Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Indonesia Disebut Darurat Utang, Begini Penjelasan Sri Mulyani
27 Juli 2017 22:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu menyinggung masalah rasio utang dalam berbagai kesempatan. Dia ingin mengklarifikasi mengenai banyaknya pihak yang menyebut Indonesia darurat utang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, nilai utang pemerintah hingga Juni 2017 memang meningkat menjadi Rp 3.706,52 triliun dari satu bulan sebelumnya Rp 3.672,33 triliun.
Namun menurut Sri Mulyani, nilai utang tersebut masih cukup aman. Sebab jika dihitung rasio, utang pemerintah saat ini hanya 27,02 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu, masih jauh dari batas maksimal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen dari PDB.
"Bukan kami melakukan utang karena senang, tapi tactical investment untuk apa yang dibutuhkan Republik, invest manusia, invest infrastruktur untuk mobilitas masyarakat, efisiensi dan menghilangkan biaya ekonomi besar dan memperdalam sektor keuangan," kata Sri Mulyani di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Kamis (27/7).
ADVERTISEMENT
Menurut Sri Mulyani, pasca krisis ekonomi 1997-1998, Indonesia lebih hati-hati dalam mengelola utang. Bahkan, kebanyakan utang pemerintah sebenarnya kepada masyarakat Indonesia sendiri yang berinvestasi melalui Surat Utang Negara, yang memiliki banyak instrumen seperti SBSN atau sukuk negara.
"Masyarakat yang pegang, itu dapat income. Memang ada bagian dari asing yang ingin memiliki bonds kita," ujarnya.
Sri Mulyani juga menyebut beban utang pemerintah saat ini sebagiannya merupakan bagian dari warisan pasca krisis 1997-1998. "12 persen dari total utang itu warisan dari krisis tahun 97-98," katanya.
Selain itu, instrumen utang juga dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur Indonesia. Selama kurun waktu hampir 20 tahun pasca krisis moneter, pembangunan infrastruktur tertunda, sehingga menjadi kebutuhan yang harus segera dilakukan saat ini.
ADVERTISEMENT
"Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Ada yang bilang Menkeu bayar bunga utang, itu jatuh ke masyarakat Indonesia," ujarnya.
Sri Mulyani mengaku pemerintah juga menginginkan agar anggaran pemerintah seimbang antara pendapatan dan belanja negara. Namun, untuk mencapai hal tersebut, ia harus memangkas belanja negara atau meningkatkan pendapatan negara.
Pada tahun ini, penerimaan negara ditargetkan Rp 1.736 triliun dan belanja negara Rp 2.133 triliun. Jika APBN tanpa utang, maka belanja negara harus dipangkas Rp 397,2 triliun
"Itu balance, persis APBN tanpa utang, dipotong Rp 397,2 triliun. Kira-kira kalau hampir Rp 400 triliun, apa dulu yang kami potong? Saya minta buat poling apa?" katanya.
ADVERTISEMENT
Padahal, kebutuhan seperti anggaran pendidikan 20 persen, kesehatan, pembangunan infrastruktur, gaji karyawan, Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi energi, dan kebutuhan belanja merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda.
Menurut Sri Mulyani, jika dibandingkan negara lain, rasio beban bunga utang terhadap belanja Indonesia sebesar 8,3 persen, relatif masih lebih rendah dibandingkan negara lain yang setara seperti Meksiko (9,7 persen), Filipina (16,7 persen), Mesir (24,3 persen), dan Brasil (33,2 persen).
Sementara jika dibandingkan rasio beban bunga terhadap total utang outstanding pada 2015, capaian Indonesia mencapai 4,7 persen, lebih baik daripada Filipina (5,5 persen), Turki (6,6 persen), Meksiko (6,7 persen), Mesir (8,8 persen), dan Brasil (18,0 persen).
Menurut Sri Mulyani, melalui pengelolaan utang yang hati-hati dan pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga, maka lapangan kerja akan tercipta. Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini ditargetkan mencapai 5,2 persen.
ADVERTISEMENT