Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Loser Prabowo claims victory on Indonesia”
Begitulah judul yang dilansir salah satu media Australia, The Australian, Sabtu (20/4) saat memberitakan klaim kemenangan Prabowo di Pilpres 2019. Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kalimat itu berarti ‘Prabowo yang kalah, mengklaim kemenangan di Indonesia’.
ADVERTISEMENT
Berita tersebut pun sempat menjadi headline sejumlah media online di Indonesia. Bahkan, warganet pun ikut-ikutan dengan meramaikan tagar #LoserPrabowoClaimsVictory di Twitter.
Dalam artikelnya, The Australian menyebut, Prabowo Subianto sebagai kandidat presiden yang kalah, namun bersikeras mengklaim kemenangan. Bahkan, dua hari setelah perhitungan cepat yang menunjukkan petahana Joko ‘Jokowi’ Widodo terpilih kembali dengan selisih dua digit.
Peneliti media dari Australian National University (ANU), Ross Tapsell berpendapat, pemberitaan The Australian sebagai hal yang wajar. Dia menyebut, bisa jadi The Australian berkaca pada klaim kemenangan Prabowo pada Pilpres 2014 lalu.
Pada Pilpres 2014, Prabowo memang sempat mendeklarasikan kemenangan. Itu didasarkan atas hasil quick count 4 lembaga survei yakni Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia. Waktu itu, Prabowo pun sujud syukur layaknya yang dia lakukan setelah deklarasi kemenangan, Rabu (17/4).
ADVERTISEMENT
“Menurut saya pemberitaan itu sangat sesuai karena tahun 2014, media (di Indonesia) kebanyakan berkata bahwa kedua kandidat (Jokowi dan Prabowo) mengklaim kemenangan. Maksudku, tahun 2014 Prabowo mengatakan dia menang, tetapi kenyataannya dia kalah,” kata Tapsell kepada kumparan, melalui sambungan telepon, Senin (22/4).
Tapsell menambahkan, memang akan lebih baik jika media menegaskan kekalahan Prabowo dalam quick count. Ketimbang memberitakan sikap setiap kandidat yang saling klaim kemenangan setelah pemungutan suara berakhir.
“Pemberitaan semacam itu dibenarkan dan saya kira sangat penting bagi media untuk melakukan itu karena tahun 2014, media memberi kredibilitas pada (klaim kemenangan) Prabowo ,” ujar penulis buku Media Power in Indonesia: Oligarch, Citizens and the Digital Revolution itu.
Tapsell menggarisbawahi bahwa kemenangan sebenarnya akan ditentukan lewat hasil penetapan resmi KPU. Akan tetapi, sejauh quick count bisa dipertanggungjawabkan, maka bisa digunakan sebagai acuan pemberitaan.
ADVERTISEMENT
“Di penjuru dunia manapun, hasil quick count dianggap sebagai sumber informasi yang bisa dipercaya, termasuk di Australia. Anda mempublikasikan berita tentang pemilu di media, tentang siapa yang menang, kebanyakan berdasarkan atas hasil quick count. Hal itu tak masalah dilakukan,” ungkapnya.
Pandangan berbeda diungkap Dosen Komunikasi Media Global di Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Aliyuna Pratisti. Dia tak menampik adanya tendensi untuk mengonstruksi opini publik agar condong ke salah satu pihak dalam pemberitaan The Australian.
Dosen yang akrab disapa Ali ini melihat, kecondongan pemberitaan The Australian tak lepas dari identitasnya sebagai media yang didukung kuat oleh kalangan ekonom dan libertarian.
Surat kabar yang terbit pertama kali tahun 1964 ini memang dikenal sebagai media sayap kanan di Australia. The Australian terbit di setiap negara bagian dan merupakan media paling laku dijual di negara Kanguru tersebut menurut situs mediabiasfactcheck.com.
ADVERTISEMENT
“Pemberitaan tentang hasil quick count menjadi penting sebagai dasar pembuatan keputusan bagi para pembaca (baik bisnis atau politik). Pemilihan judul pun menjadi menarik, dengan mencantumkan kata “Loser”. The Australian memilih untuk menyuarakan validitas lembaga survei, alih-alih memilih narasi lain yang mempertanyakannya,” jelas Ali pada kumparan, Selasa (23/4).
Ali melihat adanya peran dari pemberitaan media luar negeri seperti The Australian sebagai saluran informasi yang penting. Dalam hal ini, untuk basis pembuatan kebijakan politik dan perekonomian di kedua negara.
“Dapat dilihat secara jelas bagaimana pasar merespons hasil quick count . Dan secara nyata, media global menjadi sarana dalam pemetaan politik dan ekonomi dunia secara cepat,” pungkasnya.