Liberte, Egalite, Sexualite: Demo Mahasiswa 'Bloody Monday' di Prancis

23 September 2019 17:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Revolusi Perancis 1968. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Revolusi Perancis 1968. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Konservatisme pernah membekap Prancis jauh sebelum Mei 1968. Jejaknya berupa pemisahan asrama mahasiswa laki-laki dan perempuan. Dalam aturan negara, disebutkan bahwa laki-laki dilarang keras berkunjung ke kamar perempuan.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, doktrin filsafat eksistensialisme kandung populer di Prancis. Kesadaran itu lantas menjadi bensin yang membakar amarah mahasiswa terhadap aturan tersebut. Bagi mereka, aturan lama itu tak lebih sebagai bentuk represi. Pengkhianatan terhadap otonomi tubuh.
Maka, sebuah cerita pemberontakan pun bermula. Semua diawali dari mahasiswa Paris University at Nanterre yang mogok kuliah karena aturan asrama yang diciptakan Kementerian Pendidikan. Tuntutan mereka sederhana saja: Negara tak perlu mencampuri urusan moral mahasiswa.
Dalam laporan yang diturunkan The Independent, tokoh sentral dari gerakan mogok kuliah itu adalah Daniel Cohn-Bendit. Pemuda berusia 22 tahun itu merupakan mahasiswa sosiologi yang mengajak kawan-kawannya untuk menentang aturan pemisahan asrama.
Orasi pertama Bendit adalah soal kebebasan berhubungan seksual di kalangan mahasiswa. Baginya, berhubungan seks merupakan hak yang tak perlu dicampuri oleh negara. Oleh sebab itu, larangan pemisahan asrama adalah hal yang absurd.
Revolusi Perancis 1968. Foto: AFP
Pada 22 Maret 1968, Bendit bahkan berhasil menggerakan 300 mahasiswa untuk menduduki kampus Nantere. Tuntutan yang disuarakan pun kian meluas, mulai dari mengutuk perang Vietnam, hingga menggugat pemerintahan Charless de Gaulle yang dianggap tak becus dalam mengurus negara.
ADVERTISEMENT
Maraknya aksi lantas membuat pemerintah tak tinggal diam. Kampus Nantere ditutup pada 2 Mei 1968. Seluruh aktivitas perkuliahan diliburkan. Situasi tersebut pun membuat amarah mahasiswa meledak. Sehari setelahnya, mahasiswa lintas kampus berkumpul di Sorbonne University. Mereka berkoordinasi untuk menciptakan eskalasi massa yang jauh lebih besar.
Dan itu benar-benar terjadi. Pada 6 Mei 1968, 20 ribu mahasiswa turun ke jalan dari Sorbonne University. Mereka melaksanakan long march ke pusat Kota Paris. Massa kemudian bentrok dengan polisi. Polisi memukuli mahasiswa sehingga peristiwa penuh darah itu dikenal sebagai Bloody Monday.
Aksi yang dilakukan mahasiswa itu rupanya memantik simpati dari sejumlah kalangan. Para pelajar SMA dan serikat pekerja terdorong untuk melakukan aksi serupa. Sejarah mencatat bahwa lebih dari satu juta demonstran memenuhi sudut Kota Paris.
Polisi anti huru hara selama revolusi Perancis 1968. Foto: Getty Images
Lagi-lagi tuntutannya pun semakin berkembang. Dari yang awalnya perkara ranjang, merembet menjadi isu upah pekerja. Bahkan, di titik itu pula muncul ungkapan ekstrem untuk menurunkan Charles de Gaule.
ADVERTISEMENT
Pamflet dalam uraian ‘Paris 68’ mencatat bahwa total pekerja, pelajar, dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam mogok kerja dan demonstrasi itu melibatkan 10 juta jiwa terhitung sampai tanggal 20 Mei 1968. Akibatnya, ekonomi Prancis lumpuh total.
Aksi besar itu sendiri tak kunjung membuat Charles de Gaule mundur. Ia baru mundur pada tahun 1969 akibat kalah referendum terkait persoalan desentralisasi. Namun, kebijakan yang dianggap konservatif itu pun perlahan lenyap. Sebuah revolusi kebudayaan di Prancis benar-benar terjadi.
Semboyan Jouissez sans entraves! yang kerap didengungkan mahasiswa pun menjadi kenyataan.
Semboyan itu berarti, ‘Nikmatilah hidup tanpa batas!’