Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ketika Anak Pintar 'Dikalahkan' Sistem Zonasi Sekolah di Yogya
6 Juli 2018 15:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Wajah Sugito tampak kecewa berat. Pengemudi ojek online tersebut telah meluangkan waktu kerjanya mengantar putra dan istrinya ke Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta . Penyebabnya tak lain karena hingga saat ini putranya belum memiliki sekolah. Tidak ada solusi yang diterimanya dan puluhan wali murid lain, hanya kekecewaan.
ADVERTISEMENT
"Nggak bisa memutuskan dinasnya padahal kita hidup di kota," ujarnya pasrah di Kantor Dinas Pendidikan Yogyakarta, Jumat (6/7).
Warga Muja Muju, Umbulharjo, Kota Yogya, tersebut mengaku dari lima SMP yang didaftar tidak satu pun putranya diterima. Ia merasa dibohongi, janji bahwa sistem penerimaan tahun ini lebih mudah ternyata hanya isapan jempol semata.
"Terdekat SMP 9, jarak sekitar 2 km ternyata nggak ada. Nggak ada di sana namannya (anaknya). Saya kan milih lima sekolah mosok nggak ada semua namanya di lima sekolahan dan lempar terus. Zonasi jarak terdekat, nilai jelek aja diterima tapi nyatanya tidak ada (nama anak saya)," sebutnya.
Di tengah mepetnya waktu pendaftaran sekolah terpaksa ia harus menyekolahkan putranya ke sekolah swasta. Otomatis perasaan kecewa juga dirasakan sang anak yang menginginkan sekolah di sekolah negeri, apalagi sekolah swasta mahal.
Sementara itu bertempat di Kantor Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta lantai 4, wali murid bernama Indra Sulistyan tengah berdebat dengan petugas Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sebuah ruangan. Berkali-kali ia mempertanyakan sistem zonasi yang menurutnya tidak adil karena hanya mempertimbangkan jarak terdekat rumah siswa dengan sekolah tanpa mempertimbangkan nilai anak.
ADVERTISEMENT
"Tahun ini kami ibaratnya tumbal percobaan penerapan zonasi," keluhnya.
Warga Keparakan, Mergangsang, Kota Yogyakarta tersebut menyebut rumahnya berada di blank point. Artinya jarak terdekat dengan SMP sekitar 1,2 km yang menyulitkan anaknya untuk diterima di SMP negeri, lantaran kalah oleh 'jarak'. Impian sang anak untuk mengikuti jejak sang kakak di SMP 5 pupus.
"Di sini tidak ada fair play, selain zonasi harusnya ada nilai (jadi pertimbangan). Apa yang diusahakan anak saya yaitu sekolah dan les akhirnya percuma karena yang dicari kedekatan sekolah. Jadi intinya berarti harus pindah KK (kartu keluarga) maksimal 300 meter, jadi tidak perlu prestasi, yang penting lulus. Itu kekecewaan saya. Anak saya sedih," ujarnya menggebu-gebu.
Indra menjelaskan harusnya sistem zonasi seperti tahun lalu di mana selain mempetimbangkan jarak sekolah dengan rumah, nilai baik juga harus menjadi pertimbangan. Selain itu, sistem pengukuran jarak juga dirasa tidak valid. Ia pun mempertanyakan bagaimana cara Dinas Pendidikan Kota Yogya menentukan jarak masing-masing rumah siswa.
ADVERTISEMENT
"SMP 2 , SMP 10, SMP 9 jarak sekitar 1,2 km pilihan saya maksimal cuma 3 km langsung diisi semua dan semua tidak masuk. Sudah tertolak. Ya kita tetap berusaha paling ke swasta tapi kami kan inginkan negeri," tegasnya.
"Dengan sistem zonasi tidak bisa bikin sekolah berkualitas. (Faktor) prestasi juga, ada yang punya piagam menambah nilai padahal NEM biasa-biasa saja sementara bakat anak kan masing-masing (berbeda)," bebernya.
Ranking 3 Tak Masuk Negeri
Kekecewaan juga dirasakan oleh Yudhanto Tri. Anaknya, Dafina Naila Zemanova (11), harus menelan pil pahit karena tidak diterima disekolah negeri meski memiliki ranking 3 di sekolahnya. Bahkan Yudhanto menyebut negara tak membutuhkan lagi orang pintar, tapi hanya membutuhkan orang yang rumahnya dekat dengan sekolah.
ADVERTISEMENT
"Kita semua mengeluh. Saya itu memilih jarak sudah tidak jauh-jauh dari rumah anak saya ranking 3 di SD-nya apa yang terjadi sampai hari ini karena satu dikalahkan oleh jarak dari yang lebih dekat walaupun NEM rendah. Apa negara ini tidak butuh orang pintar, tapi butuh orang yang dekat sekolah?" keluh warga Gedongkiwo tersebut.
Saat ini, mental sang anak terguncang. Bagaimana tidak, memiliki prestasi yang bagus tapi tidak mempunyai sekolah. Tujuh sekolah yang didaftar pun tak ada satu pun yang lolos. Hingga saat ini dia belum memutuskan ke sekolah mana anakya berlabuh.
"Ini mental anak SD labil masih butuh bimbingan orangt ua dan rajin belajar tapi setelah nilai bagus ora (tidak) dapat sekolah. Kalau diteruskan seperti ini rusak skema pendidikan. Sudah submit data tujuh sekolah tidak ada yang nyantol. Kalau zonasi saya sudah milih yang 900 meter tidak masuk karena alasannya sekolah itu zonasinya 500 meter. Itu nggak fair," protesnya.
ADVERTISEMENT
"Harus evaluasi riset ulang supaya anak-anak kita terakomodasi. Ini menjadi impian kita kembali ke NEM kita siap untuk itu (bersaing). Kalau cara seperti ini, SMP lain masak NEM tertinggi 20? Padahal NEM anak saya 24,6," sebutnya.
Tanggapan Dinas Pendidikan
Sementara itu, Rohmat Jaya, Panitia PPDB Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa tujuan dari sistem zonasi yang merupakan peraturan menteri tersebut tak lain untuk menyetarakan kualitas antar sekolah. Namun, banyaknya penolakan dari wali murid diakuinya membuat sistem ini perlu dievaluasi.
"Realitas seperti itu masyarakat di Yogya masih menginginkan adanya kelompok-kelompok sekolah seperti dulu ini, menjadi evaluasi sekolah," jelasnya.
Seberapa efektif sistem zonasi ini diakuinya tidak bisa dinilai dalam satu dua hari dan membutuhkan proses yang cukup panjang. Diakui juga, protes wali murid ini juga menandakan antusias warga pada kualitas pendidikan yang baik masih tinggi.
ADVERTISEMENT
"(Sistem) sekarang sebenarnya sudah mengakomodir dua kepentingan anak-anak yang berprestasi kita akomodir ke 15 persen tapi mungkin masih dirasa kurang, sementara yang namanya zonasi 75 persen mungkin masyarakat tidak menghendaki karena jarak wilayah di masing-masing SMP belum sama di masing-masing kecamatan," jelasnya.
Sementara, akurasi jarak yang dikeluhkan pun juga menjadi perhatiannya. Selama ini titik tengah jarak menggunakana rata-rata wilayah RW.
"Akurasi jarak dihitung jarak kalau kantor RW kan tidak ada, adanya kantor kelurahan. Sementara kita menggunakan rata-rata wilayah RW di mana dicari titik tengahnya," katanya.
Dalam sosialisasi sebelumnya, pihaknya pun telah menjelaskan agar mendaftar ke sekolah yang terdekat baru setelah itu memilih jarak yang terjauh. Total tahun ini kuota untuk penerimaan SMP negeri mencapai 3.400 siswa.
ADVERTISEMENT
"Orang mengatakan ada di area blank spot semua SMP jaraknya jauh. Kita menyampaikan daftar terdekat dulu baru agak jauh. Contoh SMP 5 jarak terjauh 2,7 km yang lain ada 0,6 km. Kita tidak tahu petanya di masing-masing wilayah jumlah lulusan SD ada berapa. Kalau prestasi kita kan tahu," ujarnya.
Kualitas SMP Masih Terasa
Lebih jauh, Rohmat mengakui bahwa dari 16 SMP Negeri di Kota Yogyakarta kualitasnya masih timpang. Untuk itu pihaknya akan mencarikan solusi, salah satunya dengan meratakan kualitas guru yang ada.
"Ketimpangan SMP kami coba meratakan kalau tidak bisa dari sisi siswa ya dari sisi gurunya. Guru-guru yang bagus kita ratakan ke SMP-SMP. Kalau zonasi jadi permasalahan, ya gurunya saja," ungkap Rohmat.
ADVERTISEMENT
PPDB di DIY tahun ini menerapkan sistem zonasi penuh. Jalur zonasi (jarak) mendapat jatah siswa 75 persen, sedangkan sisanya adalah jalur prestasi (untuk luar kota), 15 persen (dalam kota), dan jalur khusus sebanyak 5 persen.