Jalan Panjang Perjuangan Triana Rahmawati di Bidang Kesehatan Jiwa

10 Mei 2019 16:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Triana Rahmawati, penerima apresiasi Astra SATU Indonesia Awards di bidang kesehatan tahun 2017. Foto: Maharani Sagita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
com-Triana Rahmawati, penerima apresiasi Astra SATU Indonesia Awards di bidang kesehatan tahun 2017. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Triana Rahmawati resah. Banyak anak muda peduli pada masalah pendidikan dan kemiskinan, tapi nyaris tidak ada yang berjuang di jalan masalah kejiwaan — padahal kemiskinan, pendidikan rendah, dan masalah kejiwaan sama-sama masalah sosial. Sama-sama harus diatasi, dengan tepat dan baik.
Dalam benak Triana kemudian muncul gagasan untuk mendirikan Griya Schizofren, komunitas yang kegiatan utamanya adalah menjadi teman untuk orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Triana kemudian menyampaikan gagasannya kepada salah seorang dosennya di Universitas Sebelas Maret, sembari mengonfirmasi apakah seseorang sepertinya, dengan latar belakang pendidikan sosiologi, bisa berandil dalam membuat hidup lebih baik untuk ODMK.
Keraguannya menguap seketika. Mindernya lenyap di situ juga. Konfirmasi dari sang dosen membuatnya bergerak karena masalah kejiwaan bukan monopoli orang-orang psikologi dan kedokteran. Kemudian didaftarkanlah ide Triana ke Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), lomba tingkat nasional dari Kemenristekdikti.
Ide kegiatan itu bernama Griya Schizofren, yang sudah dikonsep sejak 2012 namun baru berjalan pada 2013. Dalam kegiatannya, Griya Schizofren bekerja sama dengan Griya PMI Peduli, Solo, tempat ODMK Solo dirawat dan diberi tempat tinggal. Hingga saat ini Griya Schizofren masih berdiri dan berkegiatan walau kendala demi kendala mengadang.
com-Griya PMI Peduli, tempat ODMK Solo dirawat dan diberi tempat tinggal. Foto: Maharani Sagita/kumparan
“Aku inget banget dulu didanai tujuh setengah juta [rupiah],” kenang Triana. “Waktu mahasiswa, tujuh setengah juta itu gede banget, jadi seakan-akan aku bisa melakukan banyak hal dengan itu. Nah, pas uangnya habis, masalahnya belum habis.”
Triana kemudian bertanya-tanya: bagaimana cara melanjutkan kegiatan yang sudah berjalan ini? Berhenti dan mundur sempat menjadi pertimbangan, namun Triana memutuskan untuk terus berjalan. Kemudian dia bertanya-tanya lagi: dari mana dia bisa mendapatkan dana untuk membiayai kegiatan komunitasnya?
Untuk menjaga kegiatannya terus berjalan, Triana merogoh koceknya sendiri. Uang beasiswa yang dia dapat — Triana termasuk salah satu mahasiswa berprestasi dan lulus dengan predikat Lulusan Terbaik dari FISIP UNS pada 2015 — dia gunakan untuk mendanai kegiatan Griya Schizofren.
Selepas kuliah, kebingungan kembali melanda. Triana lahir di Palembang; keluarga besarnya tinggal di Bekasi dan Jakarta. Langkah yang paling masuk akal baginya saat itu, tentu saja, kembali dari Solo dan mencari kerja di ibu kota. Namun Triana memilih untuk tetap tinggal di Solo, dengan prospek kerja yang tidak cerah-cerah amat, karena dia tak sampai hati meninggalkan komunitas yang baru dua tahun dikelolanya.
Keputusan itu terhitung berani karena Griya Schizofren tidak memberinya pemasukan hidup. Demi terus bisa tinggal di Solo, Triana memutuskan untuk berbisnis. Macam-macam bisnis dia geluti, dari suvenir hingga makanan. Dari keuntungan bisnis itu dia hidup. Dari keuntungan bisnis itu juga dia menghidupi Griya Schizofren.
com-Griya Schizofren berawal dari kegiatan PKM Triana Rahmawati pada 2013. Foto: Maharani Sagita/kumparan
“Dari PKM aku belajar satu hal,” ujar Triana. “Yang menentukan [berhasil-tidaknya] gerakan itu bukan uang, tapi faith kita sama gerakan kita itu sendiri. Nah, dari situ aku enggak terlalu pusing. Jadi kalau ada kegiatan, ya udah aku danain. Uang aku sendiri.”
Uang, singkatnya, tak pernah menjadi masalah. Namun dalam menjalankan gerakan sosial seperti ini, sumber masalah bukan hanya keuangan. Di tahun-tahun awal pendirian Griya Schizofren, inkonsistensi para relawan kegiatan ini membuatnya sebal.
“Lebih ke baper sih kalau orangnya nggak dateng,” ujar Triana. “Itu menurutku kendala banget, sih. Kendala di diri aku sendiri. Kok aku ngerasa jadi bete sama orang-orang yang enggak commit? Dia udah ngedaftar, kita udah kasih kepercayaan tapi dia enggak komitmen, gitu.”
Semua itu berubah saat Triana bertemu seorang mahasiswa bernama Made. Kemampuan Made bermusik membuat Triana mengajaknya ikut mengisi sesi menyanyi di kegiatan Griya Schizofren. Namun Made memberi lebih dari itu. Walau agamanya bukan Islam, dia turut membantu kegiatan beribadah di Griya Schizofren. Sejak saat itu Triana sadar: tidak perlu minder dengan jumlah relawan yang sedikit; tidak perlu baper dengan inkonsistensi para volunteer; cukup pertahankan dengan baik relawan yang walau jumlahnya sedikit, namun sangat bisa dipercaya dan diandalkan. Bersamaan dengan itu, diubah pula pola perekrutan relawan untuk Griya Schizofren.
com-ODMK di Griya PMI Peduli bernyanyi bersama relawan Griya Schizofren. Foto: Taufik Nur Shidiq/kumparan
“Sebelumnya, pengkaderan [untuk volunteer Griya Schizofren] umum,” ujar Triana. “Buka pengumuman, oprec (open recruitment-red), selesai. Setelah ada SATU Indonesia Awards, aku dapet apresiasi. Fitrahnya manusia itu kalau dia menerima pasti ingin memberi, kan? Nah, aku ingin mengapresiasi orang lagi. Aku bikin Volunteer Scholarship.”
Para penerima Volunteer Scholarship didanai kuliahnya oleh Triana. Mereka juga diberi tempat tinggal, sebuah rumah yang berada satu kompleks dengan kediaman Triana. Kewajiban mereka hanya bersekolah dengan baik dan berkegiatan di Griya — sebagai kawan dari ODMK dan mentor untuk relawan lain. Dari situ lahirlah tokoh-tokoh sosial baru.
“Contoh, ada volunteer aku namanya Nadia,” ujar Triana. “Dia mendongeng. Selama ini dia mendongeng untuk umum aja, kalau dipanggil. Tapi sekarang dia punya kegiatan mendongeng rutin di Griya. Pada akhirnya itu jadi menarik: kok pendongeng tapi ngedongengnya buat ODMK? Akhirnya dia jadi tokoh sosial baru di lingkungannya.”
com-OMDK di Griya PMI Peduli dan relawan Griya Schizofren. Foto: Maharani Sagita/kumparang
Volunteer Scholarship terbukti berhasil. Tujuan Triana menggelarnya — mengapresiasi volunteer dan melahirkan tokoh sosial baru — tercapai dengan baik. Lebih dari itu, Volunteer Scholarship terbukti mampu menjadi solusi untuk kekhawatiran lama Triana: Griya Schizofren akan berantakan jika dia tinggalkan.
Itulah yang membuat Triana bisa lebih tenang tahun ini. Dari Januari hingga Maret 2019 ini, Triana praktis tidak berkegiatan. Untuk alasan kesehatan, Triana, yang saat ini tengah hamil, diminta bedrest hingga kandungannya memasuki trimester kedua. Selama tiga bulan tanpa campur tangan Triana, Griya Schizofren berjalan seperti biasa. “Ternyata mereka bisa membuat gerakan ini autopilot,” ujarnya.
com-Relawan Griya Schizofren bermain dengan ODMK di Griya PMI Peduli, Solo. Foto: Taufik Nur Shidiq/kumparan
Semua itu mungkin tak akan terjadi jika, pada 2017, Triana menyerah kepada rasa lelahnya. Empat tahun mengurus Griya Schizofren dan berkegiatan di bidang yang tak terlihat garis finisnya membuat Triana jenuh, namun sang suami terus menguatkannya.
“Aku kadang suka labil,” kenang Triana. “Tapi yang nguatin suami aku. Suami aku aja enggak keberatan kalau aku ngebagi waktu ke sini, terus kenapa aku harus meragukan diri aku sendiri?”
“Karena seperti yang tadi aku bilang, ini masalah panjang yang enggak tahu kapan selesainya. Terus [apa] aku yakin mau investasi di sini? Investasi waktu, tenaga, pikiran, dan lain-lain? Tapi kata suami aku ini tabungan surga. ‘Sekiranya kamu enggak selesai menyelesaikan masalah ini, mungkin ini akan jadi jalan kamu masuk ke surga,’ [Kata] suami aku, sih.”
com-Triana Rahmawati sempat merasakan jenuh, sebelum apresiasi SATU Indonesia Awards kembali membuatnya bersemangat. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tidak hanya menguatkan, suami Triana juga mendaftarkannya ke Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards yang diinisiasi oleh PT Astra International Tbk. Jumlah pendaftar tahun itu 3.234 orang, dan Triana keluar sebagai satu dari tujuh penerima apresiasi. Berkobar kembalilah semangat Triana. Apalagi, kembali ke isu sebelumnya, apresiasi dari Astra tersebut membuatnya dapat membangun organisasi volunteer yang lebih baik dan kuat lagi.
“Dorongan terkuat itu dari keluarga,” ujar Triana. “Karena keluargaku juga enggak pernah protes, jadi aku ngerasa didukung sama orang terdekat. Apalagi setelah didukung sama orang terdekat aku didukung sama Astra. Mereka yang enggak deket sama aku aja mau ngasih dukungan.”
Dua tahun setelah menerima apresiasi dari Astra, Triana tetap bergerak bersama Griya Schizofren dan belum terlihat akan berhenti dalam waktu dekat — sepanjang wawancara dengan kami, semangatnya terus terlihat tinggi. Harapan Triana masih banyak dan dengan semua yang sudah dia bekalkan kepada para volunteer-nya, Griya Schizofren akan terus hidup.
SATU Indonesia Awards kembali digelar pada tahun 2019 ini dan pendaftaran sudah dibuka. Apakah Anda memiliki organisasi yang telah membuat perubahan atau Anda mengenal orang-orang di sekeliling Anda yang telah membuat perubahan bagi lingkungan sekitarnya seperti Triana dan Griya Schizofren? Daftarkan diri Anda atau orang yang Anda kenal untuk penghargaan SATU Indonesia Awards 2019 di sini!