Melihat Dampak Pasal-pasal Kontroversial di Revisi KUHP Jika Disahkan

20 September 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Massa aksi berorasi di atas mobil komando saat unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa aksi berorasi di atas mobil komando saat unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta DPR untuk menunda pengesahan revisi KUHP (KUHP). Jokowi mengatakan, keputusan ini diambil setelah mendengarkan masukan dari berbagai kalangan yang keberatan dengan substansi revisi KUHP.
ADVERTISEMENT
"Setelah mencermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi-substansi KUHP, saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut," ujar Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9).
Salah satu pihak yang meminta RKUHP itu ditunda yakni Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Sebab menurut mereka, substansi revisi RKUHP justru mengembalikan Indonesia ke era kolonial. Padahal tujuan RKUHP agar Indonesia bisa memiliki dasar hukum pidana sendiri, bukan hasil warisan Belanda yang saat ini masih berlaku.
"Kita tidak menolak ada RKUHP. Kita sangat dukung ada upaya reformasi KUHP. Tapi reformasi harus benar-benar mendukung ide reformasi, bukan kembali ke masa kolonial," ujar salah satu anggota Aliansi dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (20/9).
ADVERTISEMENT
Maidina pun menyebut sejumlah pasal di RKUHP yang perlu ditinjau ulang yakni:
Massa aksi menunjukan poster dengan berbagai tuntutan, saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Maidina mengatakan aturan ini ada di Pasal 598. Maidina menilai pasal ini berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan. Sebab aparat penegak hukum berpotensi mendefinisikan hukum yang hidup di masyarakat berdasarkan penafsirannya sendiri, tanpa batasan yang jelas.
"Sesuai penjelasan Pasal 598 RKUHP versi 15 September 2019, (Pasal ini) akan diatur dalam Perda, sehingga berpotensi akan memunculkan Perda diskriminatif," kata Maidina.
Ilustrasi hukuman mati. Foto: ArtWithTammy via Pixabay
Ketentuan yang mengatur pidana mati itu tersebar di 4 Pasal yakni Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101.
Menurut Maidina, seharusnya pidana mati dihapuskan dalam RKUHP. Sebab sesuai perkembangan, kata Maidina, 2/3 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati.
ADVERTISEMENT
"Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim. Terlebih dalam penjelasan (RKUHP) disyaratkan pula bahwa hakim harus memperhatikan reaksi masyarakat” kata Maidina.
Maidina menyebut aturan ini ada di Pasal 167 yang berbunyi:
Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwu­judkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Maidina menganggap, definisi makar di RKUHP tidak sesuai dengan asal kata makar yaitu aanslag yang artinya serangan.
"RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat," ucapnya.
Ilustrasi peradilan Foto: Shutterstock
Contempt of Court atau menghina peradilan diatur di Pasal 281 dan 282 RKUHP. Menurutnya, pasal tersebut karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers.
ADVERTISEMENT
"Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial," kata Maidina.
"Padahal, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa," lanjutnya.
Ketentuan ini ada di Pasal 440 hingga 449 RKUHP. Maidina menilai seharusnya ada pengecualian penghinaan dalam beberapa kondisi yakni untuk kepentingan umum, terpaksa membela diri, tidak ada kerugian yang nyata, pernyataan yang disampaikan secara emosional, pernyataan yang disampaikan kepada penegak hukum.
"(Lalu) pernyataan yang dilakukan dalam koridor pelaksanaan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi, pernyataan tersebut tidak dilakukan di depan umum atau merupakan korespondensi secara pribadi, pernyataan yang disampaikan adalah kebenaran," jelas Maidina.
Istana Bogor. Foto: Jihad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Meidina menganggap terdapat sejumlah pasal yang mengancam demokrasi. Pertama ialah Pasal penghinaan presiden yang ada di Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.
Maidina menyebut ketentuan ini pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda dan warisan kolonial.
"Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh Putusan MK No 013- 022/PUUIV/2006 karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum," ucapnya.
"Menghidupkan kembali pasal ini, berarti membangkang pada konstitusi," lanjutnya.
Lalu ada pula Pasal penghinaan pemerintah yang sah di mana ada di Pasal 240-241 RKUHP.
Padahal menurut Maidina, Pasal ini sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/2007.
ADVERTISEMENT
"Ketentuan pidana yang ada dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen, pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda," jelas Maidina.
"Dengan demikian pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka," sambungnya.
Ia berpendapat alasan pemerintah yang membuat ini menjadi delik materil pun tidak jelas. Sebab definisi 'menimbulkan keonaran' sangat karet dan tidak terukur.
"Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu juga ada Pasal penghinaan Kekuasaan Umum/ Lembaga Negara yang diatur di Pasal 353-354 RKUHP.
Meidina menilai hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
Hal ini diatur di Pasal 304 RKUHP yang berbunyi:
Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.
Maidina menganggap pasal ini harus dihapuskan. "Jauh dari standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian (dan) hanya melindungi agama yang dianut di Indonesia," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ketentuan ini diatur di Pasal 417 ayat (1) yang berbunyi:
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.
Menurut Maidina, negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat.
Selain itu, kata Maidina, delik aduan di pasal ini yang berdasarkan pengaduan orang tua dapat meningkatkan angka perkawinan anak.
"89% perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan," ucapnya.
ilustrasi pasangan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Terdapat perluasan pelapor pasangan kumpul kebo yang diatur di Pasal 419 RKUHP. Sebelumnya aduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak. Kini aduan diperluas dengan diperbolehkannya kepala desa untuk melaporkan, sepanjang tidak terdapat keberatan dari keluarga.
"Perluasan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan overkriminalisasi," katanya.
Ketentuan ini diatur di Pasal 421 RKUHP. Maidina menganggap penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya
Aturan yang mengatur pidana bagi seseorang yang menunjukkan alat kontrasepsi tercantum di Pasal 414-415 RKUHP. Pelakunya bisa dipidana 6 bulan penjara atau denda maksimal Rp 10 juta.
ADVERTISEMENT
Padahal menurut Maidina, ketentuan ini sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN tahun 1995 yang menyatakan kondom cara paling efektif pencegah penyebaran HIV.
Pasal ini juga dianggap kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV. Maidina menyebut, dari 10 peraturan perundang-undangan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, 6 di antaranya memuat aturan tentang kampanye penggunaan kondom pada perilaku seks berisiko.
"Dan kesemuanya memberikan kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas. Secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/ kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV," ketusnya.
Ilustrasi aborsi. Foto: Shutter Stock
Ketentuan ini diatur di Pasal 470 hingga 472 RKUHP. Pasal ini mengatur pidana bagi perempuan yang melakukan aborsi selama 4 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Maidina, pasal ini berpotensi mengkriminalisasi korban pemerkosaan yang ingin melakukan aborsi. Terlebih yang bebas dari tuntutan pidana jika aborsi untuk menggugurkan janin akibat pemerkosaan hanya dokter.
"Pasal ini bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005. Kasus BL di Jakarta dan WA di Jambi dimana korban perkosaan yang melakukan aborsi kemudian dikriminalisasi akan terus terjadi," jelasnya.
Ketentuan yang mengatur tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 611 hingga 616 RKUHP.
Menurut Maidina, diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP menunjukkan negara secara menggunakan pendekatan pidana untuk menangani masalah narkotika.
"Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamirkan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat. Pendekatan Pidana tidak terbukti efektif," katanya.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Masalah tindak pidana korupsi diatur di Pasal 604 hingga 607 RKUHP.
Maidina mengatakan, RKUHP justru tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor seperti di Pasal 15 yang mengatur mengenai percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal Tipikor di RKUHP juga tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Aturan ini ada di Pasal 599-600 RKUHP. Namun menurut Maidina, pasal tersebut tidak sesuai dengan standar HAM secara internasional.
"RKUHP juga tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM," katanya.
Selain itu, asas retroaktif atau berlaku surut untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP.
ADVERTISEMENT
"Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000," pungkasnya.
Adapun Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, membantah RKUHP terkesan membelenggu hak warga negara. Namun, Yasonna mengaku pihaknya memang kurang berkomunikasi dengan masyarakat dalam membahas revisi UU tersebut, hingga banyak poin yang melebar dan disalahartikan.
"Ini memang mungkin gimana, ya, kami memang juga mungkin tidak melakukan hal, saya juga mungkin kesalahan kita adalah sosialisasi," ujar Yasonna saat konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9).