Kisah Luthfi Melawan Keterbatasan Fisik untuk Jadi Lulusan S2 Cumlaude

6 Desember 2017 12:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Luthfi Azizatunnisa saat wisuda S2 di UGM (Foto: Dok. Luthfi Azizatunnisa)
zoom-in-whitePerbesar
Luthfi Azizatunnisa saat wisuda S2 di UGM (Foto: Dok. Luthfi Azizatunnisa)
ADVERTISEMENT
Kecelakaan beruntun yang dialami oleh Luthfi 6 tahun lalu membuat kehidupannya berubah drastis. Luthfi yang kala itu sedang menempuh semester akhir di kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo, mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelum kecelakaan, Lutfhi adalah pribadi yang aktif, dia bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dan sering mendaki, bersepeda, berenang, memanjat, dan melakukan aktivitas fisik lainnya. Kondisi fisik yang tiba-tiba 'berubah' ini sempat membuat Luthfi depresi dan menangis sepanjang malam.
Luthfi kemudian mengalami qudriplegic level C6, yaitu sebuah kondisi ketika keempat anggota geraknya lumpuh, selain itu fungsi gerak tangan kanannya juga menurun dan dia tak bisa lagi menulis seperti biasanya.
Kelumpuhan membuat anak pertama dari 3 saudara tersebut akhirnya memulai belajar dan menulis sebagai seorang kidal. Pada awalnya, sulit bagi Luthfi untuk menulis dengan tangan kiri. Tangannya belum cukup lihai menggoreskan tinta di atas kertas.
"Semenjak kidal, enggak bisa ngerangkum seindah dulu, tulisannya belepotan. Ini tangan kanan masih susah kalau nulis," ungkap Luthfi saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com), Selasa (5/12).
ADVERTISEMENT
Saat Luthfi tak lagi bisa merangkum pelajaran serapi sebelumnya, ia menyiasati dengan menggambar dan mewarnainya.
"Kalau pas S1 dulu aku modelnya aku rangkum sih terus dibikin warna-warni. Digambar-gambar gitu," tambahnya.
Menurut gadis asli Klaten tersebut, tuntutan menjadi mahasiswi kedokteran adalah harus banyak hafalan. Oleh karena itu, saat kembali ke bangku kuliah pascakecelakaan, Luthfi mengaku mengulang beberapa materi kuliah.
"Belajar fisiologi saja yang dasar-dasar biar enggak ketinggalan-ketinggalan banget," ujar Luthfi.
Kurang berfungsinya tangan kanan Luthfi membuatnya harus berjuang lebih keras saat menyelesaikan skripsi. Ia mengaku hanya bisa mentik dengan tangan kiri. Saat itu, skripsi gadis itu membahas mengenai mikrobiologi sehingga membutuhkan ketelitian tinggi.
"Skripsi saya mikrobiologi jadi butuh ketelitian tinggi sedangkan motorik halus saya belum bagus. Tiap ngelab ditemenin ibu saya yang megangin tabung reaksi lah, cawan petri, ambilin antibiotik, dll. Skripsi kesulitannya ya itu harus teliti, harus steril, tiap hari berhubungan sama kuman-kuman. Bisa dibilang saya melihara kuman " cerita Luthfi.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil lulus menjadi sarjana kedokteran tahun 2015, Luthfi kemudian melanjutkan pendidikan S2 di UGM. Ia berhasil mendapatkan beasiswa dari WHO TDR (Program spesial untuk penelitian dan pelatihan untuk penyakit tropis). Luthfi menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM).
Saat itu, Luthfi mengaku bahwa ada perbedaan cara belajar ketika ia menempuh S2.
"Kalau S2 kan lebih ke analitik bukan hafalan lagi, jadi kalau S2 dibanyakin baca aja," ungkap Luthfi.
Luthfi menyebut bahwa ia tak memiliki waktu khusus untuk belajar saat menempuh S2 di UGM. Kondisi fisik yang terbatas membuat gadis berusia 26 tahun tersebut memilih untuk tidak ngekos, dia pulang-pergi dari kampus ke rumahnya di Klaten. Dengan diantar oleh ibundanya, Luthfi menempuh jarak 39 kilometer untuk bisa sampai ke UGM.
ADVERTISEMENT
"Saya rumahnya Klaten, kuliah di UGM, tiap hari ngelaju. Berangkat jam 6 pagi, pulang sampai rumah Isya. Sampe rumah mandi makan terus tidur. Enggak ada waktu buat belajar. Biasanya saya jam 2 bangun. Bikin tugas, belajarnya ya pas kuliah," tutupnya.
Saat S2, Luthfi mengambil topik mengenai TB di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Luthfi mengaku harus datang ke penjara untuk wawancara dan menyebar kuisioner kepada narapidana. Saat penelitian di LP, Luthfi tak pernah menduga bakal mendapat sambutan baik dari para narapidana.
"Aksesnya, di LP narkotika Yogyakarta enggak ramah difabel. Jadi tiap ruang ada tangganya. Sering dibantuin sama mas-mas napi, diangkat sekursinya. Kebanyakan napi-napi itu enggak merespons baik kalau ada penelitian. Banyak yang menyepelekan. Tapi kemarin alhamdulillah sama saya semua antusias," kisah Luthfi.
ADVERTISEMENT
Setelah mengambil data di LP, Luthfi kemudian harus menuliskan hasil penelitian. Ia mengaku masih mengandalkan tangan kiri untuk mentik penelitian thesisnya.
"Ngetiknya ya sebisanya pake tangan kiri 3 jari, tangan kanan 1 jari aja," ungkap Luthfi.
Luthfi saat wisuda S2 UGM (Foto: Instagram @luthfiniza)
zoom-in-whitePerbesar
Luthfi saat wisuda S2 UGM (Foto: Instagram @luthfiniza)
Meskipun tak ada waktu khusus untuk belajar dan dilanda keterbatasan, kesungguhan Luthfi akhirnya berbuah manis. Ia berhasil menjadi lulusan S2 UGM dengan predikat cumlaude.
Saat ini Luthfi tengah disibukkan dengan penelitian bersama dosennya. Ia meneliti mengenai penyakit TBC di Indonesia.