Melihat Pasal-pasal Kontroversial dalam RKUHP yang Segera Disahkan

5 September 2019 14:03 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rancangan KUHP. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rancangan KUHP. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Setelah melalui kajian sejak tahun 1963, revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) rencananya disahkan DPR pada 24 September 2019. Artinya, agenda revisi KUHP sudah berjalan selama 56 tahun.
ADVERTISEMENT
Pengesahan revisi KUHP itu diperlukan agar Indonesia memiliki dasar hukum buatan sendiri. Sebab KUHP yang saat ini berlaku merupakan warisan kolonial Belanda yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Meski demikian, revisi KUHP itu tak lepas dari perdebatan. Sebab dalam pembahasannya, terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversial oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP merupakan gabungan beberapa LSM yang bergerak di bidang hukum seperti ICJR, ICW, LBH, dan KontraS yang mengawal proses revisi KUHP. Sehingga Aliansi meminta DPR tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RKUHP dan lebih baik menyempurnakannya.
"Pemerintah dan DPR tidak bisa buru-buru mengesahkan RKUHP dikarenakan masih banyak permasalahan dalam rumusan RKUHP," ujar anggota Aliansi dari ICJR, Sustira Dirga, dalam keterangannya, Kamis (5/9).
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa pasal di RKUHP versi 28 Agustus 2019 yang disorot:
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
Ketentuan Tipikor di RKUHP masuk dalam Buku Kedua dan diatur mulai dari Pasal 604 hingga Pasal 607.
Masuknya Pasal Tipikor tersebut dinilai akan menurunkan derajat korupsi dari kejahatan luar biasa (extraordinary crime) menjadi kejahatan biasa. Sebab selama ini, KPK telah menggunakan UU Pemberantasan Tipikor dalam menjerat para koruptor.
Selain itu, Pasal Tipikor di RKUHP saat ini tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti seperti yang diatur di Pasal 18 UU Tipikor. Tidak diakomodasinya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti itu justru dianggap merugikan negara dalam pemberantasan korupsi.
KPK pun telah menyuarakan penolakannya apabila Pasal Tipikor masuk di RKUHP. Sebab KPK menilai penerapan Pasal Tipikor di RKUHP bisa melemahkan pemberantasan korupsi.
Ilustrasi Istana Bogor. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut mendapat tentangan keras dari berbagai pihak. Alasannya, aturan itu dianggap dapat membawa Indonesia kembali pada masa kolonialisme dan rawan kriminalisasi.
Pada draf RKUHP sebelum 28 Agustus, bab yang mengatur hal itu diberi nama tindak pidana "Penghinaan Presiden". Dalam draf terbaru, ketentuan itu berganti menjadi "Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden" yang diatur dalam Pasal 218-220 RKUHP.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Pasal penghinaan presiden yang ada di Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP pada 2006 lalu. Pembatalan pasal tersebut karena penghinaan terhadap presiden menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Pasal lain di RKUHP yang mendapat sorotan yakni tentang Contempt of Court atau penghinaan terhadap proses peradilan.
Aliansi menilai pengaturan Contempt of Court justru menyasar pada tindakan-tindakan terkait isu integritas hakim yang tidak jelas batasannya. Sehingga pasal itu mengancam reformasi peradilan dan demokrasi.
Dalam draf RKUHP versi 28 Agustus 2019, pihak yang melakukan Contempt of Court di Pasal 281 terancam pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta. Adapun tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik Pasal 281 RKUHP yakni:
a. Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
ADVERTISEMENT
c. Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Menurut Aliansi, batasan-batasan “tidak hormat" dan "menyerang integritas” pada poin b tidak jelas. Lalu poin c juga tidak jelas memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan "segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim"
Ketidakjelasan dalam mengatur batasan-batasan itu mengakibatkan delik Contempt of Court dalam RKUHP berpotensi menjadi pasal karet. Sehingga delik itu rentan menyasar akademisi, pers, hingga kelompok masyarakat sipil yang mengkritik hakim.
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: Pixabay
Di RKUHP, negara mengatur hidup warga negaranya hingga ke ranah privat yakni terkait kesusilaan.
Dalam RKUHP seseorang yang melakukan seks di luar nikah (zina) bisa dipidana maksimal 1 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Meski demikian untuk mengantisipasi persekusi, proses hukum terhadap pelaku zina harus didasarkan pada laporan yang dilakukan oleh suami, istri, orang tua, atau anak.
Tak hanya itu, pasangan yang belum menikah namun hidup dalam satu rumah (kumpul kebo) juga dipidana maksimal 6 bulan penjara.
Sama seperti pasal perzinaan, proses hukum terhadap pasangan tersebut hanya bisa dilakukan atas laporan suami, istri, orang tua, atau anak yang bersangkutan.
Aturan kesusilaan dalam KUHP juga menggeser paradigma pemerkosaan. Jika sebelumnya pemerkosaan hanya untuk orang di luar nikah, di RKUHP pemerkosaan juga bisa dilakukan oleh suami/istrinya sendiri. Ancaman pidana pemerkosaan dalam satu rumah tangga itu mencapai 12 tahun penjara.
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Revisi KUHP bukan hanya menyentuh hal yang masuk akal, tetapi juga mengurusi hal gaib.
Dalam revisi KUHP, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan santet sebagai tindak pidana. Bahkan dukun santet yang membuat orang celaka bisa dipidana maksimal 3 tahun penjara. Hal itu diatur dalam Pasal 213 ayat (1) RKUHP yang berbunyi:
Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Ilustrasi Masjid. Foto: AFP
Masih masuknya pasal penghinaan agama dalam RKUHP membuat seseorang rentan dikriminalisasi. Aturan itu terdapat di Pasal 304 hingga 306. Dalam pasal itu, seseorang menghina suatu agama bisa dipidana maksimal 5 tahun penjara
ADVERTISEMENT
Menurut Aliansi, Pasal tersebut telah menjadikan agama sebagai subjek perlindungan hukum pidana. Padahal dalam praktik hukum pidana modern di berbagai dunia, konsep perlidungan seperti ini tidak dikenal dan dianggap absurd.
Hukum pidana modern hanya melindungi hal yang sangat jelas dan terukur seperto tubuh manusia, properti, dan lingkungan hidup.