Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Manusia memang tak mampu mencegah bencana. Namun melalui ilmu pengetahuan, lambat laun berbagai jenis bencana alam dapat terdeteksi.
ADVERTISEMENT
Karena itu yang bisa dilakukan adalah mengurangi dampak yang ditimbulkan. Apalagi Indonesia berada di dalam kawasan ring of fire, yang terdapat segudang jenis bencana di dalamnya.
Bencana tsunami misalnya. Saat ini sebagian besar jenis tsunami di Indonesia dapat terdeteksi melalui buoy -alat deteksi tsunami yang dipasang di laut- dengan catatan alat tersebut tidak rusak atau hilang dicuri orang. Jalur-jalur evakuasi juga sudah banyak disiapkan termasuk shelter.
Sayangnya menurut Kapusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho, jumlah shelter tsunami di Indonesia masih sangat kurang, yakni hanya 50 dari 2.000 yang dibutuhkan. Dari 50 shelter tersebut sebagian mangkrak bahkan ada yang tak layak.
Dalam kasus tsunami di Selat Sunda pada Sabtu (22/12), sebagian besar warga justru memilih berlari ke bukit ketimbang berlindung di shelter yang jaraknya lebih dekat. Warga yang sempat menyelamatkan diri ke shelter tsunami di Kampung Sawah, Pandeglang, justru memilih keluar lagi karena merasa tak aman.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, ada warga setempat yang tak tahu fungsi shelter tsunami. Shelter itu memang mangkrak karena dikorupsi dan bangunannya dapat dibilang tak layak.
Lain lagi dengan shelter tsunami di Lombok, NTB. Saat gempa 7 magnitudo pada Agustus 2018 lalu, tangga shelter justru ambruk dan kondisi gedung masuk kategori rusak berat. Bangunan senilai Rp 21 miliar itu diduga gagal konstruksi.
Kondisi shelter tsunami di Bengkulu juga tak jauh berbeda. Bangunan yang mestinya nyaman untuk evakuasi bencana justru kotor, rusak di berbagai titik, dan tak terjamah.
Padahal menurut peneliti Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Aceh, Syamsidik, mestinya shelter tsunami diberikan perawatan rutin tiap 5 tahun sekali. Mengingat lokasinya dekat dengan laut sehingga bangunannya lebih mudah korosi.
ADVERTISEMENT
"Ini hanya 100 meter dari garis pantai, uap air laut akan mempengaruhi struktur tulang (bagunan) apabila terjadi retakan. Paling cepat terjadi korosi di tulang-tulang," ujarnya.
Beberapa daerah yang memiliki shelter tsunami layak adalah Aceh, Padang-Sumatera Barat, dan Bali. Shelter-shelter di kawasan itu dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah setempat dan sering dimanfaatkan untuk kegiatan sosial sehingga tidak mangkrak.
Warga lebih suka bukit ketimbang gedung shelter
Syamsidik menyebut hampir seluruh kawasan Indonesia yang berada di pinggir pantai rawan tsunami, kecuali Kalimantan. Maka seluruh titik tersebut membutuhkan shelter.
Namun dia menekankan, shelter yang dimaksud tak melulu berbentuk gedung (escape building), bisa saja bukit (escape hill). Tentu dilengkapi dengan akses jalan menuju bukit dan area puncak yang dibersihkan sehingga menjadi seperti lapangan. Selain lebih murah, ternyata shelter bukit justru lebih disukai warga. Di Aceh, konsep escape hill ini sudah mulai dibangun oleh BPBD setempat.
"Dari segi trust, dari studi yang dilakukan tahun 2012, juga lebih baik (shelter bukit ketimbang shelter gedung)," tutur Syamsidik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya kondisi di ujung barat Indonesia ini jauh berbeda dengan kawasan timur. Dengan ancaman yang sama, terjadi gap begitu tinggi dalam segi mitigasi bencana dan fasilitas pendukungnya.
“Kalau saya ke Indonesia timur masih kurang beberapa aspek dari mitigasi ya. Gedung evakuasi juga masih minim, juga beberapa infrastruktur peringatan dini di sisi masyarakat seperti sirine,” ujarnya.
Lalu bagaimana pemerintah menyelesaikan masalah krusial ini? Haruskah nyawa-nyawa kembali bergelimpangan di saat seharusnya bisa dicegah?
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Ironi Shelter Tsunami .
Live Update