Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Mereka yang Bertahan Hidup dari Gempa dan Tsunami di Palu
3 Oktober 2018 8:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Musibah gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, membuat Indonesia kembali dirundung duka mendalam. Bumi Celebes porak-poranda akibat gempa berkekuatan 7,4 magnitudo yang terjadi pada Jumat (28/9) lalu itu.
ADVERTISEMENT
Diantara ribuan korban tewas akibat tsunami Palu , terselip perjuangan luar biasa dari mereka yang bisa bertahan hidup di tengah bencana yang melanda.
Salah satunya Nurul (15) yang bertahan dari rasa takut dan dingin di tengah reruntuhan akibat gempa di Balaroa, Palu, sejak Jumat (28/9). Dia terjebak di genangan air PDAM yang bocor diguncang gempa.
Humas Kantor SAR Banjarmasin Iman Saputra di Kota Palu, mengatakan, Nurul berhasil dievakuasi dalam keadaan selamat setelah 3 hari berada di bawah reruntuhan rumahnya. Korban berpelukan dengan jasad sang ibu yang meninggal karena tertimbun bangunan.
"Korban berhasil kami evakuasi dari reruntuhan bangunan rumahnya di Komplek Perumnas Balaroa dan proses evakuasi yang dibantu warga berjalan dramatis karena kami harus hati-hati mengeluarkannya," ujar Iman dikutip dari Antara, Senin (1/10).
ADVERTISEMENT
Proses evakuasi berlangsung dramatis karena kondisi remaja itu yang amat kelelahan. Begitu berhasil, Nurul langsung dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara kota Palu untuk mendapat perawatan luka dan psikologis.
Nurul tak sendiri, cerita lain juga datang dari seorang atlet paralayang yang bernama Taufik Muksin. Taufik ketika itu tengah mengikuti kejuaraan Indonesia Open Paragliding Palu Nomoni di Arena Paralayang Nomoni Pegunungan Selena di Palu.
Saat gempa terjadi, dirinya sedang berada di Hotel Borneo bersama 10 orang atlet paralayang lainnya. Sekitar pukul 18.00, gempa itu terasa. Dirinya begitu panik dan berusaha melarikan diri.
"Waktu jam 18.00 WIB itu aku posisi lagi di kamar mandi sore karena sudah masuk salat Magrib ya," ujar Taufik Muksin saat dihubungi kumparan, Senin (1/10).
Taufik berlari keluar hotel hanya dengan mengenakan sehelai kain handuk. Dengan sehelai kain handuk tersebut, Taufik keluar kamar hotel untuk menyelamatkan diri dan bergabung bersama atlet-atlet lainnya yang berada dalam satu hotel yang sama dengan dirinya.
ADVERTISEMENT
Taufik dan 10 atlet lainnya kemudian menuju ke posko pengungsian di lapangan bola Silae, untuk bertemu atlet paralayang lainnya yang selamat.
Total 24 atlet paralayang berhasil selamat dari guncangan gempa yang melanda Palu dan sekitarnya. Sedangkan 7 teman Taufik lainnya yang saat itu menginap di Hotel Roa-Roa hilang usai gempa.
Seperti Taufik, seorang korban selamat lainnya juga berbagi kisahnya bertahan dari guncangan gempa dahsyat yang terjadi di Palu. Dia adalah Tria Aditia, seorang pramugari Garuda Indonesia .
Jumat (28/9), Tria mengindap di Mercure Hotel, Palu bersama kru pesawat lainnya. Ia sempat diberitahu oleh kru lainnya untuk berhati-hati karena sebelumnya sudah terjadi empat kali gempa.
Sekitar pukul 18.00 WITA ketika dirinya dan teman sekamarnya hendak beristirahat, tiba-tiba kamar berguncang dan benda-benda seisi ruangan berjatuhan ke lantai.
ADVERTISEMENT
“Kami berdua cuma istigfar sambil menangis minta pertolongan. Kaca kamar mandi pecah, gelas-gelas jatuh pecah semua. Gempa 7,7 SR yang singkat itu enggak bisa angkat badan sendiri untuk berdiri,” jelas Tria pada Instagram Story-nya.
Ketika gempa sudah mulai mereda mereka berdua langsung bergegas keluar kamar. Ia terkaget saat mendapati plafon-plafon sudah menjadi reruntuhan.
"Aku cuma berpikir satu-satunya keluarga yang aku punya di sini, cuma teman sekamarku, dan aku enggak boleh pisah sama Mbak Kartika,” ucap Tria.
Mereka akhirnya bisa menemukan jalan keluar dan menuju rooftop hotel. Namun, ketika berada di rooftop, Tria justru diberitahu bahwa terjadi tsunami. Tak pernah Tria mendengar suara ombak kencang dan gemuruh seperti itu. Saat itu adalah momen yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
“Enggak pernah aku dengar suara gemuruh ombak sekencang itu. Jujur aku takut banget, aku meninggal di tempat yang enggak akan ada seorang pun (mungkin) ngenalin jenazahku,” tutur Tria.
Air pun berhenti datang, arus air sudah tenang. Tria dan lainnya masih berada di rooftop bertahan di pondasi yang menurut mereka aman. Tria sempat melihat jenazah perempuan dengan kondisi mengenaskan, terbawa arus air.
"Aku lihat bangunan hotel dari luar, bergeser ke kanan dan ke kiri. Aku cuma bisa minta Allah hentikan, aku enggak bisa ke mana-mana, aku enggak berani ke mana-mana, aku cuma bisa nangis ketakutan, aku bingung, aku harus bagaimana. Ada bapak namanya Pak Dian suruh aku berdoa, cuma doa yang bisa aku lakukan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Tria akhirnya bisa bertemu rekan-rekan kru pesawat lainnya ketika mencapai rooftop yang lebih tinggi. Ternyata sebelumnya ia sempat dianggap hilang.
"Ternyata aku sempat dikabarkan hilang,” ucapnya.
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Mawardi (45),warga desa Petobo, Palu. Desa tempat Mawardi tinggal, menjadi salah satu titik terparah yang mengalami kerusakan. Mawardi bercerita, guncangan dahsyat terasa ketika ia tengah menunaikan ibadah salat isya bersama warga lainnya.
Masyarakat dan kendaraan itu sudah bergelimpangan di jalan raya. Setelah berhenti sesaat, kita lari pulang dari masjid ke rumah masing-masing," ucap Mawardi ketika ditemui kumparan, Selasa (2/10).
Saat merasa gempa mulai mereda, ia sempat menyelamatkan benda-benda dari rumahnya, namun ternyata malah terjadi gempa yang lebih dahsyat. Mawardi mengaku melihat tanah mulai bergerak, tampak seperti bukit yang berlarian mengarah kepadanya.
ADVERTISEMENT
Mawardi lalu menggunakan mobilnya untuk menyelamatkan diri. Ia memacu kencang mobilnya hingga hampir 25 menit berlalu. Dia melihat beberapa warga berhamburan seolah terbang dari tanah dan jalan raya retak-retak.
"Tanah itu seperti lompat-lompat. Abis lompat-lompat atas bawah, kemudian goyang kiri kanan. Kita panik besar dan diputar lagi itu," ucap Mawardi.
Beruntung, ia dan keluarga besarnya berhasil lolos dari kejadian mengerikan itu. Namun, Mawardi sempat kesulitan mencari rumahnya karena seluruh bangunan di sekitarnya rata dengan tanah.
Kini, Mawardi hanya bisa berharap agar pemerintah segera mengevakuasi korban yang masih tertimbun di lokasi. Sebab, bau menyengat dari jasad para korban sudah mulai tercium. Dia juga berharap dapur umum segera dibangun di Petobo.
“Kita kayak ayam kehilangan induk, menyebar, biar itu RT/RW hingga lurahnya tidak ada muncul,” ujarnya.
ADVERTISEMENT