Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menilik Laporan G30S/PKI Ben Anderson: Tanpa Silet dan Cungkil Mata
22 September 2017 19:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Pembahasan soal sejarah kelam peristiwa G30S/PKI selalu berulang tiap tahunnya, terutama menjelang 30 September. Simpang siur soal apa yang terjadi di malam itu berbeda, tergantung versi mana kita bicara.
ADVERTISEMENT
Salah satu versi yang jadi buah bibir diabadikan dalam film berdurasi lebih dari 4 jam: Pengkhianatan G30S/PKI. Namun banyak yang menyangsikan keakuratan detail dalam film ini, walau pembunuhan sadis para jenderal oleh Partai Komunis Indonesia alias PKI tidak terbantahkan.
Di antara yang dipertanyakan adalah adegan mengerikan ketika para jenderal disiksa sebelum dicemplungkan ke Lubang Buaya. Musik menyayat dan suasana nan kelam mewarnai adegan penyiksaan, seperti penyayatan dengan silet dan mutilasi oleh PKI, terutama Gerwani.
Banyak yang mengatakan adegan ini berlebihan. Salah satu yang paling detil dalam membantahnya adalah Benedict Richard O'€™Gorman Anderson atau yang dikenal dengan nama Ben Anderson. Dia adalah seorang sejarawan sekaligus Indonesianis yang mencermati kasus G30S/PKI sesaat setelah peristiwa itu pecah.
ADVERTISEMENT
Pria yang meninggal dunia di Malang pada 2015 lalu ini dalam beberapa tulisannya mempertanyakan klaim Suharto soal kematian para jenderal di tangan PKI. Akibat tulisan-tulisannya, sejarawan dari Cornell University, New York, Amerika Serikat, ini diusir dari Indonesia pada 1972 dan baru bisa kembali ke negara ini pada tahun 1999 ketika Republik ini dipimpin B.J, Habibie usai reformasi.
Di antara tulisannya yang paling terkenal berjudul "How Did The Generals Die" yang diterbitkan dalam sebuah jurnal pada tahun 1987. Dalam laporannya itu, dia menampilkan hasil autopsi para Pahlawan Revolusi yang jasadnya ditemukan di Lubang Buaya. Dari situ, dia berusaha membantah laporan media --yang kebanyakan dikuasai ABRI--soal kematian mereka. Tulisan ini membuat rezim Suharto kala itu berang.
ADVERTISEMENT
Berita Mengerikan
Dalam tulisan Anderson disebutkan autopsi dilakukan oleh dua dokter militer, salah satunya Brigadir Jenderal dr. Roebiono Kertopati, dan tiga ahli forensik sipil di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Autopsi dilakukan selama delapan jam, dari tanggal 4-5 Oktober 1965, 75 jam setelah jasad mereka dievakuasi dari Lubang Buaya.
Menurut dokumen autopsi yang diperoleh Anderson, visum et repertum dilakukan terhadap enam jenderal, yaitu Ahmad Yani, Suprapto, Haryono, Pandjaitan, dan Letnan Tendean atas perintah dari Komandan KOSTRAD Mayor Jenderal Suharto.
Hasil autopsi ini, tulis Anderson, diulas pertama kali oleh dua koran milik ABRI yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Namun menurut Anderson, informasi yang diterbitkan koran itu terlalu terburu-buru padahal autopsi belum juga rampung. Dalam laporannya, kedua koran menyebutkan bahwa para jenderal disiksa sebelum dibunuh.
ADVERTISEMENT
"Perbuatan biadab berupa penganiajaan jang dilakukan di luar batas perikemanusiaan," tulis Angkatan Bersendjata.
Sementara Berita Yudha menyebutkan "Bekas luka di sekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita."
Suharto juga dikutip mengatakan: "Djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa jang dinamakan Gerakan 30 September."
Berita soal penyiksaan para jenderal terus digulirkan oleh kedua media tersebut untuk beberapa bulan ke depan. Bahkan kisahnya lebih ngeri lagi. Pada 7 Oktober contohnya, koran Angkatan Bersendjata menuliskan bahwa mata Ahmad yani "ditjongkel", Berita Yudha memberitakan hal yang sama dua hari kemudian.
"Penterror biadab," tulis Berita Yudha menyebut PKI.
ADVERTISEMENT
Tendean diberitakan mengalami luka tusukan pisau di dada kiri dan perut. Lehernya disayat, dan matanya juga "ditjungkil". Media ini juga mengutip para saksi mata peristiwa Oktober kelam itu yang mengatakan:
"Ada jang dipotong tanda kelaminnja dan banjak hal-hal lain jang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan."
Peran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga dijelaskan secara horor. Anggota Gerwani disebut menyiksa para jenderal dengan silet dan pisau kecil, memotong-motong anggota tubuh mereka, bahkan kemaluan.
Pada 13 Desember, Angkatan Bersendjata menuliskan bahwa anggota Gerwani menari telanjang yang dikenal dengan "Tari Harum Bunga" atas perintah DN Aidit. Setelah itu mereka disebut pesta seks dengan anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakjat.
Sebelumnya pada 6 November, dalam tulisan Anderson, ABRI merilis pengakuan pemimpin Gerwani bernama Djamilah asal Pacitan. Wanita yang tengah hamil tiga bulan ini mengaku diberi pisau lipat dan silet oleh Gerakan 30 September.
ADVERTISEMENT
"Lalu mereka, seratus di antara mereka, mematuhi perintah dari pria yang sama, menyayat dan mengiris alat kelamin para jenderal yang diculik," tulis Anderson.
Adegan-adegan di atas persis seperti apa yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang ditayangkan setiap tahunnya di zaman Orde Baru. Peristiwa ini diyakini kebenarannya oleh banyak pihak di tanah air, termasuk mantan wakil presiden Try Sutrisno yang mengatakan penyiksaan oleh Gerwani benar adanya.
Hasil Autopsi
Namun berdasarkan pengamatan Anderson terhadap dokumen autopsi, kondisi para jenderal tidak menunjukkan adanya penyiksaan seperti disebutkan di atas. Tidak ada mata yang dicungkil, penis mereka masih ada, bahkan lebih detail lagi.
"Pertama, dan yang terpenting, tidak ada mata-mata korban yang dicungkil, dan seluruh penis mereka masih menempel: Kami bahkan diberitahu ada empat dari mereka yang disunat, dan tiga tidak disunat," ujar Anderson dalam laporannya.
ADVERTISEMENT
Anderson kemudian membagi korban menjadi dua kelompok, yaitu yang ditembak mati di rumah mereka; Ahmad Yani, Pandjaitan, dan Harjono, dan yang dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaya; Parman, Suprapto, Sutoyo, dan Tendean.
Diberitakan Berita Yudha dan Kompas saat itu, kelompok pertama ditembak mati di rumah mereka oleh anggota Tjakrabirawa di bawah perintah Letnan Satu Doel Arief.
Mereka yang dibunuh di Lubang Buaya tewas ditembak mati di tubuh atau kepala. Beberapa mengalami patah tulang akibat pukulan popor senapan atau dibenturkan dengan benda keras.
"Tidak ada satu pun dari laporan ini yang menunjukkan tanda penyiksaan, dan bekas silet atau pisau juga tidak ada," tulis Anderson lagi.
Anderson menyinggung soal pernyataan Presiden Sukarno kepada Antara pada 12 Desember 1965 yang mengkritik para jurnalis karena berlebihan memberitakan.
ADVERTISEMENT
"[Sukarno] mengatakan bahwa para dokter yang memeriksa jasad para korban melaporkan tidak ada mutilasi mengerikan pada mata atau alat kelamin seperti yang diberitakan media," tutup Anderson dalam laporannya itu.
Laporan Anderson bisa dilihat di tautan ini.