news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membuka Mata Kawan-kawan Tunanetra

8 Mei 2019 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Tutus Setiawan, penerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 di bidang pendidikan. Foto: Maharani Sagita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
com-Tutus Setiawan, penerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 di bidang pendidikan. Foto: Maharani Sagita/kumparan
ADVERTISEMENT
Dari meja kerjanya di sisi jauh ruang guru SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya, Tutus Setiawan berjalan menuju muka pintu untuk menyambut kami. Dia tersenyum ramah sembari menjabat tangan kami lalu mengajak kami ke ruang kepala sekolah yang hanya terpisah satu daun pintu dari ruang guru. Sejak berdiri dari kursinya hingga duduk di kursi ruang tamu ruang kepala sekolah, langkah Tutus penuh kehati-hatian namun pasti. Tongkat jalan tidak diperlukannya.
ADVERTISEMENT
Tutus bukan hanya seorang guru di SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya. Namun dia lebih dari itu. Tutus adalah salah satu pendiri Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) Surabaya, sebuah wadah bagi tunanetra di Surabaya untuk belajar dan melatih kemampuan baik sosial maupun life skill mereka agar bisa eksis di masyarakat.
Tutus bersedia kami temui pada Jumat (3/5) pagi di sekolah tempatnya mengajar. Namanya mungkin melambung berkat penghargaan yang dia raih, tetapi Tutus tetap bekerja sebagai guru, cita-cita yang sudah dia genggam sejak masih anak-anak.
Sebagai pengajar (berstatus PNS), Tutus harus menyesuaikan jadwal kegiatan LPT dengan kesibukan utamanya. Pun begitu dengan sembilan pengurus aktif lain di lembaga ini, yang kesemuanya adalah guru. LPT praktis hanya bisa berkegiatan pada sore hari dan hari libur sekolah. Bagi Tutus itu bukan masalah.
ADVERTISEMENT
“Betul [LPT baru bisa berkegiatan pada sore hari atau akhir pekan],” ujar Tutus kepada kami. “Tapi saya tidak menganggap itu sebagai kelemahan. LPT diapresiasi oleh banyak funding karena hanya LPT yang tidak mencari nafkah di organisasi. Kebanyakan organisasi besar digaji oleh lembaga, oleh organisasi. Jadi mereka tidak kerja. Kerjanya di organisasi, dibayar oleh organisasi. Kami berbeda. Kami cari nafkah sendiri. Justru karena ini kami diapresiasi.”
com-Sehari-hari, Tutus Setiawan bekerja sebagai guru di SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tentu tidak begitu saja LPT mendapat apresiasi demi apresiasi. Jalan yang ditempuh lembaga ini, sejak didirikan pada 2003, panjang dan terjal — sudah demikian adanya sejak awal.
Tutus masih berstatus mahasiswa tingkat tiga di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya saat mendirikan YPT (saat itu namanya masih Perhimpunan Braille Muda Surabaya, nama yang kemudian diganti setelah tiga tahun dipakai karena, ujar Tutus sambil bergurau, tidak elok jika para pengurus yang terus menua terus disebut muda) bersama empat kawannya: Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani, dan Yoto Pribadi. Kesibukan pada masa-masa awal YPT membuat Tutus tidak muncul di kampus dalam jangka waktu yang lama — cukup lama sampai dosennya mencari Tutus ke mana-mana. Sang dosen akhirnya memaklumi absensi Tutus setelah diundang menghadiri sebuah seminar dan melihat sendiri kegiatan yang membuat Tutus menghilang.
ADVERTISEMENT
Pada awal berdirinya LPT, Tutus dan kawan-kawan lebih banyak melakukan kegiatan yang bersifat edukatif untuk masyarakat umum. Memberi pengenalan. Untuk mengekspos kawan-kawan tunanetra yang bernaung di LPT kepada masyarakat, dengan tujuan mengurangi citra negatif tunanetra di mata masyarakat.
“Stigma negatif hanya membuat kami dikasihani orang. Pernah saya berjalan di tempat umum dan ada orang datang ke saya. Saya disalami, dikasih uang receh Rp 100. Ngelus dada saya,” ujar Tutus mengenang kejadian yang pernah menimpanya sembari tertawa.
Pada momentum besar seperti Hari Braille Sedunia, LPT turun ke jalan untuk menggelar beragam kegiatan. Aksi damai dan bagi-bagi bunga adalah beberapa di antaranya. Momentum hari besar juga digunakan untuk menjadi tamu talkshow di stasiun-stasiun radio dan televisi.
com-Seorang siswa SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya membaca teks braille. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tentu LPT tidak berhenti di situ dan kegiatan LPT tidak itu-itu saja. Menurut Tutus, yang sama pentingnya dengan mengedukasi masyarakat awam adalah mengedukasi kawan-kawan tunanetra di LPT sendiri.
ADVERTISEMENT
“Yang saya lihat kita harus membenahi dari luar dan dari dalam diri tunanetra,” ujar Tutus. “Dari luar jelas masyarakat yang harus mengubah stigma negatifnya tentang keberadaan tunanetra. Harus diluruskan pemahaman mereka. Itu yang dari luar.”
“Sedangkan yang dari dalam juga harus berjuang, dalam arti menunjukkan jati dirinya, menunjukkan potensinya. Dengan cara apa? Memperkuat mental mereka. Memperkuat rasa percaya diri mereka. Karena apa? Kebanyakan teman-teman tunanetra [sifatnya] minder. Mereka adalah orang yang takut bergaul atau berinteraksi dengan orang luar.”
Tutus menyebut kecenderungan itu dengan istilah “jago kandang”. Pesan yang berulang kali disampaikan Tutus kepada kawan-kawan tunanetra di LPT maupun murid-muridnya di YPAB adalah tunanetra harus percaya diri dan kuat mental agar bisa eksis di masyarakat. Jika tidak begitu, proses adaptasi mereka akan terhambat.
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu saya sering ngomong ke anak-anak saya, ke murid-murid saya, yang membuat tunanetra sukses di luar itu bukan karena dia pintar. Bukan karena dia kaya. Tapi karena dia bisa beradaptasi dengan sekitarnya dengan cepet,” terang Tutus.
“Tunanetra pintar, kaya, enggak punya teman, mau jadi apa? Siapa yang mau bantu? Suksesnya dari mana? Jadi kami selalu menekankan itu; bukan karena kepandaiannya dan kekayaannya tapi karena kalian mampu beradaptasi, mampu berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, itu yang membuat kalian bisa maju,” lanjutnya.
com-Kegiatan kelas musik di SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Pesan Tutus bukan omong manis dan sebatas teori. Pria kelahiran 6 September 1980 itu mengalaminya sendiri. Di masa kecilnya, Tutus pun punya rasa minder seperti kebanyakan tunanetra yang menimba ilmu di sekolah khusus. Perubahan dalam diri Tutus muda dimulai ketika dia memilih untuk masuk SMA reguler.
ADVERTISEMENT
Surabaya di masa sekolah Tutus berbeda dengan Surabaya saat ini, yang diakui luas sebagai salah satu kota paling ramah disabilitas di Indonesia. Inklusivitas pendidikan di Surabaya saat ini pun jauh lebih baik, dengan lebih dari 52 SD, 20 SMP, dan empat SMA inklusif; di tahun Tutus mendaftar SMA, dia sampai harus menghadap langsung ke kepala sekolah.
“Waktu saya lulus dari SMP sini mau ke SMA umum, banyak yang nolak karena ketunanetraan saya,” kenang Tutus. “Saya dikhawatirkan tidak bisa ngikuti materi pelajaran. Tidak ada materi-materi yang berbentuk braille, guru yang tidak siap, sehingga mereka menolak. Waktu itu saya akhirnya datang sendiri sama orang tua, saya buat perjanjian dengan kepala sekolah: ‘Pak, kalau saya tidak bisa mengikuti materi pelajaran, nggak usah dikeluarkan; saya yang keluar sendiri.’”
ADVERTISEMENT
Hingga lulus SMA, tidak pernah Tutus terlempar dari tiga besar — prestasi akademik itu berlanjut hingga ke perguruan tinggi: Tutus menyandang gelar S2 dari Universitas Negeri Surabaya. Namun sukses besarnya di SMA bukan berasal dari prestasi akademik. Di SMA, Tutus menjadi sosok yang “bandel”.
“Ketika di sekolah umum, saya diem, nggak ada yang nemenin,” ujar Tutus. “Saya punya temen satu, anak epilepsi. Akhirnya saya berpikir, saya harus berubah. Kalau saya enggak berubah, saya enggak punya temen.”
“Akhirnya saya agak cerewet, dan akhirnya, ya, harus nakal dikit. Ya untuk mengimbangi temen-temen. Mereka ngajak bolos, ya ikut bolos. Waktu pelajaran diajak ke kantin, ya sudah ikut saja. Bahkan naik pager pun saya diajak,” ujar Tutus sambil tertawa mengenang kenakalan masa SMA-nya. “Dari situ banyak temen akhirnya.”
com-Kegiatan kelas Bahasa Jepang di SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Surabaya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Kemampuan menjalin hubungan itulah yang menjadi dasar sukses Tutus hingga sekarang. Kawan-kawan tunanetra yang bernaung di LPT pun dia bekali hal serupa lewat pendidikan dan pelatihan. Modal penting memang, namun Tutus dengan sigap mengoreksi anggapan bahwa program LPT hanya diklat. Sejak 2015, fokus LPT bertambah: advokasi kebijakan dan regulasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, 2015 juga istimewa karena hal lain: Tutus, mewakili LPT, menerima penghargaan SATU Indonesia Awards di bidang pendidikan. Dari Astra, yang menggelar penghargaan tahunan untuk para pembuat perubahan di seluruh Indonesia tersebut, LPT mendapat hadiah uang tunai senilai Rp 55 juta. Hadiah dari penghargaan SATU Indonesia Awards itu kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan dan dana operasional LPT.
Hebatnya, pada 2015 jumlah pendaftar Astra SATU Indonesia Awards mencapai 2.071 orang. Bahwa Tutus menjadi satu dari lima peraih penghargaan tahun itu, karenanya, adalah prestasi besar. Namun dia dan LPT tetap rendah hati mengenai hal itu, bahkan hingga saat ini. Ketika ditanya apa yang berbeda dari LPT sebelum dan sesudah menerima Astra SATU Indonesia Awards, Tutus menjawab dengan gurauan, “Jadi banyak wawancara seperti ini.”
ADVERTISEMENT
“Pada dasarnya gini,” lanjutnya kemudian. “LPT dibentuk bukan untuk mendapat penghargaan. LPT dibuat karena ingin menyalurkan aspirasi temen-temen tunanetra.”
“Setiap tahun kami selalu berupaya agar temen-temen disabilitas bisa keluar dari diskriminasi. Bisa terus mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang mereka butuhkan. Dengan adanya pemberian dari Astra, kegiatan LPT bisa lebih continue.”
Satu dasawarsa SATU Indonesia Awards kembali digelar pada tahun 2019 ini dan pendaftaran sudah dibuka. Apakah Anda memiliki organisasi yang telah membuat perubahan atau Anda mengenal orang-orang di sekeliling Anda yang telah membuat perubahan bagi lingkungan sekitarnya? Daftarkan diri Anda atau orang yang Anda kenal untuk penghargaan SATU Indonesia Awards 2019 di sini!