Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jokowi Digugat ke Pengadilan Negeri Jakpus Terkait Terjemahan KUHP
7 Juni 2018 22:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Saat ini pembahasan soal revisi KUHP oleh DPR dan pemerintah masih menuai polemik khususnya dari KPK soal delik korupsi. Belum usai soal itu, datang gugatan dari lembaga bantuan hukum yang mempermasalahkan bahasa Belanda yang ada di KUHP.
ADVERTISEMENT
Menurut rilis yang diterima kumparan dari tiga lembaga bantuan yaitu YLBHI, ICJR, dan LBH Masyarakat, Kamis (7/6), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini belum diterjemahkan secara resmi ke dalam Bahasa Indonesia oleh pemerintah.
"Berarti saat ini KUHP yang sah masih dalam bahasa Belanda. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 seharusnya KUHP menggunakan bahasa Indonesia," seperti disampaikan pengacara publik dari YLBHI, M Isnur.
"Karena tertulis di UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan setiap undang-undang wajib menggunakan bahasa Indonesia," lanjutnya.
Untuk itu, YLBHI, ICJR, dan LBH Masyarakat menilai KUHP yang masih menggunakan bahasa Belanda adalah bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR RI. Hal itu sangat merugikan masyarakat karena menjadi banyak perbedaan tergantung siapa penerjemah yang dipakai oleh aparat.
ADVERTISEMENT
"Tragisnya RKUHP yang saat ini dibahas dan disusun oleh pemerintah dan DPR merujuk pada KUHP yang tidak memiliki terjemahan resmi," terang Isnur.
"Terjemahan KUHP yang dipakai oleh perumus RKUHP merupakan terjemahan bebas dari para akademisi," lanjutnya.
Hal ini kemudian berdampak pada rumusan-rumusan pasal RKUHP yang potensial menimbulkan tafsir sumir dan multitafsir. Karena tidak adanya keseragaman makna dalam KUHP yang beredar selama ini.
Untuk itu ketiga lembaga bantuan hukum tersebut akan menggugat pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan DPR RI. Mereka mendaftarkan gugatan pada Jumat (8/6) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.