LPSK: 8 Korban Bom Surabaya Terlayani Ajukan Hak Kompensasi

23 Mei 2018 14:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Korban aksi terorisme memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi atau kompensasi atas kejadian yang menimpanya. Sedikitnya sudah ada delapan korban bom Surabaya yang bersedia dilayani oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
ADVERTISEMENT
“Dari 46 korban yang ada, delapan sudah kami layani untuk memperoleh haknya. Dari jumlah itu, empat di antaranya berasal dari pihak kepolisian,” kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, saat konferensi pers di Gedung LPSK, Ciracas, Jakarta Timur pada Rabu (23/5).
Di sisi lain, ada satu orang korban yang menolak untuk mendapat pelayanan mendapat kompensasi atas aksi ini. Abdul mengatakan, korban masih trauma akibat serangan teror yang menimpanya.
“Ada satu yang menolak, dia belum tahu ke depanya gimana, juga enggak pengin pusing aja, karena masih terguncang,” tambahnya.
Abdul menjelaskan, ada tiga cara yang bisa digunakan oleh korban agar mendapat hak atas kompensasi itu.
“Ada juga cara tiga yaitu proaktif, nanti LPSK dapat turun langsung untuk menawarkan berbagai bentuk layanan pada mereka. Kemudian korban atau saksi yang melaporkan sendiri ke LPSK dan ada juga yang melalui rekomendasi dari penegak hukum,” ucap Abdul.
Konpers LPSK terkait penanganan Korban Terorisme. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers LPSK terkait penanganan Korban Terorisme. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo, menjelaskan, proses mendapatkan kompensasi ini dihitung melalui alat bukti yang disertakan. Termasuk yang sudah terlihat maupun yang belum terlihat.
ADVERTISEMENT
“Masing-masing kerugian korban ini berbeda beda termasuk kerugian ada kendaraan rusak, ada rumah rusak, atau biaya pengobatan atau rumah sakit. Ini harus ada bukti pendukung. Ini sudah nyata timbul," kata Hasto.
"Tapi ada juga yang potential loss, yang dia sendiri belum rugi, tapi kedepan dia mengalami kerugian. Itu bisa juga kita ajukan kita hitung,kalo sebulan bekerja dapat sekian juta itu nanti kita kalkulasi,” imbuh dia.
Pengamanan ledakan bom di Surabaya. (Foto: AP Photo/Trisnadi)
zoom-in-whitePerbesar
Pengamanan ledakan bom di Surabaya. (Foto: AP Photo/Trisnadi)
Sejauh ini, proses kompensasi masih melalui jalur gugatan di pengadilan. Tapi, Hasto juga berharap nantinya melalui RUU Terorisme, kompensasi korban ini tidak melalu pengadilan karena memakan waktu yang lama.
“Di dalam RUU Terorisme kami mendorong agar kompensasi tidak dijalankan sesuai pengadilan. Atau tuntutan, kalau ini dikabullkan, maka ini akan mudah bagi negara untuk ganti rugi,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Hasto mengatakan, sejauh ini pengadilan sudah memberikan beberapa kompensasi terhadap korban di beberapa kasus terorisme. Misalnya kasus Bom Gereja Samarinda, korban mendapatkan kompensasi senilai Rp 200 juta.
Kemudian penyerangan di Mapolda Sumut, yang menewaskan Aiptu Martua Sigalingging, istri Aiptu Martua sendiri mendapatkan kompensasi sebesar RP 600 juta.
“Yang terakhir saat Bom Thamrin, Majelis hakim mengabulkan gugatan kompensasi sebesar Rp 1 miliar untuk 13 korban,” pungkas Hasto.