendri 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara Teuku dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Menuntut, memohon majelis hakim menyatakan terdakwa Irwandi Yusuf, terdakwa Hendri Yuzal dan terdakwa Teuku Saiful Bahri, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata jaksa KPK Ali Fikri saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/3).
Di kasus suap, Irwandi menerima Rp 1,05 miliar agar menyetujui usul Ahmadi supaya kontraktor di Kabupaten Bener Meriah dapat mengerjakan proyek infrastruktur yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Tahun 2018, Aceh mendapat DOKA sebesar Rp 8,02 triliun. Dari dana tersebut, Kabupaten Bener Meriah mendapat porsi anggaran sebesar Rp 108,7 miliar.
Irwandi melalui Hendri dan Saiful Bahri disebut mengarahkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemprov Aceh agar menyetujui usulan Ahmadi.
Menurut jaksa, uang Rp 1,05 miliar diberikan Ahmadi kepada Irwandi secara bertahap melalui Teuku dan Hendri. Tahap pertama diberikan Rp 120 juta, tahap kedua Rp 430 juta dan tahap ketiga diberikan senilai Rp 500 juta.
Menurut jaksa, uang Rp 500 juta yang diberikan di tahap ketiga dipakai Irwandi untuk kegiatan Aceh Marathon tahun 2018.
Perbuatan Irwandi bersama Hendri dan Teuku Saiful dianggap telah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Gratifikasi Irwandi
Dalam tuntutan, jaksa juga menilai Irwandi terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 41,1 miliar. Gratifikasi itu diterima selama Irwandi menjabat menjadi Gubernur Aceh pada periode 2007-2012 dan periode 2017-2022.
Rinciannya, dalam periode jabatan 2017-2022, Irwandi disebut menerima Rp 8.717.505.494, miliar. Gratifikasi itu diterima Irwandi terkait paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh.
Sementara dalam periode tahun 2007-2012, Irwandi disebut menerima gratifikasi sebesar Rp 32,4 miliar. Menurut jaksa, Irwandi menerima gratifikasi bersama-sama dengan Izil Azhar alias Ayah Marine. Izil sudah menjadi tersangka dalam kasus ini, namun statusnya masih Daftar Pencarian Orang (DPO).
Uang itu disebut bersumber dari dana biaya konstruksi dan operasional proyek pembangunan Dermaga Bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Aceh yang dibiayai APBN, pada tahun anggaran 2006-2011.
ADVERTISEMENT
"Bahwa sejak menerima uang Rp 32.454.500.000, terdakwa tidak melaporkan kepada KPK sampai batas waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Padahal penerimaan tersebut tidak sah menurut hukum," ujar jaksa.
Di kasus grarifkasi, Irwandi dianggap telah melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Hal yang memberatkan tuntutan Irwandi, Hendri, dan Teuku yakni tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak mengakui perbuatannya.
Sedangkan hal yang meringankan yakni ketiganya bersikap sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum. "Terdakwa Irwandi juga berjasa dalam perdamaian Aceh," kata jaksa.