Hanura: Deklarasi Gerakan #2019GantiPresiden Tak Beradab

27 Agustus 2018 8:12 WIB
Kaos Ganti Presiden 2019. (Foto: dok. Bekti Prasetya via Bukalapak)
zoom-in-whitePerbesar
Kaos Ganti Presiden 2019. (Foto: dok. Bekti Prasetya via Bukalapak)
ADVERTISEMENT
Langkah kepolisian yang menolak adanya deklarasi gerakan #2019GantiPresiden di beberapa daerah turut mendapat dukungan dari partai pendukung pemerintah.
ADVERTISEMENT
Seperti Partai Hanura, yang memuji langkah kepolisian untuk melarang acara deklarasi #2019GantiPresiden sebagai tindakan yang perlu. Ketua DPP Benny Ramdhani menjelaskan hal itu karena gerakan #2019GantiPresiden dianggap berjalan dengan cara yang tidak beradab.
Ia menegaskan para orator gerakan tersebut kerap melontarkan caci maki, fitnah, hingga ujaran kebencian. "Kalau kebebasan berekspresi atas dasar dilakukan cara-cara tidak beradab yang keluar dari mulut para oratornya, lebih mencerminkan provokator yah," kata Benny kepada kumparan, Senin (27/8).
"Karena yang keluar dari mulut mereka adalah caci maki, fitnah, adu domba ujaran kebencian ya. Bahkan, kadang kala menggunakan tema-tema suku dan agama," lanjutnya.
Benny Ramdhani di Kediaman OSO. (Foto: Soejono Eben/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Benny Ramdhani di Kediaman OSO. (Foto: Soejono Eben/kumparan)
Ia mengatakan kebebasan berekspresi seperti dibatasi oleh UU sendiri. Sehingga, penolakan yang ada ditegaskannya tak harus menyalahkan Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
"Nah di sinilah kebebsan berekspresi, kebebesan berpendapat mereka dibatasi oleh konstitusi, oleh UU yang jadi membatasi ruang gerak mereka menyatakan kebebasan berpendapat itu adalah UU sendiri,'' jelasnya.
"Tidak bisa disalahkan pada Jokowi," imbuhnya.
Hal itu pun diakuinya sudah menimbulkan perlawanan dari beberapa kelompok masyarakat yang tak setuju dengan deklarasi gerakan tersebut. Ia menyebut kelompok masyarakat marah.
"Akhirnya melahirkan resistensi dan bahkan perlawanan rakyat. Resistensi perlawanan rakyat karena mereka (Deklarator #2019GantiPresiden) tidak menjadi orator yang mengekspresi kebebasan berpedapat, tapi lebih provokator," katanya.
"Nah itulah yang membuat rakyat marah. Akhirnya mendorong silent majority bergerak melakukan perlawanan," pungkasnya.