Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mengenal 3 Vonis Hukuman Mati Saudi, Tuti Dijerat yang Terberat
1 November 2018 11:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hukum Syariah Islam yang diterapkan Arab Saudi, ada tiga jenis vonis hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan, yaitu takzir, kisas, dan had ghilah. Ketiga jenis ini memiliki perlakuan berbeda, terberat adalah had ghilah yang dijatuhkan terhadap Tuti Tursilawati yang dieksekusi mati Senin (29/10).
ADVERTISEMENT
Berikut penjelasan ketiga vonis tersebut dan upaya penyelamatan oleh pemerintah, berdasarkan wawancara kumparan dengan Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, Kamis (1/11):
1. Takzir
Iqbal mengatakan takzir adalah hukuman mati akibat pembunuhan yang bisa dimaafkan oleh Raja Salman bin Abdulaziz. Pembunuhan dalam kasus ini terjadi akibat ketidaksengajaan, misalnya pembunuhan dalam kecelakaan lalu lintas atau perkelahian.
Menurut Iqbal, pemerintah Indonesia dalam kasus ini melakukan upaya pembelaan dengan mengedepankan kekuatan diplomasi. Pemerintah Indonesia atau bahkan presiden akan melakukan pendekatan ke pejabat atau Raja Saudi.
"Ukurannya adalah kemampuan diplomasi, Raja punya kekuatan untuk mengatakan bebas. Presiden bisa membawa masalah ini ke pembicaraan bilateral," kata Iqbal.
"Hasilnya, 100 persen WNI dengan hukuman mati takzir berhasil kita bebaskan," lanjut Iqbal lagi.
2. Kisas
ADVERTISEMENT
Kisas adalah hukuman mati akibat pembunuhan yang tidak terencana. Iqbal mengatakan, vonis kisas bisa dibatalkan setelah tervonis mendapat pengampunan ahli waris korban atau membayar sejumlah diyat (uang darah) yang dimintakan, atau keduanya.
Jika tidak mendapatkan pengampunan ahli waris korban, maka eksekusi mati harus tetap dilakukan. Raja Saudi tidak punya kekuatan apa pun untuk membatalkan vonis mati ini.
Upaya diplomasi yang dilakukan RI dalam kasus kisas adalah membujuk pemaafan diberikan ahli waris. RI akan meminta bantuan mediasi melalui lembaga pemaafan yang isinya adalah ulama dan tokoh kabilah ahli waris. Tapi tetap saja keputusan akhir ada di tangan ahli waris.
"Hal ini tergantung dari suasana hati ahli waris. Ada yang sangat dendam kepada pelaku sehingga dari awal sudah memutuskan menghukum mati," tutur Iqbal.
ADVERTISEMENT
Kasus kisas dialami oleh Siti Zaenab, TKW asal Bangkalan yang dieksekusi mati pada 2015 karena membunuh wanita tua, Nourah binti Abdullah Duhem Al Maruba. Keluarga korban tolak mengampuni Siti Zaenab dan eksekusi mati tetap dilakukan.
Kisas bisa dibatalkan dengan membayar diyat dengan nilai yang ditentukan oleh ahli waris. Hal ini ditemukan dalam kasus pembunuhan majikan oleh Darsem pada 2011 lalu. TKW 25 tahun asal Subang itu lolos dari hukum pancung setelah pemerintah membayar diyat sebesar 2 juta riyal Saudi atau lebih dari Rp 4,7 miliar.
Pengampunan secara cuma-cuma dari ahli waris, pembebasan penuh tanpa syarat juga pernah terjadi dalam kasus kisas. Salah satunya dalam kasus pembunuhan seorang pria oleh lima WNI asal Banjarmasin di Jeddah pada 2006. Kelimanya bebas dengan pemaafan pada 2016.
ADVERTISEMENT
"Tiga generasi diplomat terus berusaha merayu hati keluarga. Akhirnya saat sidang terakhir di Makkah, ibu korban memaafkan tanpa meminta diyat," ujar Iqbal soal kasus "lima Banjarmasin".
3. Had Ghilah
Had ghilah adalah vonis hukuman mati paling berat dalam hukum pidana Islam. Iqbal mengatakan, had ghilah adalah vonis mati untuk pembunuhan berencana. Tidak ada yang bisa mengubah vonis ini, baik ahli waris maupun Raja Saudi.
"Paling berat adalah had ghilah, pembunuhan terencana. Dalam hal ini, sesuai dalil Al-Quran dan hadits, tidak ada yang bisa memaafkan kecuali Allah," kata Iqbal.
"Tidak ada lagi diplomasi, murni proses hukum. Tidak ada peluang pemaafan, sepenuhnya diputuskan oleh hakim," lanjut Iqbal lagi.
"Hal yang memberatkan Tuti, pertama adalah karena korban menjadi tanggung jawab dia, seharusnya dia lindungi. Kedua, Tuti memukul dari belakang, bukan dari depan," kata Iqbal.
ADVERTISEMENT
"Setelah Tuti memukul, dia lantas memukul korban lagi. Ini semakin menguatkan niatnya untuk membunuh. Berbeda jika dia memukul hanya sekali lalu pergi, itu niatnya hanya melukai," lanjut Iqbal.
Iqbal mengatakan, upaya diplomasi tetap diambil dalam kasus Tuti yaitu dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) yang bisa dipengaruhi oleh Raja Saudi. Pada 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan permohonan PK ini kepada Raja Salman dan dipenuhi, padahal kasus sudah inkracht.
"Akhirnya diputuskan Mahkamah Agung atas perintah Raja untuk pemeriksaan ulang. Seluruh hakimnya diganti, ini adalah proses diplomasi. Tapi hakim (yang baru) memutuskan hal yang sama," kata Iqbal.