Cover, Cover Collection Otak Atik Kabinet Jokowi

Labirin Baru Kabinet Jokowi

18 September 2019 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Otak Atik Kabinet Jokowi. Foto:  Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Otak Atik Kabinet Jokowi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Presiden Jokowi mengisyaratkan, kabinet periode keduanya—yang dilantik sebulan lagi—bakal jauh berbeda dengan yang sekarang. Ia hendak membangun “labirin” baru dengan setidaknya melebur 11 kementerian menjadi lima kementerian, dan membentuk sekurangnya satu kementerian baru serta tiga lembaga nonkementerian baru. Perombakan besar misalnya menimpa Kementerian Perdagangan. Kemendag bakal “hilang”. Ia dipecah untuk kemudian dilebur ke dua kementerian lain, yakni Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perindustrian. Ini sedikit banyak mengembalikan wajah Kemendag seperti di era Soeharto kala sektor perdagangan digabung dengan perindustrian untuk memudahkan koordinasi antara proses produksi dan pemasaran.
“Pemasaran” rupanya jadi perhatian Jokowi. Itu pula sebabnya ia melebur Kemendag ke Kemenlu. Menurutnya, para duta besar dan diplomat RI harus menjadi penjaja produk-produk domestik Indonesia, tak sekadar mengurusi perkara geopolitik. Jokowi yakin, diplomasi ekonomi akan lebih efektif berada di tangan Kemlu. Maka nantinya, bukan tak mungkin Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag akan “bedol desa” ke markas Kemlu di Pejambon, Jakarta Pusat. Namun yang perlu diantisipasi dan berpotensi mengganggu kinerja: proses adaptasi nomenklatur kementerian baru bisa memakan waktu lebih dari setahun, dengan upaya luar biasa besar! Hal itu, ditambah pemindahan ibu kota negara, membuat PR pemerintah jadi semakin berat.
***
Jokowi mengotak-atik arsitektur kementerian sejak akhir tahun lalu, yakni Desember 2018 di tengah masa kampanye Pemilu Presiden. Tiga sumber di kalangan pemerintahan menyebut, Jokowi ketika itu memerintahkan sejumlah tim untuk mulai mengkaji peleburan sejumlah kementerian dan pembentukan kementerian baru.
Tim yang mendapat tugas antara lain tim di bawah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin, tim di bawah Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta tim yang terdiri dari para akademisi.
“(Pengkajian nomenklatur kementerian baru) itu di bawah Mensesneg, tapi belum final,” ujar Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden. Sementara itu, Pratikno enggan bicara soal ini, dan Syafruddin berkomentar singkat, bahwa “(Kementerian) itu domain Presiden, bukan domain menteri.”
Pada April 2019 pasca-pencoblosan pemilu, kajian-kajian soal nomenklatur kementerian itu mengerucut. Jokowi pun menyinggungnya beberapa kali dalam sejumlah kesempatan, termasuk pada pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa nasional pada 14 Agustus.
Menurut Jokowi, kementerian akan tetap berjumlah 34 seperti sekarang, namun arsitekturnya tak bakal sama, sebab ada sejumlah kementerian yang dipecah-lebur seperti Kemendag, dan ada pula kementerian baru yang belum ada saat ini.
Jokowi mengklaim, efisiensi dan efektivitas jadi pertimbangan utama dalam merombak nomenklatur kabinet. Itu juga keyakinannya di balik rencana melebur sebagian Kemendag dengan Kemenlu, dan sebagiannya lagi dengan Kemenperin.
“Menlu juga akan handle diplomasi ekonomi. Itu lebih efektif jika dipegang Kemlu,” ujar Jokowi di sela perbincangan dengan para pemred media di Istana. Nantinya, urusan urusan ekspor sampai sengketa dagang luar negeri juga akan jadi tugas tambahan Kemlu.
Hasil peleburan Kemendag ke Kemenlu dan Kemenperin akan membentuk dua nomenklatur baru bernama: 1) Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Internasional, dan 2) Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Dalam Negeri.
Terkait itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara Kemenlu RI Teuku Faizasyah, dalam konferensi pers di Kemlu mengatakan, kementeriannya akan mengikuti apa pun keputusan presiden. Kemlu menjamin akan bersikap terbuka terhadap kemungkinan perubahan nomenklatur.
Menperin Airlangga Hartarto (tengah). Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Kemenperin—yang nantinya lebur dengan sebagian Kemendag—artinya bakal dua kali malih rupa sejak era Soeharto. Pada 1995, Soeharto menyatukan Kemenperin dan Kemendag menjadi Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Selanjutnya sepuluh tahun kemudian pada 2005, SBY memecahnya lagi menjadi Kemendag dan Kemenperin.
Struktur itu dipertahankan Jokowi pada periode pertama pemerintahannya. Sampai akhirnya kini menjelang masa jabatan keduanya, Jokowi berencana menyatukan kembali kedua kementerian itu demi alasan integrasi dan koordinasi sektor industri dan pemasaran.
Niat Jokowi itu dinilai masuk akal oleh mantan Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kemenperin Euis Saedah. Menurutnya, penyatuan Kemendag dan Kemenperin akan membuat pengembangan industri dalam negeri lebih fokus.
“Ibaratnya tidak keberatan badan, karena selama ini—sederhananya—yang menjual tidak tahu apa yang diproduksi, dan yang memproduksi tidak tahu bagaimana harus menjual,” kata Euis yang berkarier di Kemendag selama 10 tahun pada periode 1995-2005, kepada kumparan, Senin (16/9).
Meski demikian, ujar Euis, ada segudang masalah teknis yang harus diantisipasi karena berpotensi menghambat kinerja kementerian. Euis mewanti-wanti karena ia pernah mengalami perubahan struktur Kemenperin dan Kemendag pada 1995 dan 2005. Ketika itu, proses adaptasi pasca-perubahan berjalan sulit.
“Paling tidak penyesuaiannya itu satu tahun. Baru bisa benar-benar tancap gas itu di tahun kedua setelah perubahan,” kata Euis yang pensiun sebagai Dirjen IKM Kemenperin pada 2016.
Persoalan lain adalah terkait pegawai. Peleburan mau tak mau membuat pegawai Kemendag bermigrasi besar-besaran. Sebagian ke Kemenperin dan sebagian lagi ke Kemlu. Padahal, satu direktorat jenderal berisi ratusan pegawai. Maka, menentukan pegawai mana saja yang pindah bisa jadi masalah tersendiri. Yang repot bila migrasi membuat kementerian terkait sampai harus menggelar rekrutmen baru.
Berikutnya, problem kepegawaian juga bisa muncul sehubungan dengan penentuan pejabat eselon I, II, dan III. Sebab, peleburan kementerian hampir pasti berdampak pada pergeseran jabatan. Ada pejabat yang masuk struktur baru, ada pula yang terpental. Padahal, seleksi pejabat eselon butuh waktu tak sedikit.
Tak lupa, teknis pembagian tugas pada kementerian yang dilebur, dan penyusunan anggaran program mereka, pun akan terimbas. Bagaimana, misalnya, mengatur penggunaan anggaran pada kementerian hasil leburan? Sebab, anggaran yang diajukan pemerintah untuk program 2020 masih merujuk pada nomenklatur lama. Sementara Jokowi ingin kementerian bekerja cepat dan langsung tancap gas begitu para menteri dilantik.
Gedung Kemenristekdikti. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Selain Kemendag, kementerian lain yang ditimbang untuk dilebur adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada dua opsi terkait peleburan Kemendikbud. Pertama, memasukkan sektor pendidikan tinggi yang ada pada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) ke dalam Kemendikbud, sehingga Kemendikbud berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan, Pendidikan Tinggi, dan Kebudayaan.
Kedua, memecah sektor pendidikan dan kebudayaan pada Kemendikbud, lalu menggabungkan sektor kebudayaan dengan pariwisata; dan menyatukan sektor pendidikan dengan kepemudaan yang ada pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sehingga nomenklatur baru ini dinamai Kementerian Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kepemudaan.
Apabila sektor kepemudaan dan pendidikan disatukan, maka Kemenpora akan berganti menjadi Kementerian Olahraga saja. Namun, menurut seorang sumber yang mengetahui soal penggodokan arsitektur kementerian itu, opsi memecah Kemenpora berpeluang surut.
“Ada juga opsi untuk menghapus Kemenpora, menggantinya menjadi Badan Olahraga Nasional. Namun, opsi ini sepertinya batal,” ujarnya.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengatakan, perubahan nomenklatur kementerian sepenuhnya prerogatif Presiden Jokowi. Maka bila direktorat jenderal yang ia pimpin harus melebur ke kementerian lain atau bahkan menjadi kementerian sendiri, ia dan pegawainya harus siap.
“Kalau bicara fungsi konsolidasi kelembagaan, untuk menjalankan fungsi pasti lebih bagus di bawah satu atap semua. Tapi masalah teknis akan ada, mulai dari sumber daya, pengaturan barang dan aset milik negara yang pelik,” ujar Hilmar di kantornya, Selasa (17/9).
Aset budaya yang dimiliki negara saat ini terdaftar atas nama Kemendikbud. Jika nantinya nomenklatur berubah, maka seluruh pencatatan aset harus diubah sesuai nomenklatur baru.
“Itu enggak sedikit. Misalnya candi-candi yang tanahnya dibeli, itu kan pakai dana Kemendikbud. Kalau sekarang mau dipindah, gimana ngurusnya? Repot,” tutur Hilmar.
Ia memperkirakan proses adaptasi pasca-pembentukan nomenklatur baru tak bakal rampung dalam setahun. Sebab, pemindahan satu unit eselon saja setidaknya butuh waktu lebih dari setahun. Belum lagi penyesuaian pegawai negeri sipil lama dengan PNS baru hasil migrasi dari kementerian yang berbeda. Semua itu bisa memicu problem sumber daya manusia yang tak bisa disepelekan.
“Setelah itu, dirjen eselon I dan II kan harus proses lelang lagi kalau nomenklatur berubah. Jadi (perubahan arsitektur kementerian) ini sangat bisa dilakukan, tapi harga yang harus dibayar itu luar biasa,” kata Hilmar.
Ia berpendapat, lebih efektif bila fungsi koordinasi antar-kementerian dimaksimalkan. Sebab, saat ini masalah koordinasi selalu jadi kendala.
Rapat kabinet terbatas. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
Pada periode keduanya, Jokowi juga berencana membentuk kementerian baru, yaitu Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif. Ia juga punya alternatif lain untuk membentuk Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Startup.
Bila akhirnya ia memilih membentuk Kominfo-Startup, maka sektor ekonomi kreatif akan dilebur dengan sektor pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Atau, bisa juga ekonomi kreatif akan tetap ditangani Badan Ekonomi Kreatif sehingga tak masuk kementerian.
Tak hanya itu, Jokowi akan membentuk Kementerian Investasi yang menyatu dengan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal, sehingga menterinya disebut sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM.
“Nanti BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) akan menjadi salah satu portofolio dalam Kementerian (Investasi) itu,” kata Jokowi.
Ia menganggap pembentukan Kementerian Investasi diperlukan karena Indonesia masih butuh lebih banyak investasi. Menurut Jokowi, selama ini aliran investasi asing lebih banyak masuk ke negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Malaysia.
Seolah rencana perubahan belum cukup, Kementerian BUMN kemungkinan besar akan dihapus dan diganti menjadi Superholding BUMN yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri. Dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan akan berubah menjadi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Nomenklatur Kementerian Baru Jokowi. Desainer: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
Selain perubahan arsitektur kementerian, Jokowi menyiapkan tambahan posisi wakil menteri di beberapa pos kementerian. “Menteri saja mungkin enggak mampu, harus ditambah dengan wakil menteri. Wakil menterinya, seiring perjalanan (kinerja kementerian), bisa saja tidak satu, tapi dua,” ujarnya dalam wawancara dengan kumparan beberapa waktu lalu.
Sumber di lingkaran pemerintah menyebut, kemungkinan ada lima wakil menteri di kabinet baru, yakni Wakil Menteri Luar Negeri, Wakil Menteri Keuangan, Wakil Menteri Dalam Negeri, Wakil Menteri Pertahanan, dan Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Untuk melengkapi arsitektur ambisius Jokowi itu, ia pun mengambil ancang-ancang untuk menambah beberapa lembaga non-kementerian baru seperti Badan Legislasi Nasional, Badan Manajemen Talenta, Badan Keuangan dan Ekonomi Syariah, Badan Riset Nasional, dan Badan Otorita Pemindahan Ibu Kota Negara. Untuk Badan Riset Nasional, ia bisa berdiri sendiri atau bergabung dengan Kemenristekdikti.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Terkait Kantor Staf Presiden, ia tak akan mengalami perubahan meski sempat muncul opsi untuk melebur KSP dengan Kementerian Sekretariat Negara. Namun, seluruh deputi, staf, tenaga ahli, dan pegawai KSP kemungkinan besar akan diganti karena mereka melekat kepada Kepala Staf Kepresidenan, bukan lembaganya. Sementara Surat Keputusan Presiden mengenai status kepegawaian seluruh staf KSP habis masa berlakunya pada 19 Oktober.
Pada 23 Agustus, Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan telah mengumpulkan seluruh pegawai KSP untuk berpesan agar seluruh anak buahnya siap tak lagi berkantor di Bina Graha.
“Sebagai prajurit, harus siap menerima segala tugas. Jika dilanjutkan siap, jika selesai juga harus siap,” ujar sejumlah sumber menirukan ucapan Moeldoko saat itu.
Pengamat Manajemen Kebijakan Publik UGM Erwan Agus Putranto menilai, efisien atau tidaknya perubahan nomenklatur kabinet akan sangat bergantung pada Jokowi dan menteri-menteri yang memimpin kementerian baru. Yang jelas, tegasnya, masalah teknis selama setahun pertama sudah pasti tak terhindarkan.
“Bisa menjadi obat atau penyakit itu tergantung bagaimana pengelolaannya. Di situ (tergantung) leadership dari presiden dan menteri,” kata dia.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten