Konflik Gajah dan Manusia di Aceh Masih Tinggi

20 Juli 2018 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beberapa orang pawang sedang memandikan gajah. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa orang pawang sedang memandikan gajah. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
ADVERTISEMENT
Hutan Aceh menjadi salah satu rumah yang masih tersisa bagi Gajah di pulau Sumatera. Populasi hewan bertubuh besar itu cukup signifikan dibanding dengan daerah lain.Namun sayangnya, tingkat konflik antara gajah liar dan manusia masih cukup tinggi. Meski ragam upaya telah dilakukan, belum mampu menciptakan lingkungan yang damai.
ADVERTISEMENT
Conservation Response Unit (CRU) Aceh mencatat, jumlah populasi gajah di Aceh berkisar 500 ekor dan masih memiliki kawasan hutan yang cukup luas untuk habitat gajah, yang tersebar di seluruh wilayah Aceh.
Luasnya sebaran gajah di Aceh tidak hanya berada di dalam kawasan berstatus konservasi namun juga di luar kawasan konservasi. Pengamat Gajah di Aceh, Wahdi Azmi mengatakan, untuk mengurangi konflik antara gajah liar dengan manusia diperlukan manajemen atau pengelolaan secara aktif sehingga gajah tak memasuki kawasan budidaya manusia.
“Menekan intensitas konflik melalui penerapan strategi barrier (penghalang) buatan yang berorientasi pada penguatan barrier alami. Bagaimana gajah tetap diupayakan berada di dalam kawasan habitatnya dan tidak keluar ke kawasan budidaya,” tuturnya saat ditemui kumparan di Banda Aceh, Jumat (20/7).
Pawang gajah di Aceh melakukan patroli gajah liar. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Pawang gajah di Aceh melakukan patroli gajah liar. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
Wahdi mencontohkan kawasan Hutan Kabupaten Aceh Jaya yang merupakan habitat penting Gajah dan Harimau Sumatera. Luas hutan lindung di sana seluas 155.083 hektare dari luas seluruh Kabupaten setempat yang memiliki luas 387.706 hektare. Populasi gajah di sana masih cukup signifikan berkisar antara 70-80 ekor, sementara konflik gajah yang terjadi berada di luar batas hutan lindung.
ADVERTISEMENT
Aceh Jaya tidak memiliki kawasan konservasi. Gajah di sana dapat dilestarikan dengan mengelola habitatnya sebagai sanctuary (tempat berlindung). Memberikan perlakuan terhadap habitat dan populasi Gajah agar dapat dijaga dan tidak keluar dari kawasan sanctuary.
Untuk menekan intensitas konflik terjadi maka dilakukan penerapan strategi barrier buatan yang berorientasi pada penguatan barrier alami.
“Program ini akan berdampak secara langsung pada kawasan hutan seluas 150 ribu hektare dan berkontribusi pada penyelamatan habitat bagi 70-80 ekor Gajah di dalamnya,” sebut dia.
Meski demikian, ia tidak memungkiri aksi kejahatan terhadap satwa dilindungi masih saja terjadi. Seperti halnya di Aceh Timur, gajah ditemukan mati akibat keracunan, anak gajah terkena jerat, bahkan gajah jinak ikut dibunuh dan diambil gadingnya.
ADVERTISEMENT
Hidup Berdampingan Dengan Gajah
Pawang gaja sedang memandikan gajahnya. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Pawang gaja sedang memandikan gajahnya. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
Masyarakat yang hidup berdampingan dengan gajah diharapkan mampu menyesuaikan keberadaan gajah di dalam habitatnya. Strategi yang harus dibangun ialah pola interaksi dengan cara memilih jenis-jenis komoditi perkebunan yang tidak berdampak atau berisiko memicu konflik dengan gajah.
Ada banyak pilihan jenis komoditi yang juga memiliki nilai ekonomis dan tidak berisiko terhadap gangguan gajah. Seperti kopi, jenis tanaman ini tidak disukai oleh kawanan gajah. Lalu membuat kolam ikan, serta beternak.
“Masyarakat harus terbiasa dengan kearifan bagaimana memilih pola interaksi, tidak hanya komoditi perkebunan tetapi juga sumber daya pola ekonomi. Dan itu tidak berdampak pada gajah karena gajah bukan karnivora tetapi herbivora. Jadi ada banyak sekali cara untuk bisa hidup berdampingan dengan gajah,” tutur Wahdi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Wahdi melihat konservasi gajah di Aceh harus memandang pentingnya masyarakat agar bisa hidup berdampingan. Bagaimana menciptakan pola interaksi yang lebih positif.
Untuk mewujudkan hal itu, maka dibutuhkan kerja sama antarlintas sektor tidak cukup hanya dengan Dinas Kehutanan atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
Patroli gajar liar di Aceh menyeberangi sungai. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Patroli gajar liar di Aceh menyeberangi sungai. (Foto: Syifa Yulinnas/Antara)
“Sektor swasta seperti perusahaan juga harus bisa ikut membantu, karena tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi yang muncul saat ini terkadang juga tidak terlepas dari efek pola pemanfaatan lahan yang juga dilakukan oleh pihak swasta," kata dia.
"Mereka harus ikut bertanggungjawab yang paling penting kita harus mengelola habitat gajah secara aktif. Tidak hanya sekadar statusnya perlindungan gajah tetapi tidak ada rencana pengelolaan aktif di sana," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, telah dibentuk Elephant Patrol Team, sebuah tim khusus yang bertugas melakukan kegiatan mitigasi penanganan konflik dan perlindungan habitat Gajah Sumatera di kabupaten Aceh Timur.
Mereka telah melakukan patrol selama 227 hari selama tahun 2017. Dari hasil patroli itu, mereka menemukan 10 kasus gajah mati dan satu temuan bangkai beruang di Aceh Timur.
ELP juga menggagalkan 11 kasus perburuan dengan mengamankan 401 jerat satwa liar yang dipasang pemburu di lokasi patroli. Selain perburuan, tim EPT juga menemukan aktifitas illegal logging dan perambahan di kawasan habitat Gajah di Aceh Timur.
“Pada tahun yang lalu kita juga menangani 113 kasus konflik Gajah dengan manusia di 5 kecamatan di Aceh Timur. Intensitas konflik tertinggi terjadi di Kecamatan Ranto Peureulak mencapai 77 kasus, dan Kecamatan Peunaron sebanyak 69 kasus,” kata Ibnu, Manajer Database Forum Konservasi Leuser.
ADVERTISEMENT