Menguji Argumen Gerindra soal Utang Bisa Diatasi dengan Cetak Uang

18 April 2018 16:49 WIB
Ilustrasi mata uang Indonesia, Rupiah. (Foto: Reuters/Thomas White)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mata uang Indonesia, Rupiah. (Foto: Reuters/Thomas White)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wakil ketua DPR Fadli Zon kedapatan menunggak tagihan listrik Rumah Kreatif miliknya yang berada di kawasan Cimanggis, Depok, hampir Rp 5 juta. Banyak respons bermunculan yang intinya Fadli dianggap tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, Partai Gerindra pasang badan menanggapi banyaknya kritik terhadap Fadli. Dalam akun Twitter resminya, Partai Gerindra mengatakan bahwa Fadli Zon dengan sigap membayar tagihan ketika sudah diingatkan. Selain itu, akun itu pun menyinggung pemerintah yang walaupun sudah diingatkan terkait banyaknya utang tetapi malah tetap berutang.
Cuitan itu lantas ditanggapi oleh warganet, salah satunya datang dari @RHPanjaitan yang mengatakan bahwa negara ekonomi besar seperti RRC, AS, Jepang saja masih berutang.
Namun, cuitan itu kembali ditanggapi oleh akun Gerindra dengan mengatakan bahwa memang benar negara-negara tersebut berutang, namun mereka memiliki kemampuan untuk bayar utang yang tinggi.
kumparan (kumparan.com) coba mencari tahu, apakah benar kemampuan membayar utang Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Nyatanya, hal itu tidak berlaku terhadap Jepang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa rasio utang Jepang lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Pada tahun 2017, rasio utang Indonesia di kisaran 29 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan Jepang memiliki utang 200 persen dari PDB.
ADVERTISEMENT
Kondisi demikian menjadikan setiap orang di Jepang menanggung utang per kapita sebesar USD 93 ribu. Ditambah, pertumbuhan ekonomi Jepang hanya sekitar 1,2 hingga 1,3 persen saja. Rasio utang Jepang bisa tiga kali lipat dari pertumbuhan ekonominya di tahun itu.
"Dan (rata-rata penduduk) Jepang sudah tua masih punya utang. Kalau dibandingkan PDB per kapitanya itu tiga kali lipat, itu yang paling ekstrem, negara yang relatif sama dengan kita, dia memiliki rasio utang yang lebih tinggi dari kita," kata Sri Mulyani di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informasi, Jakarta, Kamis (27/7).
Sedangkan, dikutip dari DJPPR Kementerian Keuangan, rasio utang Indonesia terhadap PDB cenderung masih dalam kondisi aman. Pada tahun 2011 rasio utang Indonesia berada pada besaran 24,4 persen, 2012 berada pada 23 persen, 2013 berada pada 24,9 persen, 2014 berada pada 24,7 persen, 2015 berada pada 27,4 persen, 2016 berada pada 27, 9 persen, dan pada 2017 berada pada 29,2 persen.
ADVERTISEMENT
Angka-angka tersebut terlihat masih berada di bawah batas yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yang mematok rasio utang maksimal sejumlah 60 persen dari PDB. Artinya, rasio utang Indonesia masih bisa dikatakan aman apabila mengacu pada undang-undang tersebut.
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (Foto: ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (Foto: ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto)
Pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di 5 persen.
Dalam BPS, terlihat data pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stabil di angka 5 persen.
Seperti pada tahun 2014 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada 5,02 persen, di 2015 angka pertumbuhannya mencapai 4,79 persen, sedangkan di 2016 berada di 5,02 persen dan pada 2017 angka pertumbuhan ekonomi berada di 5,07 persen.
Selain itu, menurut data dari Bank Dunia pada 2016 total PDB Indonesia tercatat ada pada posisi ke-8 terbesar di Dunia berdasarkan Purchasing Power Parity atau keseimbangan kemampuan berbelanja.
ADVERTISEMENT
Atasi utang dengan cetak uang?
Argumen selanjutnya yang datang dari akun Gerindra adalah "Amerika, jika mereka mengalami defisit, mereka bisa mencetak dolar dan dijual ke seluruh dunia. Ongkos mencetak setiap lembar uang 100 dolar hanya sekitar 2 dolar saja"
Berbeda dengan Amerika, sebuah negara tidak bisa seenaknya mencetak uang karena rawan akan inflasi.
Dilansir Bank Indonesia, dalam konteks pasar, dengan banyaknya jumlah uang yang beredar namun tidak dibarengi dengan ketersediaan barang yang cukup akan menimbulkan kelangkaan yang memicu harga barang naik.
Sehingga tidak akan mengubah kondisi sama-sekali dan hanya akan membuat barang semakin mahal saja. Lama-lama, nilai uang semakin tidak berharga karena jumlahnya yang semakin banyak.
Banyak negara di dunia yang sudah mengalaminya, salah satunya di Zimbabwe. Seperti yang diberitakan oleh media Inggris, Mirror, di Zimbabwe pernah terjadi inflasi tajam di mana harga tiga buah telur saja bisa seharga 100 miliar dolar Zimbabwe.
ADVERTISEMENT