Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan mengernyit ketika via televisi mendengar Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto, berucap “Mudah-mudahan MK bisa menempatkan diri menjadi bagian penting di mana kejujuran dan keadilan harus jadi watak kekuasaan dan bukan jadi bagian satu rezim yang korup.”
Hakim Konstitusi periode 2003-2009 itu berpendapat pernyataan BW—sapaan Bambang Widjojanto—dapat menggiring opini publik untuk meragukan kredibilitas Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut menurutnya kontradiktif karena Prabowo-Sandi justru telah memilih berjuang di jalur hukum lewat MK untuk menggugat hasil Pemilu Presiden 2019.
“Ketika pada akhirnya mereka (kubu 02) memilih ke MK, tetapi narasi Pak BW berbahaya karena dia mempersiapkan semacam keadaan di mana nanti kalau (kliennya) kalah, maka MK itu (seolah terbukti jadi bagian dari) rezim korup. Nanti yang disalahkan MK,” kata Maruarar, Kamis (13/6).
Padahal, menurut Maruarar, argumentasi kubu Prabowo-Sandi bahwa “telah terjadi kecurangan pemilu (electoral fraud) yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif oleh pasangan capres-cawapres Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pemilu Presiden” tak semudah itu dibuktikan.
“Harus ada bukti instruksi untuk memenangkan salah satu calon. Ada upaya untuk memerintahkan, bukan hanya menyetujui. Misalnya dulu ada (contoh kasus terdapat) perintah dari atasan, yakni gubernur kepada bupati, lalu bupati kepada camat, lalu camat kepada desa, secara beruntun (untuk memenangkan salah satu calon dalam pilkada),” kata Maruarar kepada kumparan.
Berikut petikan perbincangan dengan Maruarar Siahaan menjelang sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Jumat (13/6).
Bagaimana Anda melihat gugatan yang diajukan oleh BPN untuk sengketa pemilu ini?
Sebenarnya ada beberapa indikator yang kita lihat. Mereka tidak memiliki suatu kekuatan pembuktian. Pertama mereka sudah klaim menang, tetapi pertanyaannya dari mana data-datanya?
Ketika perhitungan quick count muncul mereka mengatakan tidak percaya. Jadi kemudian kalau dinyatakan oleh KPU bukan sebagai pemenang pemilu dia tidak mau ke MK.
Pada pertengahan Mei lalu, Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak sempat menyatakan Prabowo-Sandi tak akan mengajukan gugatan sengketa Pemilu 2019. Kubu BPN mengklaim kehilangan kepercayaan kepada penegak hukum lantaran dianggap ikut merugikan kubu 02 pada saat masa kampanye, hari pencoblosan, dan pasca pencoblosan sehingga berujung pada kekalahan Prabowo-Sandi.
Saya melihat itu sebenarnya merupakan suatu keadaan di mana mereka tidak memiliki bukti, sehingga mungkin bagi mereka mengajukan gugatan ke MK itu yang useless.
Lalu, saya lihat di permohonan, awalnya itu bahwa mereka tidak terlalu mempersoalkan angka hasil pemilu, tapi mempersoalkan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif.
Seperti misalnya KPU tidak jujur. Seolah-olah KPU diasumsikan membuat suatu sistem untuk memenangkan 01. Pemerintah juga dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika APBN disalahgunakan untuk memenangkan 01. Semua ini sebenarnya adalah suatu yang dikatakan proses kan.
Tapi, berbeda dengan UU pemilu yang lalu, MK itu sekarang sudah dibagi kewenangannya dengan apa yang di masa lalu kita katakan dia bisa memeriksa juga pelanggaran proses, sekarang dibagi ke Bawaslu semua dan sebagian kepada Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) untuk meneruskan kalau pidana kepada pengadilan, kemudian kalau administrasi kan ke pengadilan.
UU No.8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum menyatakan memperoleh kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan dalam proses pemilu. Namun, pada UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, kewenangan penyelesaian permasalahan proses pemilu diserahkan kepada Bawaslu.
MK itu dikatakan di situ adalah untuk kalau mau diajukan permohonan itu adalah sengketa perselisihan hasil suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon kan. Mereka mengatakan MK jangan jadi “Mahkamah Kalkulator”.
Jadi mereka sudah melihat dari mereka sudah melihat dari sisi itu sehingga indikatornya mereka tidak punya bukti untuk menunjukan bahwa perhitungan KPU salah. Sekarang dia bawa ke ranah kualitatif, pelanggaran proses yang dianggap tidak ditangani Bawaslu. Nah di sini yang jadi soal bahwa pelanggaran pelanggaran yang mereka kemukakan itu sebenarnya di tingkat proses di bawah, mereka tidak pernah ajukan.
Yang paling baru adalah tuduhan Kiai Ma’ruf Amin itu dianggap melanggar peraturan yaitu tentang kedudukan dia di BUMN. Terlepas dari pada apa yang diklaim oleh pasangan calon nomor 01 bahwa bank syariah yang disebutkan itu bukan suatu BUMN.
Maka yang menjadi persoalan seandainya pun iya BUMN, seharusnya kubu 02 saat penetapan pasangan calon keputusan KPU, mereka harus melaporkan.
Tetapi mereka tidak melihat itu sebagai sesuatu yang urgent untuk dipermasalahkan pada waktu itu, karena mereka melihat persaingan dalam perolehan suara.
Tetapi sesudah indikatornya bahwa mereka tidak bisa membuktikan suara mereka kan menarik lagi kepada proses yang sebenarnya bukan wewenang dari MK. Jadi mungkin banyak contoh-contoh lain karena mereka mengubah permohonannya, yang terbaru belum saya dapat.
BPN dua kali mengirimkan laporan gugatan, yakni pada tanggal 24 Mei dan versi revisi pada 10 Juni. Sebenarnya laporan mana yang bakal diproses MK?
Pertanyaannya apakah ini permohonan baru, kalau permohonan baru didaftarnya kemarin pasti menyalahi apa yang ditentukan tiga hari kerja pasca rekapitulasi KPU. Karena kan sudah mulai dari tanggal 21 sampai kemarin itu.
Meskipun hukum acara MK tidak menentukan betul itu boleh tidak perbaikan dengan cara begitu. tetapi parameternya harus diputus 14 hari kita harus tahu bahwa itu harus cepat.
Kalau ditambah lagi KPU kan harus diberi kesempatan menjawab dan memperbaiki jawaban. Itu berarti tambah lagi alokasi waktu yang tidak dimungkinkan oleh undang-undang. Barangkali MK nanti memiliki pandangan sendiri kan.
Apakah Anda melihat kubu BPN berupaya mengubah frame gugatan dari menggugat perolehan suara menjadi mendiskualifikasi paslon melalui tuduhan TSM?
Indikatornya itu sudah karena dari awal mereka mendeklarasikan (diri sebagai) pemenang.
Kalau kita lihat mekanisme perhitungan suara itu dari tingkat bawah sangat rapi sekarang. Kalau ada kekeliruan, di tingkat TPS ada saksi. Kalau dapat menunjukkan bahwa ada kesalahan saat rekapitulasi itu wajib pada saat itu pula diperbaiki.
Kalau memang tetap tidak setuju dengan hasil rekapitulasi, maka mereka bisa mengatakan di dalam berita acara. Dan bila mereka tidak mau, oleh TPS itu tetap dicatat keberatan namun tak beralasan dan tanpa bukti.
Hal itu akan tetap berlanjut sampai ke tingkat atas. Dari TPS masuk ke tingkat PPK (panitia pemungutan kecamatan) ke kecamatan, lalu masuk KPU kabupaten/kota, lalu masuk ke provinsi, kemudian di rekap di nasional.
Kalau toh yakin ada kesalahan, mereka itu bisa protes. Dan kalau ada buktinya on the spot itu harus diperbaiki. Jadi menurut saya mereka sudah agak berat, karena dari awal mestinya sudah siap, ternyata mereka tidak siap.
Salah satu fokus gugatan inikan untuk mendiskualifikasi paslon lawan. Apakah MK memiliki dasar hukum yang jelas untuk memutus hal ini?
Ini yang kita katakan sesudah undang-undang pemilu tahun 2014 ada pergeseran.
Jadi waktu itu, kewenangan itu tidak jelas mewajibkan kepada Bawaslu untuk menangani pelanggaran dalam proses penyelenggaraan. Oleh karena itu MK kalau melihat itu dibuktikan di tingkat atas bahwa ada pelanggaran yang sangat masif tapi tidak ditangani, mereka bisa melakukan suatu langkah-langkah untuk menilai.
Pada Pilkada Kotawaringin pada 2010 memang MK mendiskualifikasi salah satu pasangan. Tapi di Kotawaringin kan kecil, penduduknya hanya sekitar 128 ribu pemilih. Dan saat itu penggugat bisa membuktikan bahwa di antara pemilih itu 72 persen yang menjadi relawan salah satu pasangan calon, kemudian mendapat honor.
Jadi saat itu penggugat dapat membuktikan money politics. Tapi dengan suatu metode di mana digunakan sebagai relawan itu sistematis kan. Dan bisa dihitung jumlahnya bahwa memang signifikan. kemudian meliputi semua wilayah kabupaten, maka didiskualifikasi karena dianggap terbukti, tapi untuk republik Indonesia dengan jumlah pemilih mungkin 150 juta kan, itu tidaklah suatu hal yang mudah.
Oleh karena itu, kalau ada pelanggaran proses kubu 02 harus menunjukkan korelasinya dengan perolehan suara yang bisa menggeser pasangan 01 kan.
Apakah dari laporan gugatan yang diajukan sudah cukup menunjukan indikasi TSM pada pelaksanaan Pilpres 2019 ini?
Kalau saya baca dari apa yang mereka kemukakan itu termasuk poin-poin penggunaan APBN, pemberian gaji. Mungkin saja itu sebenarnya terjadi apa yang disebut tunjungan atau THR. Tapi itu adalah wewenang presiden bersama DPR . Tidak bisa sendirian. Jadi seandainya pun itu salah, bukan di MK, tetapi DPR dengan menggunakan apa yang disebut pengawasan dan hak budget.
Oleh karena itu ada pembagian kewenangan. Maka tidak bisa dikatakan pelanggaran meskipun oleh struktur pemerintahan. Karena secara alamiah itu inkumben yang maju kembali itu pasti diuntungkan karena dia memiliki kewenangan-kewenangan yang ada di dalam pemerintahan yang bisa diumumkan kepada publik sebagai kebijakan. Tapi rakyat melihatnya sebagai keberhasilan. Itulah keuntungan inkumben.
Maka saat melawan inkumben di MK itu BPN harus memberikan suatu informasi bahwa itu yang menunjukkan adanya pelanggaran.
Bagaimana sebenarnya membuktikan tuduhan TSM ini?
Kalau bilang terstruktur itukan artinya pemerintah digunakan atau penyelenggaranya KPU. Kalau dikatakan terstruktur pemerintahan itu kalau dalam rumusnya lagi pasangan calon sebagai incumbent misalnya, karena rata-rata di inkumben yang punya struktur tadi dia memiliki keunggulan struktur pemerintahan. Ikut memerintahkan bukan hanya menyetujui, dia misalnya kalau di masa lalu itu ada perintah dari atasan, gubernur kepada bupati, bupati kepada camat, camat kepada kepala desa, secara beruntun. Harus ada bukti instruksi memenangkan salah satu calon. Bisa juga itu penyelenggara KPU sampai ke bawah, itu struktur pemerintahan.
Sistem tadi itu kan bisa dikatakan money politics dilakukan sedemikian rupa dan tersusun dalam satu planing atau rencana yang misalnya juga dirancang oleh tim, misal badam pemenangan atau tim pemenangan. Di situ unsur pertama yang harus ada itu bahwa pasangan sebagai inkumben turut memerintahkan itu memakai struktur pemerintahan sistemnya, money politics-ya, dengan membagikan itu secara langsung.
Atau kalau kita ambil itu pak BW itu keberhasilannya waktu Kotawaringin. Itu dia bisa menunjukan bahwa ada janji janji diberikan pada pemilih itu tanah 2 hektar ada uang kan. Lebih dari setengah pemilih itu menjadi relawan pasangan calon dengan honor kan, itukan sudah bisa terbukti langsung.
Lalu masif itu kan artinya mempengaruhi setengah wilayah atau setengah suara, itu lebih dia.
Selain itu, pembuktiannya harus dengan bukti surat atau dengan bukti-bukti lain. Kalau misalnya lewat komunikasi elektronik, misalnya yang kalau ada tertangkap pembicaraan telpon dari atas ke bawah.
Misalnya ada dokumentasi rekaman telepon, saya kurang tahu. Zaman sekarang tidak sukar tapi tidak mudah. Kalau untuk alat penyadap seperti itukan di kita terbatas hanya penegak hukum saja yang bisa, KPK, kepolisian. Itu agak sukar, tapi kalau kebetulan ada rekaman telepon didapat ya itu keberuntungan.
Sejauh ini dari tuntutan yang mereka buat sebenarnya sudah kuat atau bagaimana untuk membuktikan itu?
Saya melihat hanya permohonan kan tetapi alat bukti saya tidak lihat, itu nanti perjuangan berat dari mereka. Tetapi dari pengalaman dengan apa yang saya sebutkan tadi itu TSM itu begitu complicated. Tetapi kemudian juga harus dikonversi pelanggaran itu dengan angka. Kira-kira berapa angka yang mempengaruhi sehingga kita bisa menentukan bahwa memang salah hitungannya KPU atau hitungan mereka.
Tahun 2010 itu barangkali Kotawaringin kan, tahun 2013 itu langsung didiskualifikasi langsung ditetapkan pasangan lawan langsung menjadi pasangan terpilih kan? nah ini yang mereka harapkan. Tapi apa yang saya katakan kan dari skala wilayah dan penduduk pemilih itu sangat berat pembuktiannya juga sangat berat.
Berarti ada ketidaksiapan dalam menyiapkan materi gugatan?
Iya karena tidak siap di lapangan yang menguasai data bisa jadi juga karena mau menghemat. Jadi misalnya saksi tidak cukup, kalau duit mereka banyak, atau juga anggap enteng bisa juga karena percaya betul (menang). Itu musuh dari keberhasilan karena terlalu percaya diri, jadi anggap enteng. Apa di TPS kita sudah kuasai semua, kata mereka, tapi dia tidak menunjukan saksinya kan, itu yang jadi musuhnya terbesar kalau mempersoalkan selisih suara tapi tidak mempunyai data otentik. Itukan, harus otentik.
Termasuk sertifikat hasil suara namanya ada itu, itu semua harus disimpul. Mereka tidak memiliki. Makanya dia lari ke TSM.
Jadi klaim TSM masih sulit untuk dibuktikan?
Sangat berat. Terstruktur itu kalau ada surat perintahnya dari presiden kepada menteri- menteri.
Kalau itu tidak ada ya kita tunggu lah, kita masih harus menunggu apa tampilan mereka dengan bukti buktinya ada isi atau tidak. jadi harus ada alat bukti. Nah ini yang bisa mendukung bahwa itu apa yang di link berita itu merupakan fakta.
Tautan berita jadi salah satu bukti gugatan yang digunakan BPN. Sebenarnya sekuat apa tautan-tautan itu untuk pembuktian dalam pengajuan gugatan?
Ya enggak ada lah. Dalam peraturan MK itu memang menyebutkan alat-alat itu, memang ada namanya petunjuk. Jadi kalau link berita itu kita sebutkan petunjuk dia tidak bisa berdiri sendiri harus juga ada alat bukti lainnya yang mendukung, karena link berita juga campur aduk dengan opini kan.
Di media Anda mengkritik saran Bambang Widjojanto agar MK tak menjadi bagian rezim korup. Apa alasan Anda?
Jadi dia mengatakan jangan MK itu menjadi bagian dari pada rezim pemerintahan yang korup, kan? Sebenarnya kan kalau kita ikuti semua perjalanan pilpres ini semua, pada waktu sebelum pemungutan suara, penghitungan quick count, sampai perhitungan manual itu secara biasa mereka itu selalu mengklaim kalau dia menang. Menangnya itu dan malah sudah disyukuri.
Ketika kemudian mereka mengatakan MK tidak ada gunanya. Ketika pada akhirnya mereka memilih ke MK tetapi ada narasi pak BW itu maka sebenarnya yang kita lihat sebagai sesuatu bahaya ketika dia mempersiapkan semacam apa yang disebutkan keadaan di mana dia nanti kalau kalah dan dia tidak menerima MK itu rezim yang korup. Nanti yang disalahkan itu MK.
Kalau itu terjadi maka dia juga akan melihat atau menyebutkan kepada rakyat bahwa MK yang salah. karena itu ada kemungkinan pendukung Prabowo yang tidak kecil itu bisa diadu domba di tingkat grassroot dengan pendukung Jokowi atau petugas keamanan.
Artinya dia mau mengatakan tidak dipercaya MK kalau mereka tidak menang. Itu yang saya anggap berbahaya. Tidak perlu untuk mengatakan itu. Kalau dia menyatakan agar MK independen dan imparsial atau netral itukan agaknya bisa diterima semua pihak. Tapi kalau ada perkataan supaya tidak masuk rezim pemerintahan korup inikan semacam jebakan di depan itu bahwa rakyat nanti tidak percaya kepada MK kalau mereka kalah. Itu dugaan saya.