Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Infografis: Konflik Agraria Terus Meningkat
13 Februari 2017 18:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Konflik agraria merupakan wajah paling nyata bagaimana kita "bertarung" di alam yang kita huni, dalam perut ibu bumi. Memperebutkan bagaimana dan siapa yang berhak melindungi serta memanfaatkan apa yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Derap pembangunan yang cenderung agresif terkadang bertentangan dengan nilai-nilai yang termuat adat budaya. Perbedaan-perbedaan tersebut tampak nyata dan semakin mencuat ke permukaan, bahkan dalam bentuk yang paling banal: kekerasan.
2016 menjadi tahun yang cukup menyedihkan dalam penyelesaian konflik agraria. Berdasarkan laporan akhir tahun 2016 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) , konflik meningkat hingga 78 persen, bahkan 177 warga dikriminalisasi.
Warga dibiarkan bertarung dengan perusahaan swasta hingga aparat negara, baik itu pemerintah daerah, TNI dan Polri, ataupun BUMN.
Berbagai bentuk kekerasan begitu nyata, mulai dari penggusuran, penganiayaan, sampai yang berujung kematian.
Kita tentu tak lupa kematian Salim Kancil pada 2015 karena menolak penambangan pasir di Desa Selo Awar-awar, Lumajang, Jawa Timur. Di situ terlihat, petani dan masyarakat adat menjadi kelompok rentan yang terdampak konflik agraria.
ADVERTISEMENT
Pada 2017, di tengah hiruk-pikuk Pilkada, kita disuguhkan kisah pilu pembakaran tenda dan musala warga yang menolak pembangunan pabrik semen di Rembang. Kisah ini tak berdiri sendiri. Kriminalisasi juga terjadi kepada aktivis ForBali yang menolak reklamasi Teluk Benoa dan dua warga adat Oppu Bolus di Tapanuli terkait dugaan kasus pembakaran lahan.