Menatap Dinamika Politik Global 2018

30 Desember 2017 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kekuatan Para Penguasa di Masa Depan (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kekuatan Para Penguasa di Masa Depan (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Tahun 2018 segera dimulai. Pada 2017, kita telah menyaksikan betapa dinamisnya kancah perpolitikan internasional. Mulai dari kebijakan-kebijakan kontroversial Presiden AS Donald Trump, perseteruan Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, ambisi global China, hingga situasi di Timur Tengah yang terus bergejolak.
ADVERTISEMENT
Di era globalisasi modal dan informasi ini, kita tidak akan mungkin menafikkan efek dari berbagai peristiwa internasional. Misalnya, apa yang Trump lakukan di Amerika sedikit banyak akan berpengaruh pada hari-hari yang kita jalani di Indonesia. Begitu pun dengan ambisi global China; cepat atau lambat, visi era baru China yang diusung oleh Xi Jinping segera berdampak pada kehidupan kita. Dengan begitu, membahas prediksi tentang politik internasional pada 2018 nanti merupakan suatu hal yang relevan.
Tetap Bergejolak
Tidak dapat diingkari, peristiwa yang berlangsung di Timur-Tengah jelas akan berpengaruh pada banyak hal--tak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Dengan demikian, situasi geopolitik Timur-Tengah pada 2018 nanti patut diperhatikan.
Menurut pakar Timur-Tengah dari Binus University Tia Mariatul Kibtiah, Timur-Tengah tidak akan pernah “tidur”. Itu artinya, kawasan Timur-Tengah akan terus bergejolak oleh konflik; ketika satu konflik mulai mereda, lantas akan muncul konflik baru. Terlebih, Donald Trump akan terus mengungkit isu seputar Islam dan Timur-Tengah selama posisi politik domestiknya masih tidak stabil.
ADVERTISEMENT
Pada 2018, setidaknya ada beberapa isu di Timur Tengah yang rasanya penting untuk diperhatikan, seperti isu Yerusalem, Reformasi Saudi, Krisis Kemanusiaan di Yaman, dan Konflik Suriah.
Bentrokan warga Palestina dan petugas Israel (Foto: AP Photo/Nasser Shiyoukhi)
zoom-in-whitePerbesar
Bentrokan warga Palestina dan petugas Israel (Foto: AP Photo/Nasser Shiyoukhi)
Mengenai isu Yerusalem, Tia berpendapat Amerika, di bawah kepemimpinan Trump, akan tetap memaksakan kehendak untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan tetap bersikeras memindahkan kedutaan mereka ke kota itu.
Begitu pula dengan Israel yang akan terus berupaya menguasai Yerusalem Timur. Tindakan sewenang-wenang Trump dan Israel tentu akan memicu reaksi keras, baik dari rakyat Palestina maupun komunitas internasional.
Persoalannya, perlawanan rakyat Palestina justru akan digunakan Israel sebagai dalih penerapan cara-cara kekerasan untuk meredam gelombang perlawanan tersebut. Menurutnya, apabila Hamas menembakkan roket ke wilayah Israel, maka aksi itu akan dijadikan dalih oleh Israel untuk merepresi gelombang perlawanan rakyat Palestina. Dengan adanya dalih dalam menggunakan upaya-upaya kekerasan, Israel jelas akan lebih mudah mengokupasi Yerusalem.
ADVERTISEMENT
Sehingga, Tia lebih lanjut menekankan perlunya upaya-upaya soft diplomacy dari semua pihak, terutama dari negara-negara kuat di Timur-Tengah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk mencegah sikap semena-mena Amerika dan Israel.
Di sisi lain, kebijakan Trump tentang Yerusalem ini berpotensi memperkuat gerakan terorisme global. Ketika kekuatan ISIL sedang menurun, keputusan Trump atas Yerusalem ini bisa memicu kembali penguatan gerakan terorisme, disertai penguatan narasi anti Amerika dan sekutu-sekutunya.
Anak-anak menderita malnutrisi di Yaman (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak menderita malnutrisi di Yaman (Foto: Reuters)
Selain Yerusalem, isu lain yang sesungguhnya perlu mendapatkan perhatian lebih adalah isu mengenai krisis kemanusiaan di Yaman. Seperti halnya Suriah, Yaman hingga kini masih menjadi arena pertempuran proxy antara pejuang Houthi yang didukung Iran, melawan faksi koalisi yang didukung oleh Saudi.
Menurut Tia, krisis Yaman masih akan berlangsung tahun depan, terutama selama pejuang Houthi yang didukung Iran terus berupaya menggulingkan pemerintahan yang didukung Saudi.
ADVERTISEMENT
“Arab Saudi sangat ketakutan terhadap segala hal yang berkaitan dengan ancaman pada negaranya, terutama ancaman terhadap Dinasti Saud," ujar Tia, Kamis, (28/12).
Secara umum, perseteruan Iran dan Saudi di 2018 masih akan terus berlanjut. Saudi masih akan tetap melihat Iran sebagai ancaman utama bagi kepentingan mereka di Timur-Tengah, baik dalam kepentingan politik maupun ekonomi.
Secara ekonomi, Saudi melihat Iran sebagai kompetitor utama mereka sebagai produsen minyak. Sementara dalam koridor politik, Saudi sangat terancam oleh demokrasi ala Iran yang bisa saja mengancam kekuasaan Dinasti Saud.
“Saudi tetap melihat Iran sebagai ancaman di Timur-Tengah dalam segala hal, baik ekonomi, yaitu sama-sama produsen minyak terbesar, atau pun secara politik. Saudi khawatir demokrasi ala Iran akan mewabah di Timur-Tengah sehingga mengancam sistem monarki absolutnya Saudi”, ujar Tia.
Pangeran Mohammed bin Salman. (Foto: Reuters/Charles Platiau)
zoom-in-whitePerbesar
Pangeran Mohammed bin Salman. (Foto: Reuters/Charles Platiau)
Sama dengan apa yang diungkapkan oleh Tia, peneliti Habibie Center Muhammad Arif juga memproyeksikan isu di kawasan Timur-Tengah masih akan dipengaruhi oleh rivalitas antara Iran dan Saudi pada 2018 mendatang.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, jika di tahun ini negara-negara Timur Tengah cenderung dipersatukan oleh persoalan ISIS, maka secara geopolitik, 2018 akan diwarnai dengan rivalitas antara Saudi dan Iran. Rivalitas antara dua kekuatan itu akan dipertemukan di Yaman. Itu artinya, tanpa adanya perhatian dunia internasional, krisis kemanusiaan di Yaman masih akan terus berlangsung.
Sementara di tahun mendatang, usaha reformasi di Arab Saudi yang dilakukan oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman masih akan terus berlanjut. Pangeran Mohammed bin Salman tampaknya akan terus berupaya menarik investor untuk berinvestasi di Saudi dalam rangka mewujudkan visi ekonomi mereka di 2030 nanti.
Terkait isu ini, Tia berpendapat Pangeran Mohammed akan terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan reformis untuk menghilangkan aspek-aspek yang menghambat restrukturisasi ekonomi di Saudi.
ADVERTISEMENT
“Mohammed bin Salman akan terus melakukan reformasi yang kira-kira akan menghilangkan hal-hal yang menghambat perbaikan ekonomi Saudi. Diversifikasi akan terus dilakukan Saudi. Tapi Saudi tidak akan berubah menjadi negara demokrasi. Saudi menjadi negara demokratis, sama saja dengan membunuh Bani Saud. Hanya saja, Mohammad bin Salman ini akan berbeda dengan raja-raja sebelumnya. Dia akan terus berupaya menarik investor luar untuk berinvestasi. Pangeran ini juga tidak akan bergantung lagi pada minyak dalam mengembangkan perekonomian negaranya," jelasnya
Menanti Manuver Cina
Isu lain yang penting diperhatikan di 2018 nanti adalah soal politik luar negeri Cina. Seperti yang telah diberitakan pada November 2017 lalu, Xi Jinping berhasil memperkuat posisi politiknya. Xi Jinping bahkan telah dianggap oleh mantan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd sebagai pemimpin terkuat sejak masa kepemimpinan Mao Zedong. Dengan demikian, rasanya perlu untuk melihat bagaimana XI Jinping merefleksikan kekuatan politiknya ke dalam kebijakan politik luar negeri di tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Akademisi Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Yeremia Lalisang, mengemukakan proyeksi tentang kebijakan politik luar negeri Cina pada 2018 mendatang. Setidaknya ada beberapa isu yang perlu diperhatikan, seperti hubungan bilateral Cina dan AS, isu Korea Utara, sengketa Laut Cina Selatan, sampai proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative).
Menurut Yeremia, kebijakan luar negeri Cina di tahun 2018 secara garis besar akan banyak berpusar pada upaya Xi Jinping membentuk kondisi regional yang kondusif untuk menunjang kekuasaannya.
Presiden China Xi Jinping (Foto: REUTERS/Aly Song)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden China Xi Jinping (Foto: REUTERS/Aly Song)
“Kebijakan luar negeri Cina pada tahun mendatang akan terfokus pada usaha-usaha membentuk lingkungan regional yang mendukung usaha konsolidasi rezim berkuasa”, ungkapnya.
Fokus kebijakan luar negeri Xi Jinping dan Li Keqiang pada tahun mendatang, menurutnya, akan berfokus pada persoalan ekonomi, terutama soal kebijakan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). Dalam hal ini, Inisiatif Sabuk dan Jalan menjadi proyek yang relevan untuk menunjang konsolidasi kekuasaan Xi Jinping.
ADVERTISEMENT
”Xi Jinping dan Li Keqiang tampaknya berusaha menjadikan ekonomi sebagai fondasi legitimasi politik dalam negeri dan fondasi kebijakan luar negeri demi mengantarkan Cina untuk menjadi salah satu kekuatan besar yang diakui oleh dunia. Penting bagi para pemimpin Cina meninggalkan suatu legacy. Dalam hal ini, Inisiatif Sabuk dan Jalan nampak akan terus dipacu agar menjadi peninggalan berharga Xi bagi usaha Cina menjadi bangsa yang besar,"
Donald Trump di Forbidden City, China (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump di Forbidden City, China (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
Terkait hubungan antara Cina dan AS pada 2018 nanti, setidaknya ada dua isu penting yang berpotensi mempertemukan kedua kekuatan besar itu, yakni isu Korea Utara dan sengketa Laut Cina Selatan.
Mengenai isu Laut Cina Selatan, Yeremia menjelaskan dua hal penting yang perlu menjadi perhatian khusus. Pertama, soal dinamika politik dalam negeri di negara-negara Asia Tenggara yang terlibat dalam sengketa tersebut. Kedua, soal kebijakan Cina atas klaim mereka dalam sengketa tersebut.
ADVERTISEMENT
“Perhitungan ekskalasi konflik harus juga memperhitungkan langkah-langkah yang diambil negara-negara Asia Tenggara. Dalam hal ini, dinamika politik di Filipina, Vietnam, dan Malaysia, terutama akan juga menentukan potensi ekskalasi konflik di Laut Cina Selatan. Beberapa pertanyaan dapat diajukan: seberapa aman posisi UMNO dalam pemilu yang mendekat di Malaysia? Seberapa stabil legitimasi politik rezim Duterte; seberapa jauh Duterte akan mengeksploitasi hubungan Filipina-Cina untuk kepentingan-kepentingan politik dalam negerinya, ditengah hubungan tradisional dengan AS yang tidak bisa dinafikan begitu saja? Seberapa jauh interaksi hubungan ekonomi Vietnam-Cina berkontribusi positif pada stabilitas rejim di Hanoi? Dan perhitungan yang tidak kalah penting untuk memprediksi dinamika di Laut Cina Selatan adalah "harga" isu sengketa tersebut bagi dinamika pertarungan kekuasaan di Indonesia jelang pemilu 2019,” ujar Yeremia
ADVERTISEMENT
Sementara dari sisi Cina, menurutnya, Cina tetap perlu memperjelas klaim mereka atas Laut Cina Selatan. Tanpa kejelasan klaim, tentu sulit bagi negara-negara lain yang bersengketa untuk memahami intensi Cina.
“Cina tetap perlu untuk memperjelas klaimnya atas Laut Cina Selatan. Ketidakjelasan klaim China tidak dapat dinafikan telah menjadi sumber ketidakpastian utama bagi negara-negara di kawasan dalam membaca intensi China. Cina perlu memberikan pesan-pesan yang lebih mudah dibaca kepada negara-negara di kawasan terkait motivasinya dalam melaksanakan kebijakan luar negeri. Cina perlu mengambil langkah-langkah serius dan signifikan dalam mendukung usaha-usaha yang konstruktif dalam mencegah ekskalasi konflik di Laut Cina Selatan,” jelas Yeremia.
Tentara China di halaman Tiananmen (Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara China di halaman Tiananmen (Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon)
Selain isu mengenai sengketa Laut Cina Selatan, Cina juga punya kepentingan yang relatif besar terkait isu Korea Utara. Di sini, kepentingan Cina berhadapan langsung dengan kepentingan Amerika Serikat. Di sepanjang 2017, telah terjadi beberapa kali ketegangan antara Amerika dan Korea Utara. Beragam retorika Donald Trump, baik di Twitter maupun di sidang umum PBB, tampaknya justru semakin memanaskan suasana.
ADVERTISEMENT
Terkait peran Cina dalam ketegangan Amerika-Korea Utara, Yeremia memandang ini hanya salah satu bagian dari banyak lapisan yang menyangkut hubungan Amerika dan Cina. Namun, apabila skenario terburuk terjadi di tahun mendatang, kemungkinan besar hal itu lebih disebabkan oleh gejolak yang terjadi di Washington ketimbang Beijing. Tampaknya, Cina cenderung menghindari konflik terbuka dengan Amerika.
“Rasanya, jika ada turbulensi dalam hubungan keduanya, sumbernya akan muncul dari gejolak di Washington, ketimbang di Beijing. Cina memiliki banyak kesibukan (baca: kepentingan) di kawasan Asia Tenggara. Cina berusaha menjaga hubungan dengan Amerika sedemikan rupa untuk mengurangi penambahan agenda yang perlu diurus," jelas Yeremia.
Parade misil Korea Utara di Pyongyang (Foto: KCNA via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Parade misil Korea Utara di Pyongyang (Foto: KCNA via Reuters)
Sementara itu, peneliti Hubungan Internasional Habibie Center, Muhammad Arif, juga mengungkapkan proyeksinya tentang kebijakan luar negeri Cina dan juga skenario pertemuan dua kekuatan besar dunia; Amerika dan Cina, terkait isu Korea Utara dan sengketa Laut Cina Selatan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, setelah konsolidasi kekuasaan politik dalam negeri Xi Jinping pada Kongres Partai Komunis Cina ke-19 tahun lalu berjalan dengan baik, proyeksi kebijakan luar negeri Cina kemungkinan menjadi lebih efektif. Hal itu ditunjukkan dengan narasi tentang Cina sebagai kekuatan besar dunia. Dalam soal ini, isu Laut Cina Selatan bisa menjadi salah satu bentuk pengejawantahan narasi tersebut.
Sedangkan mengenai skenario pertemuan kedua kekuatan besar di Laut Cina Selatan, dirinya menambahkan bahwa: sesuai dengan kebijakan America First di era Trump, sejauh ini Amerika tampak tidak terlalu antusias untuk terlibat dalam sengketa terkait Laut China Selatan.
Namun, apabila dikaitkan dengan isu nuklir Korea Utara, Amerika bisa saja berkompromi dengan Cina. Menurutnya, apabila AS menyadari pentingya keterlibatan Cina dalam penyelesaian isu Korea Utara, maka bisa saja Amerika berkompromi dengan Cina.
ADVERTISEMENT
Skenario terburuk dalam persoalan ini adalah ketika Amerika meminta Cina untuk menekan Korea Utara secara diplomatik. Dan sebagai gantinya, Amerika tidak akan ikut campur dalam sengketa Laut Cina Selatan. Menurutnya, tanpa perlindungan Amerika, negara-negara di Asia Tenggara relatif tidak akan bisa membendung kekuatan militer Cina.
Berbagai proyeksi di atas, boleh jadi hanya sebagian kecil dari peristiwa internasional yang akan terjadi di tahun 2018 mendatang. Selain isu-isu yang telah diulas di atas, rasanya masih banyak isu lain yang sebetulnya perlu diperhatikan di tahun depan, seperti tentang tren penguatan populisme sayap kanan di Eropa, penguatan sentimen xenophobic dan fundamentalisme agama di berbagai penjuru dunia, sampai krisis ekonomi di Venezuela.