Memutus Mata Rantai Kekerasan Santri

28 Februari 2019 10:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi sore muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci. Hilir mudik silih berganti, pulang pergi mengaji.
ADVERTISEMENT
Seperti lirik lagu ‘Suasana di Kota Santri’ itu, pesantren biasanya digambarkan dengan suasana damai, asri, dan menenangkan hati. Tetapi nyatanya tak selalu demikian. Kadang, kejadian memilukan bisa terjadi di sana.
Data yang diolah kumparan menunjukan, terjadi delapan insiden kekerasan yang berujung kematian di pesantren dalam lima tahun terakhir. Setengah di antaranya punya benang merah yang sama. Pelaku dalam empat kasus kekerasan tersebut adalah teman sebaya korban alias teman seangkatan. Musababnya juga serupa, yaitu karena korban diduga mencuri. Ada yang dituduh mencuri uang, ponsel, hard disk, dan ragam barang lainnya.
Pada 2015, seorang santri di pesantren Roudlotul Toyibin, Bojonegoro, Teguh Purnomo (15) tewas dihajar sembilan temannya. Setahun berselang nasib serupa menimpa Adam Fawwas Syarvia (13), seorang santri di pesantren At Taqwa, Lamongan. Nyawa Adam melayang setelah dikeroyok 16 kawannya.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 2017, M. Iqbal Ubaidillah (15), santri pesantren Darussalam, Surabaya, meninggal dunia akibat dikeroyok empat teman satu pesantrennya. Teranyar pada awal 2019 ini Robby Alhalim tewas dikeroyok 17 temannya di pesantren Nurul Ikhlas, Padang Panjang, Sumatra Barat.
Dalam kasus teranyar yang terjadi di Padang, polisi menemukan fakta Robby Alhalim dianiaya rekannya sebanyak tiga kali dalam rentang empat hari. Kriminolog Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, menyebut pola kekerasan berujung maut di pesantren bukanlah hal yang mengejutkan. Kasus serupa juga terjadi di format lembaga pendidikan lain, semisal sekolah umum, sekolah kedinasan, atau lainnya.
“Enggak ada faktor yang mengejutkan kalau kita mengatakan harusnya kan pesantren tidak terjadi hal demikian. Idealnya di mana pun, enggak cuma di pesantren. Kekerasan itu tidak boleh terjadi, tidak boleh dilakukan, tidak boleh dialami oleh anak-anak atau siapapun di mana pun,” kata Mamik kepada kumparan, Selasa (26/2).
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto, Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sederhananya, kasus kekerasan di pesantren cuma bagian kecil dari fenomena yang lebih luas. Sederet faktor lain turut melatarbelakangi hingga kasus kekerasan berujung maut ini bisa terjadi. Dari kaca mata yang lebih luas, ada kecenderungan lingkungan masyarakat Indonesia yang jamak menoleransi kekerasan sebagai ganjaran kesalahan.
“Bukankah itu contoh nyata, pelajaran sangat nyata yang diberikan orang-orang dewasa di sekitar kita pada anak-anak. Jadi kalau orang salah itu boleh dianiaya, dipukul,” jelas Mamik.
Karena itu, kesalahan dalam insiden penganiayaan yang menimpa Robby di Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, tak bisa sepenuhnya dibebankan ke pundak santri saja. Kecenderungan penggunaan kekerasan sebagai penyelesaian masalah memang mengkhawatirkan.
Dalam kasus-kasus tertentu, menurut Mamik, potensi risikonya makin besar bila pesantren menerapkan sistem represif. Peserta didik akan terbiasa dengan hukuman berbentuk kekerasan. Lambat laun, tingkat toleransi siswa pada kekerasan semakin tinggi. Hal semacam itu dapat memunculkan anggapan bahwa kekerasan merupakan hal lazim.
ADVERTISEMENT
Di sini, Mamik mengkritisi budaya lama dalam proses pendidikan. Sebab, di kalangan masyarakat masih ada anggapan keliru soal ganjaran terhadap pelanggaran. “Di dalam pesantren juga di sekolah-sekolah umum bagaimana mereka juga mendidik anak-anak masih menggunakan cara yang didominasi hukuman kedisiplinan yang sifatnya menyakiti,” Mamik mencontohkan.
Dampaknya akan seperti bom waktu, yang suatu saat akan meledak bila ada pemantik. Pola-pola kekerasan akan menjadi referensi peserta didik dalam merespons kondisi di lingkungannya. Peristiwa yang dialami Robby Alhalim, merupakan salah satu bentuk letupannya.
Bila kekerasan terjadi, Mamik berpendapat, korbannya tak jauh-jauh. Mereka tak lain adalah anak-anak yang menjadi santri di pesantren tersebut, baik yang hilang nyawanya ataupun mereka yang menghilangkan nyawa.
Suasana Masjid usai Salat Jumat di Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas, Kabupaten Tanah Datar, Padang. Foto: Helmi Afandi/kumparan
“Mereka juga korban, korban dari siapa? Dari sistem pendidikan dominan di dalam pesantren,” Mamik menambahkan.
ADVERTISEMENT
Baginya, solusi masalahnya juga bukan berarti mengisolasi persoalan di pondok pesantren. Bagaimanapun perilaku kekerasan di kalangan remaja punya kompleksitasnya sendiri. Jadi tak tepat bila dianggap menyelesaikan persoalan di pesantren bisa jadi obat mujarab berdampak instan.
“Ini bukan masalah pondok pesantren tempat di mana anak-anak terlibat kekerasan. Tetapi secara keseluruhan bagaimana hidup kita, sistem pendidikan kita, pengasuhan kita yang memang sangat didominasi model-model atau cara-cara penghukuman,” urai Mamik.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Reza Indragiri Amriel, punya tawaran solusi sederhana untuk memutus rantai kekerasan di sekolah dan pesantren. Menurutnya, perlu ada perubahan dalam sistem akreditasi lembaga pendidikan.
Aspek kemampuan lembaga pendidikan menciptakan suasana tanpa kekerasan di lingkungannya harus mendapat porsi penilaian lebih untuk mempertimbangkan akreditasi. Reza megatakan, selama ini ukuran kualitas sekolah cenderung lebih menekankan aspek rasio guru-murid, prestasi, hingga penerimaan dunia kerja terhadap lulusan.
Suasana di area sekitar Polres Padang Panjang. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
“Kalau ternyata sekolah tidak berhasil mensterilkan dirinya sebagai zona kekerasan, menurut saya pencapaian lain minggir saja, karena toh kita mengirim anak ke sekolah kan tujuannya supaya sehat, selamat, tidak berpikir bahwa kita kirim anak kita sekolah dan sewaktu-waktu kita harus mengantisipasi anak kita wafat,” Reza melanjutkan.
Kabar baiknya, sudah muncul kesadaran sekolah untuk memutus rantai kekerasan. Salah satu indikatornya, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia banyak diminta bantuan untuk menangani kasus-kasus kekerasan. Tapi dalam beberapa kasus, ada sekolah yang justru defensif.
“Barangkali karena mereka berpikir bahwa pihak eksternal yang masuk pasti hanya untuk bikin gara-gara, hanya untuk bikin panjang masalah. Padahal tidak, barangkali karena kita dari pihak luar sekolah, mudah-mudahan proses berpikir kita lebih jernih,” kata Reza.
ADVERTISEMENT
Pembenahan Kemenag
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Ahmad Zayadi mengatakan, insiden yang menewaskan Robby Alhalim meninggal menjadi bahan pelajaran lembaganya. Ke depan, instansinya akan melakukan pemetaan pesantren di Indonesia supaya kasus demikian tidak lagi terjadi.
Konten spesial: Maut di Pondok Santri Foto: Putri Sarah Arifira, Fitra Andrianto/kumparan
Merujuk pada data yang dirilis Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, hingga tahun 2019, ada 28.184 pesantren di Indonesia. Namun, tak semuanya berada langsung di bawah Direktorat. Rupanya, Pondok Pesantren Nurul Ikhsan tak masuk kategori pondok pesantren versi Kemenag.
Lembaga itu ternyata berakreditasi pendidikan umum. Karena itu, perizinannya beririsan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Ke depan kita pengin memastikan pemetaan, mana yang pesantren, mana yang boarding school. Kalau pesantren itu kan ada 5 rukunnya ya. Harus ada kiainya, harus ada santri yang mukimnya, harus ada asramanya, ada pondoknya kemudian ada pengajian kitab kuning atau dirasah Islamiyah. Kemudian yang kelima ada masjidnya,” terang Zayadi.
ADVERTISEMENT
Simak cerita selengkapnya di topik Maut di Pondok Santri