Kartu Merah untuk DPR karena Pengesahan Revisi UU MD3

13 Februari 2018 10:38 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
FPPP Walkout dari sidang paripurna DPR RI. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
FPPP Walkout dari sidang paripurna DPR RI. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sejumlah pasal kontroversial masuk dalam pengesahan revisi UU MD3. Salah satunya Pasal 122 UU MD3 yang mengatur bahwa pengkritik anggota dewan dapat dipidana. Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana, menilai publik harusnya memberi kartu merah kepada DPR dengan adanya pengesahan ini.
ADVERTISEMENT
Sebab, DPR menggunakan kekuasaannya untuk membuat aturan yang menguntungkan dirinya sendiri. Ganjar menyebut DPR sebagai lembaga yang memang diberi kewenangan untuk membuat aturan malah menghasilkan aturan yang menguntungkan dirinya sendiri.
"Tentu ini kartu merah untuk DPR. Bisa dibilang ini DPR yang paling dahsyat karena sampai ada aturan seperti ini. Apalagi yang membuat aturan adalah lembaga yang bertugas membuat aturan. Bisa dibuat seenak dia," ujar Ganjar kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (13/2).
"Ini bentuk otoriter yang paling otoriter. Singkatnya dia tidak mau diapa-apain," lanjut dia.
Sejak awal, Ganjar menilai perumusan Pasal 122 UU MD3 sudah salah kaprah. Sebab, dalam pasal 122 terdapat kata merendahkan yang jelas multitafsir dan bisa digunakan sebagai pasal karet.
ADVERTISEMENT
"Ini dari sisi legal drafting, teknis penyusunan perundang-undangan itu perumusan yang salah. Karena bahasa 'merendahkan' itu bukan wujud perbuatan materil. Jadi kalau mau melarang dalam undang-undang itu, yang dilarang adalah perbuatan," katanya.
Fadli Zon dan Bambang Soesatyo (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fadli Zon dan Bambang Soesatyo (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
"Merendahkan itu kan rasa bukan perbuatan. Kursi yang diduduki lebih pendek dibandingkan kursi anggota DPR, nah itu merendahkan. Bukan soal harkat dan martabat. Artinya tiap perbuatan yang membuat posisinya lebih rendah. Kalau menggunakan penafsiran hukum ya begini," lanjutnya.
Ganjar mencontohkan dalam pasal penghinaan, diksi yang digunakan untuk mengatur penghinaan jelas yaitu berupa perbuatan.
ADVERTISEMENT
"Penghinaan itu misalnya mendesain untuk menghina secara lisan dan tulisan, menyerang nama baik orang tua. Nah kalau merendahkan ini kan terlalu luas. Dalam penyusunan UU ini tidak boleh pakai kata yang multitafsir dan konotatif. Jadi harus denotatif," tutupnya.
Pasal 122 soal pengkritik DPR yang menuai kontroversi adalah:
Pasal 122
Dalam melaksanakan fungsi, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
k. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang peseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR