Hasan Machfoed: Terawan ‘Menyulap’ Alat Diagnosis Menjadi Alat Terapi

8 April 2018 11:33 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mayjen TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad (K) membuat geger publik. Anggota Tim Dokter Kepresidenan era SBY yang juga Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto ini dipecat selama 12 bulan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
ADVERTISEMENT
Alasannya, Terawan melakukan pelanggaran berat Kode Etik Kedokteran. Setidaknya, ada dua pasal yang--menurut Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI (MKEK IDI)--ditabrak oleh Terawan, yakni Pasal 4 dan Pasal 6.
Pasal 4 menyatakan bahwa seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan memuji diri sendiri, termasuk di dalamnya publikasi diri melalui berbagai media massa dan menjadi satu-satunya “tokoh” dalam pemberitaan tersebut, tak mencegah orang lain mempublikasikan dirinya, serta mengizinkan orang awam untuk menonton langsung teknik pengobatan yang ia lakukan.
Sementara Pasal 6 berbicara soal kehati-hatian dalam mengumumkan teknik pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya kepada masyarakat. Di sinilah persoalan metode “cuci otak” lalu dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Metode yang dipraktikkan oleh Terawan setidaknya sejak 2011-2012 itu telah berulang kali dikritik, salah satunya oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Prof. Dr. Moh. Hasan Machfoed, dr. sps K, Ms.
Sejak 2015, Hasan telah berbicara dengan lugas kepada media bahwa metode cuci otak milik Terawan tidak bisa mencegah ataupun mengobati stroke. Hasan juga mengganggap Terawan dengan metodenya yang belum teruji itu sudah banyak membohongi publik.
Metode cuci otak Dokter Terawan. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Pada Agustus 2016, Terawan lolos uji promosi doktor di Universitas Hassanuddin dengan disertasi berjudul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis”.
Di tahun itu pula, Hasan bersama tim melahirkan ulasan atas artikel penelitian Terawan. Hasil kajian yang berisi sanggahan terhadap riset Terawan itu dipublikasikan di Bali Medical Journal dan BAOJ Neurologi, AS.
ADVERTISEMENT
Berikut petikan wawancara kumparan bersama Ketua Perdossi Hasan Machfoed, Rabu (5/4), guna memahami sisi lain dari metode ‘cuci otak’ yang ternama itu.
Hasan Machfoed (Foto: Dok. Hasan)
Bisa jelaskan tentang DSA (Digital Subscription Angiography)? Ini untuk mengobati dan mencegah stroke?
Jadi begini, kalau misalnya Anda sakit batuk dua bulan, Anda pergi ke dokter apa? Dokter paru atau spesialis paru kan, bukan spesialis kandungan. Oleh dokter spesialis paru, Anda lalu dirontgen dada, kemudian (didiagnosis), “Oh paru-paru basah karena Anda suka bergadang.”
Nah, paru-paru basah kan nama penyakit, ya. Kemudian foto rontgen dada itu namanya X-ray--alat untuk diagnosis. Jadi kemudian sama dokter paru-paru (dibilang), “Sudah, enggak usah berobat lagi.”
“Loh, kenapa Dok?”
“Karena dengan foto dada itu sudah bisa mengobati sakit paru-paru Anda.”
ADVERTISEMENT
Nah, Anda percaya enggak? Enggak percaya, kan?
(Jadi ibarat mengatakan), “Sudah, enggak usah saya obati. Karena setelah saya rontgen dada, Anda selanjutnya akan terhindar dari penyakit paru-paru. Jadi ini (rontgen berubah jadi alat) prevensi (pencegahan).”
Anda percaya enggak? Kenapa enggak percaya? Alat foto dada itu kan hanya untuk diagnosis.
Lipsus Dokter Terawan. (Foto: Johanes Hutabarat/kumparan)
DSA itu singkatan dari Digital Subtraction Angiography. Metodenya dengan memasukkan cairan kontras. Cairan kontras itu zat warna yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah yang mengalir ke arah otak.
(Setelah dialiri cairan kontras), gambaran pembuluh darah itu kelihatan. Jadi, kalau pembuluh darahnya bengkak, membesar, atau buntu, akan kelihatan dengan cairan kontras. Nah, supaya tidak terjadi pembekuan darah selama proses tersebut, dikasih heparin.
ADVERTISEMENT
Jadi, yang namanya DSA itu di semua rumah sakit itu ada, dan setiap hari dipakai (DSA) itu. Yang mengerjakan (DSA) itu ahli radiologi seperti dr. Terawan. Nah sama Dokter Terawan metode DSA itu diganti nama menjadi metode ‘pencuci otak’.
Sebetulnya alat biasa, bukan Terawan yang menemukan DSA. DSA itu sudah lama ditemukan orang. Biasa itu, oleh Terawan diganti namanya. DSA menjadi metode “cuci otak”. Kemudian ini (publik berkata), “Waduh, hebat ini penemuan baru.”
Kan gitu orang, ya. Semua ingin mencoba, maka laris manis. Padahal itu hanya obat untuk diagnosis, pas dipakai Terawan itu (digunakan) untuk terapi stroke. Lah itu dosanya sudah lima kali itu, berbohong kan gitu.
Ilustrasi Bedah Operasi (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Cairan yang katanya “ajaib” itu, Anda tahu namanya?
ADVERTISEMENT
Yang disemprot itu ya heparin. Namanya heparin flushing, itu yang disemprot.
Semua disemprot. Anda pernah sakit enggak? Pernah diinfus? Ya itu kan disemprot itu. Kalau enggak disemprot, ya enggak masuk dong. Disemprot itu bahasanya flushing.
Heparin itu cairan untuk mencegah supaya jangan sampai terjadi pembekuan darah.
Jadi, heparin tidak bisa mencegah atau menyembuhkan stroke?
Stroke kan macam-macam. Yang paling banyak itu stroke pembuntuan (iskemik) yang Terawan kerjakan itu. Ya kalau misalnya baru, dengan thrombolysis namanya, obat alteplase (obat yang bekerja dengan cara membantu memecah gumpalan darah yang tidak diinginkan).
Thrombo itu bekuan, lysis itu menghancurkan. Jadi thrombolysis itu obat yang menghancurkan bekuan yang menyumbat otak. Bukan heparin, bukan.
ADVERTISEMENT
Menurut Anda metodenya tidak ilmiah?
Ya enggak ilmiah. Jadi orang dibohongi. Cuma kan sekarang masyarakat enggak tahu itu bohong atau enggak.
Sekarang masalahnya presiden dibohongi, menteri-menteri dibohongi. Lah mereka kan orang awam. Meskipun menteri, enggak ngerti (kedokteran), metodenya enggak ngerti. Sekarang, ini (katanya) sudah berguna sama ribuan orang, mana buktinya kalau berguna?
Apakah disertasinya tak cukup jadi tolak ukur metode ini disebut ilmiah?
Disertasinya itu tidak didukung oleh referensi ilmiah yang memadai. Tidak memiliki dasar atau fakta ilmiah yang kuat.
Dia (Terawan) memang ada penelitian ini, katanya sembuhlah (pasiennya). Biasanya dalam diskusi itu harus ditunjukkan referensi-referensi orang lain yang mendukung penelitian, (referensi) itu tidak ada.
ADVERTISEMENT
Penelitan tentang heparin itu ada tiga sampai empat ribu, tapi dari sekian banyak itu enggak ada yang mendukung penelitiannya dia.
Disertasi itu penelitian paling tinggi. Hasilnya bagus. Tapi disertasi (Terawan) itu setelah dievaluasi, ternyata tidak didukung oleh kaidah-kaidah ilmiah yang sesuai. Jadi dari proses dasarnya sudah salah. Wong itu untuk diagnosis (malah) dibikin (buat) terapi, sudah salah besar.
Sanggahan untuk Dokter Terawan (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
Tahapan pembuktian ilmiah seharusnya seperti apa?
Harus melalui penelitian ilmiah. Kalau di kedokteran itu berat karena menyangkut nyawa. Itu ada tahapan-tahapannya, mulai dari percobaan kepada binatang, macem-macem, ke jaringan binatang (dicoba). Kemudian jaringan manusia, dan lain sebagainya. Baru nanti kalau sudah berhasil, (dipraktikkan) pada manusia.
ADVERTISEMENT
Jadi, misal saya, dari beberapa referensi menemukan bahwasanya (sebuah metode) itu bisa digunakan untuk membunuh kuman. Yang pertama, saya melakukan suatu penelitian pada sel-sel. Sel itu kemudian dikasih obat.
Kemudian, bagaimana hasil kumannya? Sebelum dikasih injeksi obat A, misal, itu kumannya 100 ribu. Setelah diinjeksi, kumannya tinggal 25 ribu. Itu masih tahap satu.
Setelah itu, dicoba pada binatang. Pada binatang bagaimana hasilnya? Kalau hasilnya jelek, diberhentikan itu (penelitiannya). Setelah (dicoba) pada binatang, (metode) itu dicoba pada manusia secara volunteer (sukarela).
Nah, kalo sudah bagus, lalu dilakukan clynical term-nya untuk obat itu. Jadi (diberikan) pada orang-orang yang memang sakit, pasien yang sama-sama sakit. Satu pasien dikasih obat itu, pasien satunya tidak dikasih obat, kemudian dibandingkan.
ADVERTISEMENT
Jadi fasenya banyak. Prosesnya banyak sekali.
Dokter Terawan. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
------------------------
Ikuti terus perkara Geger Terawan di Liputan Khusus kumparan.