Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Masjid Al-Aqsa di Pusaran Konflik Tiga Agama
24 Juli 2017 8:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Penutupan akses Masjid Al-Aqsa bagi Muslim kembali memicu kekerasan di Yerusalem. Ironis, sebab setahun terakhir, umat Islam, Nasrani, dan Yahudi mampu berbagi kekhusyukan beribadah di rumah Tuhan itu.
ADVERTISEMENT
Yerusalem sendiri, yang merupakan tempat berdirinya Al-Aqsa, disebut sebagai kota tertua di dunia. Berlokasi di dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati, Yerusalem menjadi kota tiga agama--Yahudi, Kristen, dan Islam. Baik orang Israel (Yahudi) dan Palestina (Islam) mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka.
Masjid Al-Aqsa, yang artinya “masjid terjauh”, merupakan kompleks di Kota Tua Yerusalem yang terdiri dari Kubah Batu dari emas dan Masjid Qibly--yang kini dikenal sebagai Masjid Al-Aqsa karena paling dekat dengan kiblat di Ka’bah.
Sementara area di sekitar bangunan masjid disebut Haram al Sharif (Noble Sanctuary) bagi Muslim, atau Temple Mount bagi umat Yahudi.
Masjid Al-Aqsa adalah salah satu tempat suci penting dalam ajaran umat Islam selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dalam hadis HR Ahmad dari Abu Darda, dijelaskan bahwa salat di Masjid Al-Aqsa akan mendapat ganjaran pahala 500 kali lipat.
ADVERTISEMENT
Berada di kota kuno yang didirikan 4.000 tahun Sebelum Masehi, Al-Aqsa bertetangga dengan tempat suci dua agama lainnya. Temple Mount juga tanah suci bagi umat Yahudi dan Nasrani.
Ketiga agama monoteistik ini menaruh pandangan yang begitu suci--dengan cara masing-masing--terhadap wilayah Yerusalem Timur. Masing-masing dogma menjadikan Kompleks Haram al-Sharif sebagai lokasi berlangsungnya peristiwa penting bagi ketiga agama.
Masjid Al-Aqsa awalnya merupakan Tugu Batu yang didirikan oleh Nabi Yakub hingga Nabi Sulaiman--atau dikenal dengan sebutan Raja Solomon. Namun kompleks itu pun dipercaya sebagai tempat ibadah kuno Yahudi.
Nama Yerusalem telah terpatri dalam pikiran bangsa Yahudi selama ribuan tahun. Sebagai komunitas yang sebelumnya menyebar tanpa negara, kota ini menjadi simbol kerinduan mereka.
Panggilan untuk kembali yang terus menggema kurang lebih berbunyi: “Jika aku melupakanmu oh Yerusalem, biarkan tangan kananku kehilangan keahliannya. Jika aku tidak mengingatmu, aku rela lidahku menempel di dinding mulut. Bahkan jika aku tidak mengagungkan Yerusalem di atas kebahagiaanku.”
ADVERTISEMENT
Narasi tersebut dibangun di atas fondasi dogmatik agama Yahudi. Kepercayaan Yahudi meyakini bahwa Tuhan menggunakan tanah di wilayah ini untuk mencipatkan Adam, manusia pertama, yang kemudian ditempatkan di Taman Eden.
Di tempat itu pula, Abraham keturunan Ibrani mengalami peristiwa pengorbanan putranya sebelum diantisipasi oleh malaikat. Tempat ini sekaligus menjadi yang tersuci di mana Bait 1 dan Bait 2 turun.
Atas dasar kepercayaan suci tersebut, Raja Solomon membangun kuil Yahudi pertama yang memiliki Ruang Mahakudus. Ruangan suci ini menjadi tempat disimpannya Ark of Covenant--papan tempat Tuhan menuliskan Sepuluh Perintah.
Penggunaan ruangan ini kemudian menjadi tempat seremoni keagamaan yang amat penting bagi Yahudi. Dalam peringatan tahunan Yom Kippur atau Hari Penebusan Dosa, pendeta tertinggi Yahudi menjadi satu-satunya orang yang diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Bahkan, seorang Yahudi pun tetap dilarang menginjakkan kaki ke Temple Mount karena ditakutkan mengusik kesucian Ruang Mahaagung.
Pada tahun 70 Masehi, pasukan Romawi menduduki Yerusalem Kuno. Kehadiran segerombolan pasukan ini berusaha menancapkan keyakinan Katolik yang lebih kuat di Yerusalem. Peristiwa ini membuktikan bahwa umat Kristiani juga memiliki kisah kepercayaan di Yerusalem.
Pada abad ke-4 Masehi, Kaisar Konstantin meluncurkan program penggalian besar-besaran di salah satu titik di Yerusalem untuk mencari jejak peninggalan Yesus Kristus.
Tindakan kaisar itu berangkat dari kepercayaan atas rangkaian kematian Yesus, yang mulai dari disalib hingga diarak di Bukit Golgotta di Yerusalem Timur. Kaisar lalu membangun gereja megah sebagai simbol pengenangan umat Nasrani terhadap wafatnya Yesus di Yerusalem.
ADVERTISEMENT
Sayangnya pada tahun 1009, Kekhalifahan Islam menghancurkan bangunan yang dikenal dengan sebutan Church of Resurrection itu. Namun kemudian Kekhalifahan Islam memperbolehkan umat Nasrani untuk membangun kembali gereja tersebut.
Saat ini, bangunan yang diberi nama Gereja Makam Kudus itu berdiri berdekatan dengan Masjid Al Aqsa. Gereja itu dipercaya menjadi tempat penting bagi kenaikan Yesus Kristus. Di tempat itulah Yesus disalib, dimakamkan, dan naik ke Surga.
Sementara bagi Muslim, Yerusalem menjadi bagian kisah tak terpisahkan dari perkembangan Islam. Hari Besar Isra Miraj diperingati untuk mengenang perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Selain Masjid Al-Aqsa, warisan Islam lainnya di wilayah itu adalah Dome of Rock atau Kubah Batu. Bangunan berwarna biru ini dibangun pada tahun 687 hingga 692 oleh generasi kedua Ummayah dengan kepercayaan bahwa tepat di titik batu itu berada, Nabi Muhammad pergi ke langit ketujuh atau Sidratul Muntaha untuk menerima wahyu.
ADVERTISEMENT
Batu tersebut terdapat di Dome of Rock atau Masjid Kubah Batu yang berbentuk persegi delapan, berkubah emas, dan masih berada di dalam kompleks Masjid Al Aqsa.
Bangunan yang biasa disebut Masjid Al-Aqsa lantas berubah dari Tugu Batu menjadi masjid beserta kubah berwarna perak sejak masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754.
Bangunan sebelumnya hancur akibat gempa yang mengguncang Yerusalem tahun 746. Setelah mengalami beberapa kali gempa, khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali dengan arsitektur yang seperti terlihat sekarang.
Setelah itu, wilayah ini dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Dari penguasa Ayyubiyah, Turki Utsmaniyah, hingga Yordania, kepemimpinan Islam selalu memperhatikan pengelolaan Masjid Al-Aqsa.
Sejarah mencatat bahwa Yerusalem Timur tidak hanya menjadi tempat paling suci bagi umat beragama, namun juga menjadi tempat yang paling diperebutkan di dunia. Dimulai dari kekalahan Jebusites dari Raja David, serangan Babilonia dan Romawi terhadap bangsa Yahudi, tentara Islam yang merebut wilayah ini dari Bizantium, hingga perebutan wilayah Dome of Rock di Perang Salib--yang akhirnya dikuasai Kesultanan Ottoman hingga runtuh.
Meski sering menjadi medan ambisi perebutan kekuasaan dengan dalih agama, Yerusalem juga pernah menikmati kehidupan penuh toleransi. Pada Kekhalifahan Umar di tahun 637 Masehi, sebuah perjanjian di Suriah menjamin kebebasan beragama antara umat Yahudi dan Nasrani.
ADVERTISEMENT
Perang Dunia Pertama yang menyebabkan kekalahan sekaligus senjakala Kesultanan Ottoman kemudian membuat wilayah Palestina berpindah tangan kepada Inggris. Hingga akhirnya tahun 1967, berdiri Negara Israel yang memenangi Perang Israel-Arab dan kemudian berhasil mencaplok wilayah Yerusalem Timur, menandai permulaan dominasi Yahudi di wilayah tersebut.
Meski masuk ke dalam kedaulatan Israel, urusan Masjid Al-Aqsa dikelola oleh panitia independen yang diberi nama Waqf. Dengan dukungan Kerajaan Yordania, Waqf kebanyakan mengurusi penjagaan gerbang, mengelola sekolah, dan menyelenggarakan kegiatan peribadatan.
Otoritas yang tidak mereka miliki adalah akses terhadap Gerbang al-Mughrabi. Gerbang yang diberi nama al-Mughrabi atau Gerbang Dung ini menghubungkan ruang terbuka yang digunakan Israel untuk menghancurkan Moroccan Quarter, atau nama gerbang yang membatasi tembok timur.
ADVERTISEMENT
Pendudukan Israel terhadap Yerusalem Timur adalah upaya memenuhi misi Zionisme yang terejawantahkan dalam Program Yerusalem 1953. Lagi-lagi, tujuan politis tersebut dimaknai asumsi sejarah atas rasa sedih yang terpendam. Sebuah kisah heroisme pemuka agama Yahudi menyebutkan bahwa Yahudi akan kembali setelah serangan Romawi tahun 70 Masehi.
Ketika Israel berhasil mencapai Tembok Ratapan (Western Wall) di Yerusalem, sontak mereka menyebut tempat itu sebagai “monument in the domain of the memory and faith”. Haru biru melankolis ini disisipi identitas bangsa yang ingin terus mempertahankan wilayah pendudukan sebagai simbol nasionalisme.
Yerusalem bukan hanya menjadi simbol keagamaan Yahudi, tapi juga keangkuhan pemerintah dan militer Israel untuk menduduki kedudukannya di ‘Tanah Terjanji’. Wajah tersebut benar-benar berbeda dibanding Yerusalem tempo dulu.
ADVERTISEMENT
Peziarah Kristen asal Gaul, pendeta Arcluf, menuliskan kisahnya berkunjung ke Yerusalem pada tahun 670. Saat itu, masjid menjadi tempat menginap lebih dari 3000 peziarah dari seluruh dunia. Halaman bagian tengah disesaki oleh kegiatan keagamaan. Jika dibandingkan sekarang, Tembok Ratapan dijadikan perayaan kenegaraan Israel sekaligus parade militer.
Sayang, heroisme bagi Israel adalah penjajahan bagi rakyat Palestina. Pencaplokan wilayah Yerusalem menyebabkan lingkaran setan yang tak kunjung usai sejak 1967 hingga sekarang. Sejak saat itu, terhitung ada 500 bentrokan dan dua kali perang Intifada memperebutkan Yerusalem Timur selama 50 tahun.
Imaji keagamaanlah yang membentuk solidaritas konflik yang meletup hingga sekarang. Pengamat Timur Tengah, Samuel Heilman, dalam wawancara dengan CNN menyebutkan bahwa imaji membuat satu sama lain saling merasa paling benar menyebabkan konflik kekerasan terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
“Setiap orang merasa paling benar satu sama lain. Oleh karenanya mereka tidak hanya mencoba membangun pembenaran tapi juga mengurangi kebenaran cerita lainnya,” ucap Heilman ketika diwawancarai saat momen penutupan dan kerusuhan yang terjadi tahun 2015.
Perdebatan terjadi antara Muslim dan Yahudi. Mereka menganggap Yahudi tak pernah mendirikan kuil di Yerusalem, sedangkan orang Yahudi menganggap Nabi Muhammad tak pernah berkunjung ke Yerusalem.
Di luar siapakah yang paling benar, perdebatan semacam itu telah berlangsung berabad-abad, mengiringi perang tiada henti antarumat beragama. Dan Al-Aqsa, lagi-lagi, menjadi saksi pertumpahan darah.