KPK Beberkan 9 Poin Pelemahan dalam Revisi UU KPK

5 September 2019 18:32 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan keterangan pers terkait hasil pengembangan kasus dugaan suap terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi di gedung KPK, Jakarta, Jumat (28/12/2018). Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan keterangan pers terkait hasil pengembangan kasus dugaan suap terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi di gedung KPK, Jakarta, Jumat (28/12/2018). Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
KPK bersuara lantang terhadap sikap DPR yang tengah membahas revisi UU KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan institusinya menolak keras revisi tersebut. Sebab Agus menilai revisi itu justru melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Agus bahkan menyebut ada 9 poin dalam revisi UU KPK yang berpotensi melumpuhkan mereka.
"Hari ini, 5 September 2019, sidang paripurna DPR yang menyetujui revisi UU KPK menjadi RUU Insiatif DPR. Terdapat 9 persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK," ujar Agus dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/9).
Sembilan poin itu kemudian dijabarkan oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang:
Dalam revisi tersebut ini, kata Saut, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Sebab KPK dijadikan lembaga pemerintah pusat alias eksekutif.
"Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan," kata Saut.
ADVERTISEMENT
Saut mengatakan, berdasarkan revisi UU KPK yang saat ini dibahas DPR, penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas KPK. Sementara Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya ke DPR setiap tahun.
"Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK," ucap Saut.
Padahal menurut Saut, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga, bukti-bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi.
Dalam revisi UU KPK itu penyadapan juga hanya diberikan batas waktu 3 bulan. Hal itu menurut Saut tak sesuai pengalaman KPK dalam menangani kasus korupsi. Ia mengatakan korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang.
ADVERTISEMENT
"Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang. Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan," jelasnya.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang konpers mengenai kasus BLBI. Foto: Fanny Kusumawrdhani/kumparan
Saut menganggap dalam poin revisi ini, DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih pimpinan KPK, tetapi juga Dewan Pengawas.
Selain itu menurutnya, Dewan Pengawas hannya menambah panjang birokrasi penanganan perkara. Sebab sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Revisi UU KPK juga mengatur soal penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sementara penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS. Menurut Saut, ketentuan itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
ADVERTISEMENT
"Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone," kata dia.
Saut menilai poin kelima ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara.
"Dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara," ucapnya.
Dalam revisi UU KPK, ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK saat ini tidak lagi tercantum. Aturan itu yakni KPK berwenang menangani kasus korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saut menilai dihapusnya aturan itu tak sesuai semangat pemberantasan korupsi.
"Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil," ucap Saut.
Ilustrasi gedung KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Saut berpendapat ketentuan dalam revisi UU KPK itu membuat institusinya hanya bisa mengambilalih perkara dalam proses penyelidikan;.
"KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK," katanya.
Saut merinci kewenangan strategis yang dihilangkan itu yakni pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, dan meminta bantuan Polri dan Interpol.
ADVERTISEMENT
Saut menyebut pelaporan LHKPN, berdasarkan revisi UU KPK, dilakukan di masing-masing instansi. Sehingga hal tersebut akan mempersulit KPK melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara.
"Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi. (Padahal) selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi," jelasnya.
Terhadap poin-poin revisi itu, KPK meminta DPR untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya dalam melemahkan KPK.
"KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Akan tetapi, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK," tutup Agus.