Mengenal Anjani Sekar Arum dan Usaha Pelestarian Batik Bantengan

14 Mei 2019 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Anjani Sekar Arum, penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2017 di bidang Kewirausahaan. Foto: Maharani Sagita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
com-Anjani Sekar Arum, penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2017 di bidang Kewirausahaan. Foto: Maharani Sagita/kumparan
ADVERTISEMENT
Membawa Bantengan Pulang
Masyarakat lereng pegunungan Jawa Timur (Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi, dan Raung-Argopuro) sejak masa Kerajaan Singasari memiliki seni budaya yang erat kaitannya dengan Pencak Silat. Namanya Bantengan. Di Batu, Bantengan berkembang di wilayah yang sekarang menjadi Desa Bumiaji.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini Bantengan terus hidup di Batu. Budaya ini terjaga dengan baik. Salah satu yang dengan giat menghidupkan Bantengan adalah Agus Tubrun, pendiri kelompok budaya Bantengan Nuswantara dan ayah dari Anjani Sekar Arum.
Seperti Agus, Anjani memiliki komitmen yang kuat terhadap pelestarian Bantengan. Caranya berbeda, namun semangatnya sama. Anjani, saat menjadi mahasiswa Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang, selalu memasukkan unsur budaya Bantengan dalam setiap tugas kuliahnya. Dosen-dosennya sampai memanggilnya dengan nama ‘Anjani Bantengan’ karena itu.
“Bantengan itu asalnya dari leluhur, harus kita lestarikan,” ujar Anjani. “Jangan sampai diambil alih. Apalagi kita pelestari budaya. Akhirnya melihat keunikan kesenian tersebut, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Bukan dalam hal komersil, tapi dijadikan ciri khas daerah.”
com-Sebelum Bantengan, Batu tidak memiliki motif batik khas. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tak heran jika selepas kuliah, Anjani memilih untuk fokus mengembangkan batik dengan motif Bantengan. Sejak 2014 dia memiliki sanggar dan galeri yang terletak tidak jauh dari Alun-alun Kota Batu. Sanggar dan galerinya terus berkembang sehingga Anjani membutuhkan tempat yang lebih layak. Maka sejak 2018 dimulailah proses pemindahan sanggar dan galeri Anjani ke tempatnya saat ini, di Desa Bumiaji. Lewat kepindahan itu, Anjani seolah membawa Bantengan pulang.
ADVERTISEMENT
Keputusan Anjani Sekar Arum memindahkan Sanggar Batik Tulis Andhaka dari pusat kota ke sebuah desa di kaki gunung pun baik untuk kedua belah pihak. Anjani, sanggar, dan galeri batiknya adalah apa yang selama ini kurang dari Desa Bumiaji; sementara itu Desa Bumiaji, sebagai desa wisata, memiliki semua hal yang dibutuhkan oleh seniman batik seperti Anjani.
Desa Bumiaji sejak dulu terkenal dengan hasil buminya. Apel Malang yang tersohor ke seluruh Indonesia ditanam dan dipanen di Bumiaji. Kebun bunga pun mudah ditemui di desa ini. Perkebunan, beserta objek wisata alam seperti mata air dan daerah perbatasan antara desa dan hutan di kaki Gunung Arjuno, menjadikan Bumiaji desa wisata dengan 21 titik wisata — terbanyak di Malang. Meski begitu, objek wisata kesenian tak dimiliki Bumiaji.
ADVERTISEMENT
Karenanya, kehadiran Anjani melengkapi Bumiaji. Terlebih lagi karena objek wisata hortikultura, terutama perkebunan apel, tak lagi bisa menjadi andalan Bumiaji. Sebelas tahun lalu bibit apel Bumiaji rusak. Para petaninya bangkrut. Wisata petik apel tak ada lagi. Bumiaji harus menawarkan wisata baru. Anjani, dengan sanggar dan galerinya, membawa kebaruan itu.
Lahirnya Batik Khas Batu
Anjani Sekar Arum tumbuh di keluarga seniman. Selain pegiat seni budaya Bantengan, ayahnya seorang pelukis. Pun begitu dengan pamannya. Nenek Anjani seorang penari. Canggah-nya (orang tua dari buyut) seorang pembatik namun keahlian tersebut tidak diturunkan.
Praktis Anjani tak punya seseorang yang bisa mengajarinya membatik di rumah. Di kampus pun tak ada. Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang tak memiliki dosen batik. Namun pemikirannya sudah bulat: Bantengan harus menjadi motif batik.
ADVERTISEMENT
Maka berangkatlah Anjani ke Yogyakarta dan Solo untuk mempelajari teknik pewarnaan batik. Selama satu bulan Anjani dan beberapa rekan kuliahnya tinggal berpindah-pindah di dua kota itu. Perjalanan pulang pergi Batu-Yogyakarta dan Batu-Solo pun masih Anjani jalani setelahnya.
Kerja kerasnya belajar membatik tidak sia-sia. Skripsinya — yang membahas batik — dan batik-batik yang dia buat semasa kuliah dinilai tinggi oleh almamaternya. Anjani pun ditawari beasiswa S2 dan posisi dosen. Tawaran tersebut ditolaknya.
com-Anjani Sekar Arum membangun sanggar dan galeri batiknya di Desa Bumiaji, desa wisata terbesar di Batu. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tawaran beasiswa dari UNM itu datang saat Anjani sedang gigih-gigihnya mengejar impian menggelar pameran tunggal. Kawan-kawan seangkatannya sudah, sementara Anjani belum berhasil menggelar pameran. Dan pameran tunggal, bagi Anjani, tak bisa ditawar. Sebagai alumnus jurusan Seni dan Desain ini merasa bahwa menggelar pameran tunggal adalah wajib — semacam rite de passage yang harus dia jalani untuk benar-benar menjadi seniman, bukan lagi mahasiswa seni.
ADVERTISEMENT
Pada 2014, tercapailah cita-cita Anjani. Dengan 54 lembar batik yang dia buat sejak menjadi mahasiswa pada 2008, Anjani menggelar pameran tunggal di Galeri Raos, Batu. Pameran tersebut berjalan sukses. Karya-karyanya dihargai tinggi dan habis terjual. Lebih dari itu, Dewanti Rumpoko (istri Walikota Batu periode 2007-2017, Eddy Rumpoko) mengangkat Batik Bantengan menjadi batik khas Batu. Anjani merasa tertantang untuk mengembangkan Batik Bantengan.
Seniman Gerakan Sosial
Penobatan sebagai batik khas Batu tidak serta merta mengangkat derajat Batik Bantengan. Memasyarakatkan motif baru tidak sesederhana menggelar pameran di dalam dan luar negeri — selain di ajang pameran besar dalam negeri, Batik Bantengan sudah dipamerkan di Ceko, Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Australia, membuat Anjani menyamai keberhasilan Agus Tubrun membawa seni budaya Bantengan ke mancanegara. Alih-alih glamor, perjuangan Batik Bantengan Anjani Sekar Arum berjalan di tingkat akar rumput.
ADVERTISEMENT
“Mempertahankan motif ini, menguatkan motif ini menjadi motif khas Batu, memang susah,” ujar Anjani. “Bertentangan dengan politik, dengan banyak hal. Mau tidak mau kita harus ‘perang’ dengan itu.”
Sejak 2017 Anjani bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Batu untuk memasyarakatkan Batik Bantengan. Simbiosis mutualisme tersebut bekerja seperti ini: Dinas Pendidikan membagikan secara cuma-cuma peralatan membatik — yang harganya tidak murah — kepada sekolah-sekolah berakreditasi A di Kota Batu sementara Anjani menyediakan para pembatik muda di sanggarnya untuk menjadi pengajar ekstrakurikuler membatik di sekolah-sekolah terpilih.
Pengajar-pengajar ini bukan orang dewasa. Seperti anak-anak yang mereka ajari, para pengajar yang berasal dari Sanggar Batik Tulis Andhaka juga anak-anak usia sekolah. Di Sanggarnya, Anjani memang fokus mendidik para pembatik berusia muda. Ada alasan kuat di balik pemilihan anak-anak sebagai pembatik. Salah satunya adalah kekhawatiran Anjani soal matinya Kota Batu sebagai kota wisata. Menurutnya, menurunkan keahlian membatik kepada generasi muda adalah cara melestarikan budaya.
com-Anjani Sekar Arum fokus membimbing pembatik muda di sanggarnya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Tujuan lainnya, tentu saja, menghasilkan keuntungan ekonomi dari batik. Namun keuntungan ekonomi ini bukan untuk Anjani. Yang terangkat derajat ekonominya dari membatik adalah para pembatik muda itu sendiri. Dari setiap batik yang terjual, hanya 10 persen yang masuk ke sanggar. Sisanya menjadi milik para pembatik muda, dan jumlahnya tidak sedikit karena batik Bantengan yang dihasilkan para pembatik muda di Sanggar Batik Tulis Andhaka berharga jutaan. Harga batik yang dihasilkan anak-anak asuh Anjani lebih tinggi daripada harga normal batik.
ADVERTISEMENT
Kecenderungannya, Batik Bantengan karya anak-anak tidak sempurna. Namun justru malah ketidaksempurnaan itu, cerita di balik pembuatan batik itu, yang membuat Batik Bantengan karya anak-anak di Sanggar Batik Tulis Andhaka berharga tinggi.
“Yang kita jual bukan kain batik, melainkan Batik,” ujar Anjani. “Yang kita jual adalah proses.”
com-Sanggar Batik Andhaka adalah tempat para pembatik muda belajar membatik dan berkarya. Foto: Maharani Sagita/kumparan
Usaha Anjani melestarikan budaya sembari di saat yang bersamaan mengangkat derajat ekonomi para pembatik mudanya inilah yang membuatnya menjadi Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards di kategori Kewirausahaan pada tahun 2017.
Program tersebut diinisiasi Astra untuk menjaring anak-anak muda Indonesia yang memiliki kegiatan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya di seluruh Nusantara.
Bahwa Anjani menerima apresiasi di bidang kewirausahaan dengan pendekatan wirausaha yang tidak masuk akal (bagaimana bisa bisnis berjalan dengan 10 persen laba dari setiap karya saja?) mungkin membuat banyak pihak bertanya-tanya, namun buktinya yang ada menunjukkan bahwa hal itu mungkin. Lagipula, Anjani tidak ambil pusing soal laba yang dihasilkan sanggar dan galerinya. Ketika ditanya apakah dirinya seorang pengusaha atau pegiat kegiatan sosial, Anjani lebih memilih disebut sebagai yang kedua; ketika pilihannya kemudian diganti menjadi pegiat kegiatan sosial atau seniman, Anjani menjawab dengan mantap: “Seniman.”
ADVERTISEMENT
“Karena seniman pasti [pegiat kegiatan] sosial,” lanjutnya. “Enggak ada seniman komersil. Sosial tidak harus membantu orang dengan memberi uang. Jangan sampai kita seperti itu, karena akan membuat orang lain manja. Tapi [yang harus dipikirkan adalah] bagaimana kita menyenangkan hati orang, bagaimana membuat orang lain bisa bermanfaat.”
SATU Indonesia Awards kembali digelar pada tahun 2019 ini dan pendaftaran sudah dibuka. Apakah Anda memiliki organisasi yang telah membuat perubahan atau Anda mengenal orang-orang di sekeliling Anda yang telah membuat perubahan bagi lingkungan sekitarnya seperti Triana dan Griya Schizofren? Daftarkan diri Anda atau orang yang Anda kenal untuk penghargaan SATU Indonesia Awards 2019 di sini!