Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kerja Senyap Relawan Menghibur Anak-anak Korban Gempa Lombok
21 Agustus 2018 16:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Rentetan gempa yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) tak hanya menimbulkan kerugian secara materiil saja, tetapi juga secara psikis. Hal tersebut, kemudian mendorong para relawan untuk datang dan memberikan uluran tangan, tak hanya soal fisik tetapi juga psikis.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Comunity of Preparedness (Compress) yang terdiri dari beragam komunitas, baik di bidang sosial maupun tanggap bencana. Delapan orang relawan Compress yang datang ke Lombok sejak 19 Agustus 2018 itu, juga dibantu oleh PMI Lombok Barat dan Komunitas Pasir Putih untuk menjalankan aksinya.
Anton Moza, salah satu relawan Comunity of Preparedness (Compress) mengaku pihaknya sengaja datang ke Lombok untuk memberikan psycho-education kepada korban gempa. Kegiatan tersebut ia lakukan bersama dengan PMI Lombok Barat dan Komunitas Pasir Putih.
"Sasaran kita masyarakat yang terpapar gempa di pengungsian. Untuk saat ini, lokasi kegiatan kita di beberapa pos pengungsian di Kecamata Lingsar dan Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat," tutur Anton kepada kumparan, Selasa (21/8).
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, psycho-education adalah dukungan psikososial yang dipadukan dengan edukasi tentang bencana serta penanggulangannya. Salah satu caranya adalah dengan berdiskusi dengan pemuda setempat tentang metode penyampaian psycho-education yang disesuaikan dengan kearifan lokal setempat.
"Kegiatannnya apa saja? Jadi kita bermain dengan anak-anak tentang kesiapsiagaan bencana. Nah, untuk pemuda-pemudanya, ada sharing session soal ketakutan mereka dan masyarakat," jelasnya.
Dari situlah, menurut Anton, pihaknya akan membuat metde penyampaian proses terjadinya bencana alam yang tepat. Sehingga, masyarakat bisa lebih paham soal proses terjadinya bencana serta cara menanggulanginya.
"Ini untuk menekan ketakutan yang berlebih (soal bencana alam) di masyarakat juga," tutur Anton.
Anton menyebut, secara umum sebenarnya kondisi masyarakat, terutama anak-anak, di pengungsian cenderung bosan dan bingung. Untuk itu, pihaknya sengaja mengemas pengetahuan tanggap bencana ke dalam bentuk yang lebih menyenangkan seperti melalui game.
ADVERTISEMENT
"Makanya, untuk anak-anak, kita ada dengan games-games dan lagu-lagu yang kita ajarkan," lanjutnya.
Selain masalah edukasi tanggap bencana, menurut Anton, masyarakat di pengungsian tersebut masih membutuhkan persediaan kebutuhan sehari-hari. Misalnya, terpat dan alas tidur, tenda hunian sementara, air bersih, hingga kebutuhan pokok dan alat sekolah.
Namun, di tengah segala keterbatasan, sikap gotong royong masyarakat sekitar justru membuat Anton semakin kagum. Sebab, meski kekurangan, namun mereka masih memiliki kesadaran tinggi untuk berbagi.
"Masyarakat di sini tetap gotong royong meski dalam kondisi seperti sekarang.tapi yang pling saya ingat, mereka di pengungsian dengan segala keterbatasan masih punya kesadaran tinggi untuk iuran sukarela buat beli kebutuhan bersama. Paling itu," pungkasnya.