Kisah Mahasiswa Papua dan Jawa yang Berjarak karena Komunikasi

19 Agustus 2019 18:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mahasiswa Papua. Foto: Instagram @ikmapal
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa Papua. Foto: Instagram @ikmapal
ADVERTISEMENT
Tak kenal maka tak sayang. Sebuah pribahasa klasik yang cocok untuk menggambarkan hubungan antara orang lokal dan para pendatang. Seperti yang dialami sejumlah mahasiswa asal Papua yang kuliah di Malang, 2013 lalu.
ADVERTISEMENT
Kisah mereka terungkap melalui riset tentang isu komunikasi antara mahasiswa Papua dan mahasiswa Jawa yang dirilis Universitas Brawijaya (UB). Riset setebal 16 halaman itu berjudul Analisis Model Komunikasi Antarbudaya: Studi Kasus Komunikasi Mahasiswa Papua dan Jawa di Universitas Brawijaya.
Enam mahasiswa Papua dan delapan mahasiswa Jawa dari berbagai fakultas di UB dilibatkan sebagai objek penelitian. Sumber data lalu dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam, pengamatan, dan dokumentasi.
Sejumlah temuan menarik pun dihasilkan dari riset tersebut. Di antaranya alasan mahasiswa Papua lebih suka berbaur dengan sesamanya, hingga kepercayaan diri mereka yang rendah.
Neneng Churaerohbermain bersama anak Papua. Foto: Moh Fajri/kumparan
Pada dasarnya, tulis riset tersebut, mahasiswa Papua kurang percaya diri ketika harus tampil secara individu atau terpisah dari kelompoknya. Jika tidak ada yang mengajak berkomunikasi, mereka lebih banyak diam.
ADVERTISEMENT
“Mereka yang satu kelas dengan sesama etnis kurang berupaya mencari teman dari luar kelompok etnis. Sedangkan yang tidak satu kelas dengan sesama etnis tampil kurang percaya diri, menyendiri, dan pendiam di tengah mahasiswa etnis lain,” tulis riset tersebut.
Hal ini pula yang menyebabkan mahasiswa Papua tinggal di kost atau kontrakan secara berkelompok. Dalam komunikasi formal, perkuliahan atau forum diskusi, mahasiswa Papua juga jarang memberikan tanggapan atau mengajukan pertanyaan.
Bagi mahasiswa jawa, sikap mahasiswa Papua yang cenderung tertutup itu diartikan sebagai upaya membentengi diri. Akibatnya, mahasiswa jawa juga jadi enggan untuk mengajak mereka berbicara.
Dua anak pengungsi banjir bandang Sentani bermain di di dalam tenda darurat yang didirikan di Bukit Harapan, Sentani, Jaya Pura, Papua, Rabu (20/3/2019). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Lain dari itu, mahasiswa Jawa juga memilik prasangka negatif terhadap masyarakat Papua. Bagi mereka, orang Papua memiliki sikap yang kaku. Seperti misalnya kurang ramah, kurang senyum, dan berbicara dengan suara keras.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, mahasiswa Papua memiliki alasan mengapa mereka bersikap tertutup. Mereka mengakui bahwa mereka malu, ragu-ragu, dan takut melakukan kesalahan atau ditolak jika memulai komunikasi dengan orang yang tidak mereka kenal dekat.
“Mahasiswa Papua juga mengaku minder dan segan ketika berada di tengah-tengah mahasiswa Jawa,” lanjut penelitan tersebut.
Lain dari itu, mahasiswa Papua juga menyimpan stereotip terhadap orang Jawa. Bagi mereka, masyarakat Jawa tidak menyampaikan pendapatnya secara terus terang dan to the point.
Di benak mereka, pernyataan yang diungkapkan mahasiswa Jawa secara face to face seringkali tidak sama dengan yang diungkapkan pada orang lain sesudahnya. Stereotip itu mereka dapat dari cerita teman dan perilaku orang Jawa yang merantau ke Papua. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi sulit terjadi.
Sejumlah anak pengungsi banjir bandang Sentani bermain karet di halaman Kantor Bupati Jayapura yang dijadikan tempat pengungsian di Sentani, Jayapura, Papua, Kamis (21/3/2019). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Meski mahasiswa Papua sulit berbaur dengan mahasiswa Jawa, itu bukan berarti mustahil menciptakan pertemanan. Itu karena, mahasiswa Papua yang sudah kenal baik dengan mahasiswa Jawa justru bisa menjadi sahabat karib.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi lantaran mahasiswa Papua percaya pada konsep solidaritas. Jika mahasiswa Papua melihat ada orang lain yang bersikap baik ke mereka, maka balasannya adalah rasa solider dan loyalitas terhadap orang tersebut.
“(Mahasiswa Papua) menunggu dengan sabar jika mereka masih melakukan kegiatan lain, memberi kopi materi kuliah bila mereka absen, bahkan tidak jarang mentraktir makan jika sedang punya uang,” tulis riset itu.
Erat kaitannya dengan riset tersebut, kontes kecantikan Miss Indonesia seringkali menobatkan perempuan Papua sebagai Miss Persahabatan. Predikat tersebut diperoleh bukan dari dewan juri, melainkan dari sesama kontestan saat karantina.
Sejak tahun 2005 hingga 2019, tujuh perempuan dari Provinsi Papua dan Papua Barat menyandang gelar tersebut. Mereka di antaranya adalah Agustine Ariella Nere (2005),Ellen Rachel Aragay (2014), hingga Ludia Amaye Maryen (2018).
ADVERTISEMENT
Pencapaian ini jelas terbilang fantastis. Bahkan, tak ada provinsi di Pulau Jawa yang pernah menerima gelar tersebut. Ini bermakna, orang Papua merupakan sosok yang paling nyaman untuk dijadikan sahabat oleh orang dari provinsi lainnya.