Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Heboh Hak Cipta Monyet Selfie: dari Sulawesi ke San Fransisco
15 Juli 2017 12:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Semua ini bermula pada suatu hari di tahun 2011. Ketika itu David J. Slater, seorang fotografer alam liar asal Inggris, mengunjungi Pulau Sulawesi, Indonesia, untuk memotret primata-primata yang ada di sana.
ADVERTISEMENT
Di Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara, Slater menemukan sekelompok moyet jambul hitam Sulawesi yang tampak tertarik pada peralatan fotografinya. Monyet jambul hitam adalah salah satu satwa endemik di Indonesia dan merupakan jenis monyet makaka, yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Yaki.
Kumpulan Yaki atau juga disebut sebagai monyet wolai ini mengambil kamera Slater dan kemudian melarikan diri. Salah satu monyet jambul hitam Sulawesi sempat memencet tombol rana kamera tersebut.
Slater berpikir, monyet itu mungkin memencetnya karena ketidaksengajaan. Namun, bisa jadi juga monyet itu melakukannya karena meniru atau belajar berdasarkan apa yang ia lihat dari perilaku Slater.
Hal inilah yang kemudian memunculkan ide di dalam kepala Slater.
ADVERTISEMENT
Slater bereksperimen dengan berbagai setup, mengatur kamera, dan memasangnya di atas tripod yang dipegangnya, sementara kawanan monyet itu memperhatikan dan mempelajarinya.
Monyet-monyet ini terpesona dan kemudian memanipulasi kamera Slater dengan memencet-mencet tombol rananya. Beberapa hasil dari manipulasi itu di antaranya memiliki kualitas yang cukup layak untuk diproduksi, terutama satu foto di mana Naruto, seekor kera betina berumur enam tahun, tampak terpesona dengan bayangannya di lensa kamera.
Foto selfie alias swafoto monyet bernama Naruto itulah yang di kemudian hari menjadi polemik.
Slater memproduksi hasil jepretan tangan Naruto itu dan kemudian mendaftarkan hak ciptanya melalui Caters News Agency. Foto ini kemudian menjadi viral ketika banyak media menampilkan foto tersebut sebagai cerita “Monyet Selfie” dengan garis besar cerita “Monyet mencuri kamera untuk memotret dirinya sendiri".
ADVERTISEMENT
Dengan viralnya foto tersebut, Slater mendapat ribuan pound sterling karena ia memiliki hak cipta foto itu. Namun tak lama kemudian, tepatnya pada pertengahan 2014, isu hak cipta bergulir ketika Wikipedia memutuskan untuk menaruh foto monyet itu ke dalam Wikimedia Commons, sebuah situs foto gratis, yang artinya menganggap Slater tak memiliki hak cipta terhadap foto tersebut karena foto itu diambil oleh tangan si monyet.
Merasa keberatan, Slater kemudian memprotes perusahaan esiklopedia internet itu dan meminta mereka untuk menurunkan foto tersebut dari Wikimedia Commons. Wikipedia menolak permintaan Slater hingga kemudian berujung pada ancaman tuntutan hukum.
Bagi Slater pribadi, hal ini merupakan masalah serius. Ia mengaku kehilangan sekian ribu pound sterling akibat keputusan Wikipedia menjadikan foto monyet itu sebagai foto gratisan.
ADVERTISEMENT
"Saya menerima £2.000 atau hampir Rp 40 juta pada tahun pertama gambar ini diambil. Setelah berada di Wikipedia, tidak ada lagi keinginan (dari pihak lain) untuk membeli (foto ini dari saya),” kata Salter kepada BBC.
Terkait kerugian itu, Slater menuturkan, “Sulit untuk menyebutkan angkanya, tetapi saya perkirakan kehilangan pemasukan sebesar £10.000 atau lebih. Ini membunuh bisnis saya."
Tak hanya muncul dalam pemberitaan sejumlah media, gambar swafoto Naruto itu juga sempat tercetak ke dalam buku berjudul Wildlife Personalities yang diterbitkan oleh Blurb pada 2014. Blurb sendiri merupakan sebuah penerbit independen yang berbasis di San Fransisco, Amerika Serikat (AS).
Pro-kontra terkait hak cipta swafoto monyet asal Sulawesi Utara itu rupanya sampai pada telinga People for the Ethical Treatment of Animal (PETA), sebuah organisasi pemerhati hak-hak binatang.
ADVERTISEMENT
Pada 22 September 2015, PETA melayangkan gugatan ke pengadilan terkait dugaan pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Slater dan penerbit Blurb. Mereka berpendapat hak cipta foto tersebut seharusnya dimiliki oleh Naruto, si monyet betina asal Sulawesi Utara. Selain itu, mereka juga berharap pemerintah lokal bisa mengelola semua hasil foto yang diambil dari alam liar di Sulawesi itu untuk Naruto.
Sidang pengadilan pun bergulir setelah PETA melayangkan gugatan tersebut ke pengadilan federal AS di San Fransisco. Pertimbangan gugatan diajukan ke pengadilan San Fransisco karena di kota itulah buku Wildlife Personalities yang memuat foto-foto Naruto diterbitkan. Penerbit buku itu, yakni Blurb, juga berbasis di kota tersebut.
Pada 7 Januari 2016, pengadilan federal AS di San Fransisco memutuskan monyet jambul hitam asal Sulawesi itu tidak bisa mendapatkan hak cipta swafoto tersebut. Alasannnya, monyet bukanlah manusia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, pada Desember 2014, Kantor Hak Cipta AS juga telah memberikan pernyataan bawah karya yang dibuat oleh bukan manusia tidaklah berlaku di dalam aturan hak cipta AS.
Tak patah arang terhadap hasil putusan pengadilan federal pada Januari 2016 lalu, PETA kemudian mengajukan banding. Jeff Kerr, penasihat umum untuk PETA, mengatakan pihaknya akan terus berjuang untuk hak-hak hewan, dalam hal ini Naruto.
“Meski kalah, sejarah hukum telah diciptakan hari ini karena kami berargumen di pengadilan federal tentang mengapa Naruto harus menjadi pemilik hak cipta ketimbang dilihat hanya sebagai properti. Kasus ini juga mengungkap kemunafikan mereka yang mengeksploitasi hewan demi keuntungan sendiri,” kata Kerr sebagaimana dilansir Associated Press.
Kasus dugaan pelanggaran hak cipta ini pun akhirnya naik ke pengadilan tingkat banding San Fransico yang sidangnya mulai digelar pada Rabu, 12 Juli 2017 kemarin.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang yang berlangsung sekitar 45 menit itu, terjadilah adu argumen terkait apakah monyet bisa memiliki hak cipta. Adu argumen tersebut menarik perhatian banyak mahasiswa hukum dan warga lain yang turut penasaran.
Tak jarang, para penonton dalam persidangan itu tampak tertawa terbahak-bahak menyaksikan adu argumen tersebut. Bahkan, hakim federal pun terlihat sering terkekeh mengamati kasus yang baru dijumpainya itu.
Meski terlihat seperti sebuah lelucon, kasus hukum itu adalah sesuatu yang serius. Dua belah pihak yang saling berhadapan menyampaikan argumen-argumen kuatnya.
Sebagaimana dikutip dari TIME, pengacara PETA David Schwarz beragumen, “Kita harus melihat kata ‘kepengarangan’ dalam arti yang luas.”
Adapun pengacara penerbit Blurb, Angela Dunning, seusai persidangan, mengatakan kebingungannya jika sampai gugatan PETA dimenangkan.
ADVERTISEMENT
“Ke mana akhirnya jika seekor monyet bisa menuntut pelanggaran hak cipta? Ada lagi monyet yang bisa melakukannya?" tanya Dunning heran.
Adu argumen tersebut telah membuat kehebohan di sebuah ruang persidangan di San Fransisco, AS. Adapun di Sulawesi Utara, Indonesia, monyet yang dilibatkan dalam kasus tersebut sangat mungkin sama sekali tak menyadari atas keributan yang terjadi.