KPK Jerat Managing Director Rohde & Schwarz Indonesia Jadi Tersangka

27 Desember 2018 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kasus KPK (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kasus KPK (Foto: Basith Subastian/kumparan)
ADVERTISEMENT
KPK menetapkan Managing Director PT Rohde & Schwarz Indonesia, Erwin Sya'af Arief sebagai tersangka. Ia ditetapkan tersangka karena diduga terlibat kasus suap pembahasan anggaran untuk Bakamla.
ADVERTISEMENT
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan lagi satu orang sebagai tersangka," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah, dalam konferensi pers di kantor KPK, Jakarta, Kamis (27/12).
Erwin diduga bersama-sama Direktur Merial Esa, Fahmi Darmawansyah memberikan suap kepada Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR. Dalam kasus ini, Erwin diduga berperan sebagai perantara suap USD 911.480 atau senilai Rp 12 miliar untuk Fayakhun melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, China.
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi menjalani sidang tuntutan di pengadilan Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi menjalani sidang tuntutan di pengadilan Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
"ESY diduga menjadi perantara antara Fahmi dan Fayakhun dengan mengirimkan rekening yang digunakan untuk menerima suap dan mengirimkan bukti transfer dari Fahmi ke Fayakhun," ungkap Febri.
Diduga, uang suap itu merupakan fee atas penambahan anggaran untuk Bakamla pada APBN-P tahun 2016 sebesar Rp 1,5 triliun. Uang diduga diberikan agar Fayakhun mengawal proses agar usulan anggaran disetujui DPR.
ADVERTISEMENT
"Diduga, kepentingan ESY membantu adalah apabila dana APBN-P 2016 untuk Bakamla disetujui, maka akan ada yang dianggarkan untuk pengadaan satelite monitoring yang akan dibeli dari PT Rohde & Schwarz Indonesia," kata Febri.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari kasus yang bermula dari OTT KPK. Awalnya, KPK menangkap Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta usai menyerahkan uang suap kepada Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla. Pada saat OTT, KPK menyita uang setara Rp 2 miliar yang diduga suap.
Fahmi Darmawansyah diperiksa sebagai saksi perkara dugaan suap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen di Gedung KPK, Selasa (25/9/2018). (Foto: Eny Immanuella Gloria)
zoom-in-whitePerbesar
Fahmi Darmawansyah diperiksa sebagai saksi perkara dugaan suap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen di Gedung KPK, Selasa (25/9/2018). (Foto: Eny Immanuella Gloria)
KPK menduga telah terjadi suap agar PT Melati Technofo Indonesia menang tender proyek di Bakamla. Ketiga orang itu, bersama Fahmi Darmawansyah selaku bos PT Merial Esa dan PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai tersangka. Berdasarkan pengembangan, KPK juga menjerat Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla sebagai tersangka karena diduga terlibat.
ADVERTISEMENT
Kelima orang tersebut sudah menjalani persidangan dan divonis bersalah. Hukuman yang dijatuhkan hakim kepada mereka bervariasi, mulai dari 1,5 tahun hingga 4 tahun 3 bulan penjara.
Dalam perkembangannya, KPK menduga Fahmi juga memberikan suap guna mengamankan anggaran untuk Bakamla. Penyidik KPK kemudian menjerat Fayakhun sebagai tersangka. Ia sudah dihukum 8 tahun penjara atas perbuatannya.
Atas perbuatannya disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
ADVERTISEMENT