Jalan Panjang 6 WNI Lepas dari Jerat Sandera Militan Libya

3 April 2018 7:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
zoom-in-whitePerbesar
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
ADVERTISEMENT
Enam anak buah kapal (ABK) asal Indonesia disandera kelompok bersenjata di Benghazi, Libya, sejak September tahun lalu. Sekitar 6 bulan lamanya, mereka terombang-ambing dalam suasana mencekam.
ADVERTISEMENT
Menurut data Kementerian Luar Negeri, keenam sandera itu adalah Haryanto, Saiefuddin, Waskita Ibi Patria dan M Abudi asal Tegal, Joko Riadi dari Blitar, serta Roni Wiliam dari Jakarta.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan para WNI itu bekerja di kapal penangkap ikan berbendera Malta, Salvatur 6, di perairan Benghazi. Letaknya sekitar 27 mil dari garis pantai Libya.
Kenam ABK itu ditangkap pada 23 September 2017. Namun karena akses komunikasi terbatas, pemerintah Indonesia baru mengetahui penyanderaan itu lima hari setelahnya.
"Kami baru dapat kabar pada 28 September 2017. Sejak itu kami lakukan kontak kepada pemilik kapal, keluarga dan para ABK juga kami kontak untuk mengetahui kondisi mereka. Pembebasan tidak mudah karena wilayah konflik," kata Retno pada Senin (2/4).
ADVERTISEMENT
Meski pemerintah telah mengetahui kabar penyanderaan itu, Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal, menyebut pemerintah Indonesia baru bisa berkomunikasi dengan para sandera pada Desember. Komunikasi dilakukan untuk mengetahui kondisi para WNI korban sandera.
Di sisi lain, Iqbal menyebut perusahaan pemilik kapal di Malta lepas tangan karena hubungan mereka tidak baik dengan kelompok bersenjata di Benghazi.
Penyanderaan ini menurut Iqbal terjadi di tengah konflik yang mendera Libya. Sejak 2011 kondisi Libya memang mencekam, puncaknya adalah tewasnya pemimpin Libya, Muammar Khadafi.
Pemerintahan Libya juga terpecah dan kelompok bersenjata bertebaran. Menurut Iqbal, Benghazi dikuasai militan yang anti pemerintah Tripoli, pusat pemerintahan Libya.
"Sebelumnya masih ada serangan-serangan. Kapal mereka ditahan hanya 1-2 km dari lokasi serangan. Bahkan ada bom nyasar dekat kapal mereka," kata Iqbal.
ADVERTISEMENT
Kondisi internal Libya yang mencekam tak serta merta menghalangi upaya pembebasan 6 WNI malang itu. Sejak September lalu, upaya pembebasan sudah dilakukan dengan melibatkan Kementerian Luar Negeri dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
zoom-in-whitePerbesar
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
Harta benda dirampas
Selama penyanderaan, seluruh harta benda 6 ABK WNI dirampas. Para milisi bukan hanya merampas seluruh peralatan kapal, tapi juga mengambil seluruh barang pribadi milik para ABK WNI, termasuk telepon genggam dan gaji yang mereka kumpulkan selama ini.
"Saat disandera seluruh isi kapal diambil, kulkas, freezer, sampai celana dalam. Jadi kita enggak bisa berkomuniksi," kata Iqbal saat ditemui di kantor Kemlu, Jakarta, Senin (2/4).
Selama disandera, para ABK WNI menggantungkan hidupnya dari makanan yang bersumber dari laut.
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
zoom-in-whitePerbesar
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
Salah satu korban sandera, Roni, mengatakan mereka dipindahkan oleh penyandera dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Di pelabuhan pertama, kata dia, "Orang-orangnya lebih kasar". Barulah ketika dipindahkan, mereka bertemu dengan milisi yang baik hati.
ADVERTISEMENT
"Mereka kasih makan. Kadang mencari makan sendiri. Karena jika supply makanan dari mereka tersendat, kita mancing," kata Roni.
Selama enam bulan dalam penyanderaan, Roni mengaku bisa bertahan hidup dengan memancing ikan teri di sekitar kapal.
"Sebagian hasilnya kami jual melalui salah seorang milisi penjaga yang kebetulan baik kepada kami. Uang hasil penjualan dibelikan beras dan bahan makanan”, ujar Roni.
Diplomasi patahkan jerat sandera
Pemerintah Indonesia berupaya membebaskan para ABK dengan menempuh jalur diplomasi dan memanfaatkan hubungan baik antara Indonesia dan Libya. Berkat upaya tersebut, tanggal pembebasan pun berhasil disepakati, yaitu 20 Maret. Namun kemudian diundur menjadi 26 Maret.
"Tanggal 23 tim berangkat dari Tunisia dan bergabung dengan tim Tripoli. Pada 27 Maret pukul 12.30 (waktu setempat), sesuai kesepakatan serah terima ABK dilakukan di pelabuhan ikan yang terbengkalai di Benghazi. Hanya kapal mereka yang bisa digunakan, semuanya karam," kata Iqbal.
ADVERTISEMENT
Keenam ABK selanjutnya diserahterimakan kepada pihak keluarga di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta pada Senin (2/4).
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
zoom-in-whitePerbesar
Serah terima 6 ABK yang disandera di Libya (Foto: Dok. Kementerian Luar Negeri RI)
Menlu Retno mengatakan, upaya pembebasan para ABK ini adalah bagian dari perlindungan warga negara Indonesia yang merupakan misi Kemlu RI.
"Ini merupakan tugas yang kami upayakan dengan baik, untuk melindungi WNI di luar negeri," kata Retno. .
Pembebasan para ABK menurut Kemlu sangat sulit karena kondisi politik dan keamanan yang buruk di Libya. Pertempuran masih terjadi hingga saat ini beberapa wilayah Libya. Roni mengaku melihat dengan jelas pertempuran antara milisi Benghazi dengan ISIS pada Desember lalu.
"Bahkan salah satu bom sempat nyasar dan mendarat di dekat kapal kami disandera,” cerita ABK Ronny William menggambarkan situasi peperangan di Benghazi.
ADVERTISEMENT
“Pelabuhan dan kota Benghazi sudah seperti kota mati, hanya ada reruntuhan perang di mana-mana dan rongsokan kapal ikan di mana-mana,” imbuh Ronny.