Kesaksian Lengkap AM, Korban Peremasan Payudara

25 Januari 2018 18:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kita mungkin tak akan tahu persis rasanya menjadi korban, sampai mengalami sendiri. Kerap kali, bukan simpati didapat, tapi picingan mata, seolah korban diminta pasrah dengan nasib nahasnya.
ADVERTISEMENT
Itu pula yang dialami AM, perempuan muda 22 tahun yang menjadi korban pelecehan seksual di Depok, Jawa Barat. Saat ia sedang berjalan, payudaranya dijamah oleh seorang lelaki--yang kemudian diketahui bernama Ilham Sinna.
Kepada wartawan kumparan, Maria Sattwika Duhita dan Charles Brouwson, Sabtu (20/1), AM membeberkan kesaksian lengkap soal pelecehan yang menimpa dia Kamis (11/1).
Menjelang sore, sekitar jam 15.30, saya mau ke Stasiun Pondok Cina. Mau bertemu teman di Stasiun Tebet. Saat itu saya sedang jalan, 150 meter dari rumah saya, tiba-tiba ada laki-laki naik motor di tikungan dan dia berhenti.
Saya sudah belok dari tikungan, sudah agak jauh sedikit. Dia berhenti. Saya curiga, nengok ke belakang--di video (rekaman CCTV) terlihat. Saya nengok satu kali karena ketakutan, kayak ada rasa khawatir. Terus pas nengok, ya (mencoba tenang), “Ah sudah, enggak ada apa-apa.”
ADVERTISEMENT
Saya masih mainin handphone tuh, lagi chatting sama teman saya yang di Tebet. Tiba-tiba dari belakang, dia (laki-laki yang naik motor) ngedeketin. Saya sudah minggir-minggir, dia makin deketin. Akhirnya tangan dia yang sebelah kiri megang (payudara) saya, dan yang kanan langsung ngegas (motor).
Saya langsung teriak, tunjuk dia, tapi enggak ada orang sama sekali di situ. Akhirnya, saya langsung catat pelat nomornya, lalu jalan ke perempatan jalan, cari orang. Tapi di situ nggak ada orang.
Saya sudah gemetar, nangis. Akhirnya saya telepon orang terdekat, dia lagi di Bogor, lagi kerja. Terus dia saranin saya pulang. Tapi saya enggak langsung pulang. Lalu saya mikir, "Oh iya, di situ kan ada CCTV di rumah warga." Langsung saya samperin rumah ibu yang ada CCTV-nya.
ADVERTISEMENT
Pas lagi minta (rekaman CCTV) tuh saya nangis-nangis gemetaran. Ibunya mungkin kaget lihat saya kayak gitu. Kebetulan waktu saya minta (lihat rekaman CCTV), dia tidak bisa akses CCTV-nya sendiri, harus tunggu suaminya. Jadi saya tinggalin nomor WhatsApp biar nanti videonya bisa dikirimin via WhatsApp.
Setelah dari rumah ibu itu, saya lanjutin perjalanan saya ke Stasiun Tebet. Di kereta, saya dikirimi video (rekaman CCTV). Jadi, pas di dalam kereta, saya sudah dapat videonya. Pas ketemu teman di Tebet, saya langsung minta antar ke Polres Depok.
AM (jilbab hitam), korban pelecehan seksual. (Foto: Charles B./kumparan)
Teman saya lain, perempuan, yang juga tahu saya kena kasus begitu, langsung dampingi saya. Dia langsung antar saya ke Polres. Jadi saya didampingi dua orang teman, langsung diarahin ke SPKT.
ADVERTISEMENT
SPKT--Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, seperti dikutip dari situs resmi Polri, antara lain bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk penerimaan dan penanganan awal terhadap pelaporan atau pengaduan.
Itu sekitar jam 16.00. Saya cerita (ke polisi) kronologinya kayak gimana, sudah ada bukti (rekaman CCTV) juga. Polisi kasih formulir dan arahin saya ke ruangan Kriminal Umum.
Setelah saya sampai ke ruangan Kriminal Umum, petugasnya tanya, “Mbak tujuannya apa?” Saya jawab, “Mau buat laporan. Ini ada video buktinya.” (Ditanya lagi), “Ini pelecehan, Mbak? Ini mah bukan di sini, tapi di ruangan PPA (Perempuan dan Perlindungan Anak), khusus untuk perempuan dan anak.”
Ya sudah, saya ke sana. Di sana, ternyata polisinya lagi nggak ada. Katanya, lagi ke rumah sakit. Oke, saya sama teman saya nunggu sekitar 45 menit, dari jam 16.00 sampai jam 17.00 lebih, akhirnya dia datang, baru kami boleh masuk (ruangan).
ADVERTISEMENT
Saya didampingi teman saya satu orang, yang perempuan, masuk ruangan. Saya cerita kronologinya ke polisi. Setelah itu, saya dikasih buku KUHP, “Nih Mbak, dia (pelaku) kena Pasal 281 KUHP. Mbak baca dulu bukunya, biar ngerti. Jadi saya tinggal jelasin aja.”
Pasal 281 Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi, “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; 2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”
Saya bingung. Saya baca, sampai hafal di luar kepala itu Pasal 281. Saya kan awam soal hukum, terus saya tanya, “Pak, ini maksudnya gimana? Kan Pasal 281 itu hukumannya 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp 4.500. Apa kalau sudah bayar Rp 4.500 nggak perlu ditahan?”
ADVERTISEMENT
Dijawab, “Ya enggaklah, Mbak. Tetap saja. Tapi begini Mbak, kebetulan kan karena memang hukuman pidananya di bawah 2 tahun 8 bulan, dia nggak wajib ditahan di penjara.”
Saya bingung, “Loh, maksudnya gimana, Pak?” Katanya, “Ya memang begitu Mbak dari peraturan undang-undangnya. Kalau kejadiannya sama keluarga saya, juga bakal kayak begini, Mbak.”
Saya dan teman saya diam. Akhirnya dia (petugas) nanya, “Sekarang maunya Mbak apa?”
Saya jawab, “Saya mau pelaku ditangkap.” Kata dia, “Ya ditangkap, Mbak. Mbak isi form ini dulu aja.” Form yang saya saya bawa dari SPKT. Saya isi nama, tanggal lahir, segala macam. Selembar itu.
ADVERTISEMENT
Akhirnya kami salaman. Waktu itu sudah magrib. Saya pulang.
Ilustrasi korban pelecehan seksual. (Foto: Pexels)
Setelah pulang, saya kayak merasa, “Aduh, percuma banget hari ini. Kayak enggak dapat apa-apa.”
Saya akhirnya langsung minta tolong unggah video (rekaman CCTV pelecehan) sama (akun Instagram) Info Depok. Malam itu juga dia langsung nanya, “Mbak sudah lapor polisi?” Saya jawab, “Sudah, saya sudah lapor polisi.” (Ditanya lagi), “Bukti surat laporannya mana?”
(Saya bingung, bilang) “Apa tuh ya, saya enggak dapat.” Katanya, “Ya sudah Mbak, foto KTP.” Saya kirimi via Instagram waktu itu. Malam itu belum di-repost. Paginya, hari Jumat, baru di-repost, dan langsung viral.
Pagi itu saya nangis-nangis, kasih tunjuk video ke mama saya, sambil nanya, “Ma, rumah Pak RT di mana?” Mama nanya, “Kamu memang kenapa? Mau apa?”
ADVERTISEMENT
Saya jawab sambil nangis, “Ini, aku dilecehin orang kemarin.” Akhirnya mama antar saya ke rumah Pak RT.
Setelah sampai di rumah RT, polisi datang ke situ. Katanya, “Mbak sekarang ikut kami saja ke Polres. Polisi yang datang dari Polsek Depok. Dia kan enggak tahu laporan (saya ke Polres Depok). Dia tahunya dari video viral itu, dan langsung samperin ke rumah.
Akhirnya (setelah tahu saya sudah melapor), kata dia, “Mbak ikut ke Polres aja, enggak usah ke Polsek.” Karena memang laporan awal saya di Polres. Akhirnya kami dibawa ke Polres. Pak RT waktu itu juga diajak, suruh dampingi. Dibuatin laporan. Saya diajak lagi ke ruangan SPKT.
Dari situ, saya dapat kertas resmi, selembar, yang isinya ada nama saya, ketikan. Habis itu saya diarahin ke ruangan Kriminal Umum, diinterogasi lagi. Saya ceritain lagi, lalu dibikin BAP (Berita Acara Pemeriksaan).
ADVERTISEMENT
Setelah selesai bikin BAP, saya pulang. Hari Sabtu, saya komunikasi sama polisi, Bapak Darsono. Dia nanya-nanya ciri-ciri pelaku, motornya apa, karena dia akan cek juga ke Samsat. Sabtu itu, dia tanya empat sampai lima kali dalam sehari.
Senin malam, jam 22.30, saya dikabari saya wartawan di Instagram, “Mbak, pelakunya sudah ketangkap.” Saya dikirimi foto. Saya tanya, “Mas, kok dapat fotonya? Dari mana?” Dijawab, “Iya, ini saya lagi di Polres, Mbak.”
Ilham Sinna, pelaku peremas payudara di Depok (Foto: Istimewa)
Alhamdulilllah, saya langsung sujud syukur pas pelaku ketangkap. Jam 11.00, Kanit Kriminal Umum menelepon saya, kasih tau, “Mbak, (pelaku) sudah ketangkap.” Saya bilang, “Besok saya ke sana, Pak.”
Pas hari pelaku ketangkap, saya enggak bisa tidur. Ingin cepat besok, ingin cepat ke sana (Polres Depok). Hari Selasa, saya sama mama dan tiga orang teman ke Polres Depok. Saya ketemu sama pelaku di situ.
ADVERTISEMENT
Pas saya ketemu pelaku (Ilham Sinna), dia enggak ada tampang merasa bersalah. Pas saya masuk ruangan, dia bilang, “Saya minta maaf, Mbak. Demi Allah, saya khilaf. Saya khilaf banget, Mbak. Saya stres. Saya baru kehilangan istri saya. Istri saya meninggal Januari 2017. Terus saya lagi cari kerja, Mbak. Dari November 2017 belum kerja.”
Langsung saya jawab, “Apapun alasan anda, tidak ada yang membenarkan perbuatan yang anda lakukan ke saya.” Saya tanya motifnya apa, tapi dia jawabnya muter-muter. Saya kesal sekali. Saya coba redam (rasa kesal) itu. Saya enggak bisa tahan emosi lagi, akhirnya keluar ruangan.
Setelah saya keluar, teman saya, dua orang perempuan, gantian masuk ngelihat dia (Ilham), dan dia pelototi teman saya. Akhirnya teman saya ketakutan dan keluar. Terakhir, teman saya yang laki-laki masuk ruangan. Dia tanya, “Maksud anda melakukan itu apa?” Pelaku yang lagi menunduk langsung mendongak, lalu menjawab, “Iseng.”
ADVERTISEMENT
Dijawab “Iseng.” Aduh, parah banget. Emosi. Akhirnya saya pulang. Dari dia belum ada permintaan maaf resmi ke orang tua saya. Beda sama yang dia bilang di media waktu lagi konferensi pers di depan Kepolisian. Beda jauh banget.
Saya kemudian diberi penjelasan sama Kanit Kriminal Umum, “Pelaku enggak kami tahan, tapi jadi tahanan kota. Bukan berarti dia dibebaskan. Dia wajib lapor seminggu dua kali. Bakal kami pantau terus. Bakal dapat putusan kalau sudah sampai persidangan. Kalau hakim sama jaksa putuskan dia ditahan, ya dipenjara.”
ADVERTISEMENT
Saya kecewa, tapi ikuti saja karena memang saya enggak paham. Saya memutuskan buat istirahat dulu karena benar-benar capek mikir itu. Stres segala macam.
Hari Kamis, saya dapat tawaran pendampingan hukum. Saya langsung datang, sharing. Saya didampingi, dikasih bantuan hukum, pengacara. Saya juga ingin lapor ke Komnas atau Kementerian Perempuan.
Pelecehan seksual kerap terjadi di ruang publik. (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan )
Menurut saya, hal kayak begini sudah darurat moral. Bukan cuma perempuan, tapi anak-anak kecil juga jadi korban. Hukuman yang ada pun enggak kasih efek jera ke pelaku. Jadi tujuan saya bukan buat balas dendam, tapi untuk menunjukkan, setiap perbuatan--besar atau kecil--ada konsekuensinya. Kejahatan pasti ada hukumannya.
Kalau pelaku bebas, atau jadi tahanan kota, enggak menutup kemungkinan dia bisa lakuin hal itu lagi sama orang lain. Begitu pula pelaku-pelaku lain yang masih berkeliaran, karena enggak ada efek jera.
ADVERTISEMENT
Sehari sesudah Ilham Sinna--pelaku pelecehan seksual terhadap AM--tertangkap, seorang perempuan, CD (23 tahun), mendatangi Polresta Depok. Ia menduga, Ilham adalah orang yang sama dengan lelaki yang juga pernah melecehkannya pada Juni 2017.
Seperti yang menimpa AM, CD juga diremas payudaranya oleh seorang pria bersepeda motor tujuh bulan sebelumnya. Si lelaki, ujar CD, memiliki ciri-ciri fisik dan postur tubuh mirip Ilham Sinna.
Menurut CD, pelaku melakukan aksinya layaknya profesional. Satu tangan memegang setang motor, dan satu lagi meremas payudara dengan cepat.
Jujur saja, setelah kejadian itu, saya jadi takut. Trauma keluar sendirian. Seperti merasa kebebasan saya diambil. Padahal kejadiannya kan menjelang sore. Sore saja enggak aman, apalagi malam.
Saya enggak terima diperlakukan begitu. Sembarangan! Nggak semua orang bisa diperlakukan seenaknya.
ADVERTISEMENT
Yang bikin takut, karena sudah terekspose, bisa jadi orang-orang yang serupa sama pelaku jadi menyerang saya. Wajar saja saya takut, karena saya korban.
Waktu video saya viral, banyak perempuan DM (direct message) ke saya, cerita soal masa lalu mereka yang juga jadi korban.
Padahal enggak bisa kayak begini. Harus ada efek jera. Harus! Nggak bisa elo seenaknya! Seharusnya pelaku ditahan di penjara nggak cuma 2 tahun 8 bulan, tapi 5 tahun.
Infografis indikator resiko keamanan Kota Jakarta (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Buat teman-teman perempuan, pesan saya, walaupun jalan dekat rumah, hati-hati. Kalau bisa bekali diri dengan semprotan merica atau cabai. Dan usahakan jangan main handphone di jalan. Saya menyesal chat di jalan sampai (lengah) dan kejadian kayak gitu.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, ikuti hata hati. Saya kan sebetulnya punya rasa khawatir di hati, tapi terabaikan. Yang kayak gitu ikuti saja. Apalagi kalau di tempat sepi. Kalau merasa harus lari, ya lari.
Kalau sudah kejadian, cari orang yang paham dan punya concern terhadap isu perempuan. Dia pasti akan membantu pelaporan.
Sekarang saya mau coba healing sendiri pelan-pelan. Cuma masih agak takut. Mungkin nanti dua minggu lagi bisa, mau coba pelan-pelan keluar rumah sendiri.
Menghadapi pelecehan seksual (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Apakah kamu punya pengalaman serupa? Atau justru menjadi saksi mata pelecehan seksual? Mari berbagi kisah di kumparan. Kamu juga bisa mengikuti isu mendalam lain dengan mem-follow topik Ekspose di kumparan.