Kisah Nyoman Nuarta, Maestro Garuda Wisnu Kencana

31 Januari 2018 10:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Bandung begitu sejuk pagi itu. Semilir angin mengiringi perbincangan kami dengan I Nyoman Nuarta, seniman yang memahat waktu melalui karya-karya patungnya.
Bagi penikmat seni, Nyoman Nuarta sama sekali bukan nama baru. Patung-patung ikonik karya lelaki kelahiran Tabanan, Bali, 14 November 1951 itu tersebar di beberapa kota besar Pulau Jawa, mulai Monumen Arjuna Wijaya (patung delapan kuda menarik kereta perang) di persimpangan Jalan Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Jakarta Pusat, sampai Monumen Jalesveva Jayamahe (sosok perwira TNI Angkatan Laut) di Dermaga Ujung Surabaya.
Garuda Wisnu Kencana skala kecil. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Satu lagi yang paling fenomenal dan ditargetkan rampung Agustus 2018 adalah patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Kuta Selatan, Bali. Patung yang pengerjaannya telah 80 persen itu menampilkan sosok Dewa Wisnu duduk di atas punggung Garuda.
ADVERTISEMENT
Dengan tinggi 121 meter dan lebar 64 meter, Garuda Wisnu Kencana akan menjadi patung termegah di dunia, sekaligus ikon baru Bali dan Indonesia.
Sang pematung di balik proyek ambisius GWK, Nyoman Nuarta, adalah penggila seni. Lelaki kelahiran Tabanan, Bali, 14 November 1951 ini tumbuh dalam didikan seorang guru seni rupa, Ketut Dharma Susila, yang tak lain pamannya sendiri.
Tak heran seni begitu mengakar dalam diri Nuarta. Mengikuti jiwa seninya, anak kelima dari sembilan bersaudara itu memilih berkuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1973-1979). Semula, ia mengambil jurusan seni lukis. Dua tahun berselang, ia berganti jurusan ke seni patung.
Nuarta sendiri tak menyangka bakal terpikat dunia patung. Perspektifnya tentang patung dalam wujud tradisional seperti di tanah kelahirannya, Bali, berubah saat ia melihat patung modern. Ia seperti menemukan apa yang ia cari.
ADVERTISEMENT
“Saat itulah saya baru berasa, ‘Wah, ini nih duniaku--agak keras, berat, lebih menantang,” kata Nuarta dalam obrolan santai dengan kumparan di lobi galeri NuArt Sculpture Park, Bandung, Jawa Barta, Rabu (17/1).
Selain itu, Nuarta merasa tak pandai melukis--jurusan awal yang ia ambil di ITB. “Kalau melukis kan dua dimensi, (kertas) ditekan bisa sobek. Saya kurang berbakat di situ. Tapi saya kan dari kampung, Tabanan, tahunya dulu cuma melukis.”
Sejak mengenal patung modern, dunia Nuarta berubah. Waktu libur kuliah tak ia gunakan untuk berlibur, melainkan menghabiskan hari di dalam studio untuk mematung.
“Saya di sekolah (kampus) terus. Karena tidak punya uang untuk ikut liburan, dan karena seneng banget sama dunia seni patung. Saya happy,” kata ayah dua anak itu, mengenang masa mudanya.
Nyoman Nuarta (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Meski banyak berada di kampus semasa berkuliah di ITB, Nuarta menyimpan gerah. Ia merasa tak memiliki kebebasan dalam berseni, hingga akhirnya memberontak dari ajaran dosen-dosennya.
ADVERTISEMENT
“Dulu berkesenian itu seolah harus mengikuti guru-guru kami. Saya pikir, ‘Kok malah kayak gini?’ Seni kan harus bebas. Saya dimusuhi,” kata dia.
Nuarta berselisih paham dengan dosen-dosennya tentang pakem seni. Para guru berpendapat, karya seni bernilai tinggi adalah seni modern yang abstrak. Sementara Nuarta mematung dengan konsep realisme (paham yang lahir dan bertolak dari kenyataan aktual), bahkan ia tak memiliki aliran spesifik.
Bagi Nuarta, pandangan mengenai ragam aliran seni yang diajarkan di sekolah tak lagi relevan. Sebab aliran-aliran itu hanya mengotak-ngotakkan karya seni itu sendiri.
Ketegangan di kampus itu membuat Nuarta bersama sejumlah rekan seniman lain seperti pelukis Hardi, Dede Eri Supria, FX Harsono, dan Jim Supangkat, bergabung membentuk Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia pada 1976.
ADVERTISEMENT
Gerakan tersebut menentang dominasi seni oleh sekelompok seniman yang juga para pengajar mereka di kampus. Nuarta dan kawan-kawannya mendambakan kreativitas lebih dan berniat melenyapkan batasan seni.
Tugu Proklamasi. (Foto: Wikimedia)
Keadaan mulai berubah pada 1979, saat Nuarta menjadi sorotan publik karena memenangi lomba patung proklamator RI--yang juga dikenal dengan sebutan Monumen Proklamasi atau Tugu Proklamasi, terletak di bekas rumah kediaman Sukarno, Jalan Proklamasi (dulu Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat).
ADVERTISEMENT
Dalam kompetisi pembuatan patung proklamator itu, Nuarta--yang biasa menggunakan material tembaga dan kuningan dalam karyanya--mengalahkan para pematung senior tanah air, termasuk dosen-dosennya.
Ini membuat nama Nuarta masuk jajaran pematung terkenal di tanah air, bahkan bergaung hingga ke luar negeri. Kamis (25/1), Nuarta menjadi salah satu penerima penghargaan Padma Shri di bidang seni patung dari pemerintah India.
Padma Shri ialah salah satu penghargaan sipil tertinggi di India untuk menghormati jasa-jasa mereka--termasuk warga negara asing--yang dianggap berperan penting dalam bidangnya.
Tentu, tak selalu manis yang dipetik Nuarta. Peristiwa pahit juga kerap menghampiri. Salah satunya saat Patung Tiga Mojang Priangan buatannya di Bekasi, Jawa Barat, dibongkar oleh Pemerintah Kota Bekasi pada 19 Juni 2010.
Patung Tiga Mojang (Foto: Dok. Nyoman Nuarta)
Tiga Mojang ketika itu merupakan ikon sebuah perumahan elite di kawasan Medan Satria, Kota Bekasi. Patung setinggi 19 meter itu diprotes sebagian umat Islam setempat yang menilainya sebagai simbol trinitas, pula dituding tak berizin.
ADVERTISEMENT
Seperti namanya, Tiga Mojang berwujud tiga gadis Sunda berpakaian kemben yang berdiri saling memunggungi menghadap ke tiga arah berbeda. Namun, persepsi orang dalam melihat dan menerjemahkan makna patung itu berbeda-beda.
Padahal, kata Nuarta, patung Tiga Mojang sekadar merepresentasikan budaya Sunda, dan Bekasi yang menjadi lokasi berdirinya patung itu merupakan bagian dari Jawa Barat alias tanah Sunda.
“Patung (Tiga Mojang) ini katanya dibilang Trinitas. Waktu itu saya tanya sama teman-teman, trinitas itu apa sih?” kata Nuarta yang beristrikan perempuan Sunda, sembari tertawa miris.
Setidaknya, insiden itu menjadi pelajaran penting bagi Nuarta. Ia kini benar-benar memperhatikan lokasi di mana patung dibangun dan ditempatkan, termasuk mempelajari demografi penduduk setempat.
Memang, itu tak mudah. Pembangunan Garuda Wisnu Kencana di Bali misalnya, sempat ditentang budayawan. Nuarta disebut merusak budaya dan lingkungan Bali. Ia disangka hendak membangun taman hiburan macam Disneyland.
ADVERTISEMENT
“Ada salah persepsi. Budayawan lokal dan asing bertanya (curiga), dan mereka saya undang datang (ke lokasi proyek) untuk mendapat penjelasan,” kata Nuarta.
Perjalanan GWK (Foto: Muhammad Faisal.N/kumparan)
Garuda Wisnu Kencana, terang Nuarta, menggambarkan Dewa Wisnu--yang dalam ajaran Hindu (agama mayoritas penduduk Bali) merupakan satu dari tiga dewa tertinggi atau Trimurti (Brahma, Wisnu, Syiwa)
Wisnu ialah dewa pemelihara dan pelindung, Brahma dewa pencipta semesta, dan Syiwa dewa perusak.
“Jadi dalam filsafat Bali, Wisnu adalah lambang kehidupan. Sementara Garuda, menurut saya, adalah representasi manusia yang memikul kehidupan ini,” ujar Nuarta.
Sebagai patung yang didirikan di Bali, sambung Nuarta, “GWK harus mempunya ciri khas Bali. Supaya orang mudah mengenali, ‘Wah, ini Bali’. Jangan sampai orang berpikir bingung, ‘Ini di mana ya?’”
Patung Nightmare. (Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan)
Patung karya Nuarta tak sekadar patung. Ia juga wujud kritik dan cerminan atas masalah politik, sosial, dan hukum di tanah air. Semisal patung Nightmare berupa sosok perempuan berbaring telentang yang menyimpan kisah soal pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Ada pula Condemned berupa sosok manusia yang duduk membungkuk di kursi dengan kedua tangan diletakkan di lutut, seolah dia merasa tertekan. Patung itu, menurut Nuarta, menggambarkan seorang koruptor yang duduk di kursi pesakitan tanpa dukungan.
Patung Condemned. (Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan)
Condemned, ujar Nuarta, sebetulnya dibuat sebagai pengingat bagi koruptor. “Saya membayangkan bila divonis di pengadilan, kita rasanya hilang, kaki seperti tak menapak. Makanya selama kita hidup, berbuat baiklah. Jangan (korupsi) seperti itu.”
Patung lain di galeri NuArt diberi judul Five Officials, memperlihatkan lima figur pejabat dengan kepala berlubang seolah ia tak berotak.
Patung Rush Hour karya Nyoman Nuarta. (Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan)
Satu hal yang menjadi karakter kuat pada karya Nuarta ialah gerakan angin yang ia tiga dimensikan pada patung-patungnya. Ia kerap mengambil citra bentukan angin seperti pohon bergoyang, dedaunan gugur, dan gulungan ombak.
ADVERTISEMENT
“Patung saya umumnya menangkap citra. Ada Tuhan, ada angin. Bentuk angin enggak ada yang tahu, tapi Tuhan memberi alam berisi pohon, air, dan lain-lain--yang dari situlah kita bisa melihat gejala angin,” tutur Nuarta.
Deretan patung Nyoman Nuarta. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Karakter kuat atau ciri khas merupakan perkara penting bagi pematung. Itulah prinsip yang dipegang Nuarta, dan karenanya ia kerap berkeliling dunia untuk mengamati karya-karya pematung dunia lain, sembari memastikan karyanya tak mirip dengan seniman lain.
Semisal ia memiliki gagasan yang ternyata sudah dibuat oleh seniman lain, maka ia mengurungkan niat untuk menggarapnya, meski karya itu tak identik. Orisinalitas jadi kata kunci di sini.
Jadi dari mana Nuarta menggali ide agar tak serupa dengan seniman lain?
Jawabannya: pengalaman dan alam bawah sadar.
ADVERTISEMENT
Pengalaman dan pemikiran tiap orang adalah unik, dan itulah yang diandalkan Nuarta dalam menjaga orisinalitas karyanya.
Peran seniman dalam kehidupan, ujar Nuarta, tak bisa diremehkan. Terlebih, pariwisata seni budaya menyumbang pemasukan besar bagi negara. Dengan keyakinan itulah Nuarta menapaki tekun dunianya.
Nyoman Nuarta di depan model GWK berskala kecil. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)