Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Heboh 'Celup': Kampanye Sosial Antiasusila di Ruang Publik
27 Desember 2017 19:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Sebuah poster iklan kampanye antiasusila di ruang publik menyebar di media sosial. Kampanye ini bernama 'Celup' atau singkatan dari cekrek, lapor, upload.
ADVERTISEMENT
Poster kampanye itu menggambarkan seseorang yang berada di balik pohon. Dia mengarahkan kameranya kepada pasangan yang sedang duduk berdua sambil berangkulan. Dalam poster itu juga terdapat tulisan "Pergokin Yuk! Biar Kapok".
Kampanye 'Celup' ini disosialisasikan lewat sejumlah media sosial seperti Facebook Celup, Instagram cekrek.lapor.upload dan Line @fpf7760i. Lewat 'Celup' masyarakat dimita untuk melapor bila menemukan tindakan asusila di ruang publik. Caranya yaitu dengan memfoto, melapor dan mengupload foto atau video tersebut. Untuk bisa melapor mereka harus menambah pertemanan lewat Official Account (OA) Celup di LINE.
Kampanye ini digagas oleh mahasiswa semester 5 dari jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya dengan koordinator oleh Fadhli Zaky. Tujuan kampanye ini adalah untuk mengembalikan fungsi ruang publik yang sesungguhnya, bukan sebagai tempat 'memadu kasih'.
Foto yang dikirim ke OA Celup di LINE juga harus memenuhi kriteria. Misalnya foto harus mengandung unsur perbuatan “tindak asusila” seperti merangkul, mencium, petting, atau bahkan hubungan intim, sudut pengambilan foto bebas, foto harus orisinil milik pribadi, setiap foto bernilai 100 poin.
ADVERTISEMENT
Peserta kampanye boleh mengirimkan lebih dari satu foto dengan pelaku, tempat, dan waktu yang berbeda. Setiap unggahan dinilai dengan poin yang bisa ditukarkan dengan hadiah, mulai dari gantungan kunci, voucher pulsa dan kaos.
Kampanye 'Celup' ini menuai sejumlah kritik. Salah satunya yakni sebuah tulisan berjudul 'Kampanye CELUP: Demi Berantas Asusila, Rela Terobos Hukum Positif dan Etika' karya Detara Nabila Prastyphylia, mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga dan Bagoes Carlvito Wisnumurti, mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada.
Dalam tulisannya, mereka mengkritik kampanye 'Celup' yang justru melanggar aturan. Kampanye ini ide awalnya adalah sebuah gerakan untuk mempublikasikan foto pelaku tindak asusila agar tidak mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari. Caranya dengan mengirimkan foto hasil "buruan" ke OA LINE kampanye Celup. Mereka juga berjanji untuk tidak mempublikasi pengirim foto tersebut ke publik.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Detara dan Bagoes, kampanye 'Celup' justru melanggar hukum postif. Prosedur kampanye 'Celup' yang melakukan sayembara dengan mengimbau orang-orang untuk memfoto dan juga mengirim foto tersebut pada pihak 'Celup' untuk ditukar dengan beberapa hadiah seperti T-Shirt atau Merchandise lainnya memiliki potensi yang besar adanya pelanggaran hukum positif oleh pihak 'Celup'.
Penyalahgunaan foto dalam kampanye 'Celup' bisa dijerat dengan UU Informasi dan Teknologi (UU ITE), tepatnya pasal 1 ayat 1 dan juga ayat 4.
"Penggunaan Informasi dan Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dalam tuduhan pelanggaran pidana adalah hal diperbolehkan hukum," kata Detara saat dikonfirmasi kumparan (kumparan.com) Rabu (27/12).
Dengan menyebarluaskan konten yang dianggap memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagai salah satu bagian dari prosedur kampanye, mereka juga menyalahi Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi sekaligus Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
ADVERTISEMENT
Pihak Celup juga menyebut landasan hukum mereka dengan menggunakan pasal 76E UU 35/2014 mengenai Perlindungan Anak. Namun nyatanya landasan hukum itu dianggap tidak sesuai karena dalam UU tersebut terfokus pada anak yakni seseorang yang berumur di bawah 18 tahun. Sedangkan dalam kasus ini bisa saja pelaku usianya lebih dari 18 tahun.
Selain ini kampanye Celup ini juga dianggap melanggar etika karena untuk berpartisipasi peserta harus memotret orang tanpa seizin mereka dan mengunggahnya ke internet.