Menakar Untung-Rugi Operasi Militer AS ke Venezuela

2 Maret 2019 9:52 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tentara Amerika Serikat sedang melakukan latihan. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Amerika Serikat sedang melakukan latihan. Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Berpidato di Florida International University, Miami, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberi pesan tegas kepada militer Venezuela. Dia meminta mereka tak lagi menyokong Rezim Nicolas Maduro.
ADVERTISEMENT
"Jika kalian memilih jalan ini, kalian tidak akan menemukan tempat perlindungan yang aman, jalan keluar yang mudah. Kalian akan kehilangan segalanya,” katanya, Selasa (19/2), seperti dilansir Guardian.
Krisis politik tengah melanda Venezuela, imbas ambruknya ekonomi salah satu negara penghasil minyak dunia itu. International Monetary Funds (IMF) memprediksi inflasi Venezuela tahun ini mencapai 10 juta persen. Rakyat yang tak puas dengan himpitan ekonomi turun ke jalan, mendesak Maduro mundur.
Di tengah kemelut politik itu, Presiden Majelis Nasional atau pimpinan legislatif Venezuela, Juan Guaido menyatakan diri sebagai pemangku jabatan presiden pada 23 Januari 2019. Deklarasi itu hanya berselang dua pekan setelah Nicolas Maduro dilantik sebagai presiden untuk periode kedua. Ia kembali terpilih melalui pemilu yang dituding diwarnai kecurangan. Amerika Serikat telah menyatakan dukungan kepada Guaido.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, krisis kemanusiaan di Venezuela terus memburuk. Penduduk kelaparan karena kekurangan bahan pangan akibat tingginya inflasi. Pemerintahan Maduro malah mengambil kebijakan tak populis dengan memblokade bantuan dari dunia internasional. Berton-ton bantuan dari Amerika menumpuk di Kolombia, Brasil, Miami dan Curaçao.
Donald Trump. Foto: REUTERS/Jonathan Ernst
"Ia (Maduro) lebih suka melihat rakyatnya kelaparan daripada memberi mereka bantuan,” kata Trump. Di sela pidatonya, Trump menyelipkan ancaman. “Kami mencari transisi kekuasaan yang damai, meski semua opsi terbuka.”
Pernyataan itu memanaskan kembali peluang penggunaan kekuatan militer AS untuk menjatuhkan Maduro. Pada Agustus 2017, Trump juga menggaungkan wacana serupa. Dia mengingatkan, Venezuela masih masuk dalam jangkauan tentara AS.
“Kami punya banyak opsi untuk Venezuela, termasuk kemungkin opsi militer jika dibutuhkan,” katanya dilansir NBC. Spekulasi rencana invasi Amerika ke negara bermata uang Bolivar itu sempat menguat, ketika Penasehat Militer Nasional AS John Bolton menunjukan tulisan di notepad yang dipegangnya kepada awak media. Dilansir USA Today, di notepad Bolton tertulis, “5.000 tentara ke Kolombia.” Kolombia berbatasan langsung dengan Venezuela.
ADVERTISEMENT
Beredar pula kabar, AS diam-diam mengirim pasukan khusus ke berbagai wilayah strategis dekat Venezuela. Mobilisasi ini diungkap pemerintah Kuba, yang setia mendukung pemerintahan Maduro.
"Antara 6 dan 10 Februari pesawat transportasi militer terbang ke Bandara Rafael Miranda di Puerto Rico, pangkalan udara San Isidro di Republik Dominika, dan ke lokasi strategis lainnya di kepulauan Karibia, kemungkinan tanpa sepengetahuan pemerintah negara-negara itu," ujar pemerintah Kuba dikutip dari Reuters (14/2/2019).
Kuba menuduh, pesawat-pesawat itu berasal dari instalasi militer AS. Pernyataan Kuba segera dibantah AS, melalui utusan khusus untuk Venezuela, Elliot Abrams. Menurutnya, tuduhan Kuba adalah ‘sebuah kebohongan baru’.
Yang jelas, opsi militer AS menginvasi Venezuela memantik perdebatan di dalam negeri. Purnawirawan Jenderal Angkatan Udara AS Douglas Fraser, yang memimpin Komando Wilayah Selatan di Departemen Pertahanan AS, skeptis dengan wacana tersebut.
ADVERTISEMENT
Hitung-hitungannya: aksi militer untuk menggulingkan Maduro bakal menghadapi resistensi dari militer Venezuela yang masih loyal. Dilansir laman Global Fire Power, Venezuela kini punya sekitar 123 ribu personel tentara aktif.
Ilustrasi tentara Venezuela. Foto: AFP/JUAN BARRETO
Menurut Fraser, bila keputusan invasi diambil, militer AS akan dipaksa tinggal lebih lama di Venezuela untuk menstabilkan negara tersebut. Hal itu berpotensi menimbulkan perang tanpa henti, sebagaimana yang dialami militer AS di Afghanistan.
"Saya tidak melihat adanya manfaat dari keterlibatan militer secara langsung,” ujar Fraser kepada Vox.
Invasi AS juga tak lantas akan memperbaiki kondisi Venezuela. Bukan tak mungkin, perang justru memperburuk situasi. Kekhawatiran itu diungkapkan pemerhati isu-isu keamanan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Rizki Ananda Ramadhan.
“Yang pasti akan masuk dalam kondisi ketidakpastian, karena kalau diinvasi, posisi kepemimpinan ada di siapa?” kata Dosen Program Studi Hubungan Internasional Unpad itu saat dihubungi kumparan, Kamis (21/2).
ADVERTISEMENT
Tak cuma urusan pemerintahan. Invasi AS ke Venezuela, menurutnya, juga bisa berimbas kepada instabilitas politik dan ekonomi, yang pada akhirnya memperburuk krisis kemanusiaan. “Ketidakstabilan ini yang saya lebih khawatir. Pasalnya begini, orang belum diinvasi saja sekarang sudah berat, kan, kehidupan ekonominya, apalagi ketika diinvasi,” papar Rizki.
Tanpa perang pun, kondisi Venezuela memang memprihatinkan. UNHCR memperkirakan, ada sekitar 2,4 juta pengungsi dan imigran dari Venezuela ke negara lain. Data itu berdasarkan estimasi per September 2018. Di sisi lain, Rizki menduga isu gelombang pengungsi akan digunakan AS untuk menjustifikasi invasi ke Venezuela.
PBB terhadap Krisis di Venezuela. Warga Venezuela menerima makanan dari volunter. Foto: CRIS BOURONCLE / AFP
“Nah, kalau invasi itu (tetap) dilakukan saya yakin itu patut dipertanyakan, (sebab) di balik itu semua pasti ada sesuatu yang lebih besar bagi Amerika Serikat. Dia akan selalu bilang bahwa (invasi) ini adalah kepedulian komunitas internasional terhadap Venezuela, cuma ya saya tidak yakin (tujuan) di balik itu semua. Yang mungkin sekali (tujuannya) adalah penguasaan minyak,” ujar Rizki.
ADVERTISEMENT
Rizki tak sendiri ketika menyinggung soal adanya intensi AS menguasai minyak Venezuela. Mantan Pelaksana Tugas Direktur FBI Andrew G. McCabe, pernah mengungkap dalam bukunya berjudul The Threat (2019) kalau Trump memang memiliki rencana itu. McCabe mendapat info ini dari anak buahnya yang ikut dalam rapat bersama Trump pada Juli 2017 lalu.
Dalam rapat tersebut, Trump sempat menyinggung Venezuela. Sebagaimana ditulis dalam buku McCabe, Trump berkata, “Negara itu adalah negara yang kita harus perangi. Negara itu punya minyak yang melimpah dan terletak di dekat kita.”
Kalau betul itu yang dikatakan Trump, kabar minyak melimpah di Venezuela memang benar adanya. Menurut data OPEC, Venezuela menempati peringkat pertama negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Negara tersebut menyumbang 24,9 persen cadangan minyak dunia sebesar 302,81 miliar barel per tahun 2017, lebih tinggi dibanding Arab Saudi yang hanya 21,9 persen (266,26 miliar barel).
ADVERTISEMENT
Bila invasi terjadi, situasi politik di Venezuela setelahnya juga bisa menyebabkan kebingungan di komunitas internasional. Persoalannya terletak seputar masalah pengakuan terhadap pemerintahan resmi.
“Pemerintahannya ada di siapa? Andai kata di oposisi pun, apakah itu legitimate? PBB sendiri itu nanti mengakui siapa? Posisi perwakilan tetap di PBB atau organisasi lainnya, apakah mereka mengakui (pemerintahan baru)?” tanya Rizki.
Presiden tandingan Venezuela Juan Guaido dan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Foto: REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
Ia berpendapat, AS seharusnya tidak ikut campur di Venezuela. “Diamkan saja. Ini kan urusan domestik, kedaulatan negara lain gitu. Dia (AS) tidak berhak ikut campur. Kalau dasar kepentingan strategisnya itu untuk minyak atau pengaruh geopolitik, ya, itu lain soal,” ujarnya.
Yang jelas, Maduro tak akan tinggal diam bila militer AS masuk ke negaranya. Dalam sebuah siaran televisi, ia menyebut gaya bicara Trump mirip dengan NAZI—partai fasis Jerman pimpinan Adolf Hitler yang runtuh usai Perang Dunia II. Ia mengecam peringatan Trump kepada barisan militer loyalisnya. “Mereka (AS) pikir, merekalah pemilik negara ini.”
ADVERTISEMENT