Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kegamangan Filipina soal WNI Pelaku Pengeboman Gereja di Jolo
5 Februari 2019 11:25 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah Filipina terlihat gamang dalam menentukan siapa pelaku serangan bom di gereja kota Jolo, provinsi Sulu. Di satu sisi, pejabat Filipina menyebut pelakunya warga negara Indonesia (WNI), sementara di sisi lain mereka belum dapat memastikannya.
Pengeboman gereja katedral Our Lady of Mount Carmel di Jolo pada 27 Januari lalu menewaskan 22 orang dan melukai 111 orang lainnya. Pemerintah Filipina memastikan pelakunya adalah kelompok militan Abu Sayyaf, tepatnya faksi Ajang-Ajang.
Permasalahan kemudian muncul ketika Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano pada Jumat lalu (1/2) mengatakan pelakunya adalah pasangan suami-istri WNI. Keduanya, kata Ano, dibantu oleh Kamah, petinggi Ajang-Ajang dan Hatib Hajan Sawadjaan, calon pengganti Isnilon Hapilon yang tewas di Marawi pada 2012 sebagai pemimmpin Abu Sayyaf.
Berdasarkan keterangan Duta Besar RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang yang diterima kumparan, Senin (4/1), Ano mengatakan serangan gereja di Jolo mirip pola serangan bom di Indonesia. Dalam hal ini, serangan yang dimaksud Ano adalah pengeboman gereja Surabaya pada Mei 2018.
ADVERTISEMENT
Namun, pernyataan Ano ini malah dibantah sendiri oleh militer Filipina ketika dimintai keterangan oleh KBRI di Manila. Bahkan penyidik juga belum memastikan apakah itu bom bunuh diri atau bom yang diledakkan dari jauh.
"Terkait pernyataan Menteri Dalam Negeri Ano, Westmincomd (Komando Mindanao Barat) menyampaikan bahwa belum ada basis valid atas pernyataan tersebut, dan pihaknya belum dapat mengidentifikasi siapapun sebagai pelaku ledakan di Jolo," kata Dubes Sinyo.
Bahkan Presiden Rodrigo Duterte juga gamang, mengatakan pelaku kemungkinan dari Indonesia atau Yaman, karena teroris lokal dinilai belum memiliki keberanian melakukan bom bunuh diri.
"Berdasarkan hasil pendalaman KBRI Manila dan KJRI DAvao, diperoleh informasi bahwa otoritas setempat yaitu kepolisian nasional Filipina belum mengeluarkan hasil uji DNA serta gambar resmi hasil rekaman CCTV di lokasi ldakan yang menyatakan kedua pelaku sebagaimana dinyatakan oleh Secretary Ano adalah WNI," ujar Sinyo.
ADVERTISEMENT
WNI Selalu Dituduh
Menurut Sinyo, ini bukan kali pertama WNI dituduh terlibat dalam aksi bom bunuh diri di Filipina tanpa pembuktian dan hasil penyelidikan lebih dulu.
Dalam ledakan bom di kota Lamitan, Basilan, pada 31 Juli 2018 dan bom jelang Tahun Baru 2019 di Cotabato City, WNI juga dituduh menjadi pelakunya.
"Meski demikian, hasil investigasi menunjukkan tidak ada keterlibatan WNI dalam dua pengeboman tersebut sebagaimana pernyataan aparat dan pemberitaan media," kata Sinyo.
Pengamat terorisme dan direktur The Comunity of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya kepada kumparan mengatakan "Filipina mengkambinghitamkan WNI".
"Kenapa filipina mengkambinghitamkan WNI, sebab produk intelijen mereka lemah hanya membangun hipotesa yang basisnya adalah analogi," ujar Harits.
Menurut Harits, militer dan intelijen Filipina tidak sepenuhnya menguasai provinsi Sulu yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Moro yang homogen. Sulu juga basis dukungan terhadap pejuang Bangsamoro baik dari faksi MILF (Front Pembebasan Islam Moro), MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro), bahkan Abu Sayyaf.
"Saya melihat pihak otoritas pihak Filipina menghadapi kesulitan yang cukup tinggi untuk identifikasi, mengurai menemukan master mind dari serangan kali ini. Karena kelompok Abu Sayaf terdiaspora dalam banyak faksi dengan jumlah kecil," kata Harits.
"Oleh karena itu isu keterlibatan dua WNI pada kasus bom gereja di Jolo masih sebatas asumsi dan sangat spekulatif," lanjut dia lagi.
ADVERTISEMENT