MER-C Evaluasi Bencana Sulteng: Evakuasi dan Identifikasi Lamban

12 Oktober 2018 21:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) saat menyampaikan kritik dan evaluasi terhadap penanganan awal untuk gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Jumat (12/10/2018). (Foto: Darin Atiandina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) saat menyampaikan kritik dan evaluasi terhadap penanganan awal untuk gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Jumat (12/10/2018). (Foto: Darin Atiandina/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah terus berupaya memulihkan kondisi Sulawesi Tengah setelah diterjang gempa dan tsunami. Meski begitu, masih banyak hal yang harus dimaksimalkan selama proses evakuasi dan transisi tanggap bencana ini.
ADVERTISEMENT
Pendiri MER-C sekaligus relawan medis yang berangkat ke Palu, dr Yogi Prabowo mengatakan, ada tiga hal yang dilakukan pemerintah, yakni evakuasi dan identifikasi, penanganan korban selamat, serta pembangunan hunian sementara. Namun, secara keseluruhan MER-C menilai pemerintah lamban dalam penanganan korban bencana.
“Kami lihat di sini proses evakuasi tidak berjalan dengan mulus, ini yang menjadi catatan penting karena sampai hari ke-4 pascagempa itu evakuasi di dalam reruntuhan itu belum dilakukan oleh siapa pun,” kata dr Yogi Prabowo pada saat konferensi pers di Kantor MER-C, Jakarta Pusat, Jumat (12/10).
“Tidak ada seorang pun yang berani menolong karena takut runtuh karena tidak ada alat berat, jadi akhirnya baru pada hari ke 8 dilakukan evakuasi pake alat berat,” tambah Yogi.
Warga di antara puing bangunan yang hancur pasca tsunami di Palu. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga di antara puing bangunan yang hancur pasca tsunami di Palu. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Yogi juga menyoroti lambannya proses identifikasi korban tewas. Hal ini membuat warga kesulitan menemukan anggota keluarganya yang hilang.
ADVERTISEMENT
“Tidak ada yang melakukan disaster victim identification (DVI), sehingga banyak keluarga yang kehilangan keluarganya itu dia bingung mencari anggota keluarga yang hilang kemana,” tutur Yogi.
Lambatnya proses identifikasi juga disebabkan minimnya jumlah tenaga medis di lokasi. Hasilnya banyak jasad yang terlantar karena belum bisa dimakankan akibat belum teridentifikasi.
“Akibatnya apa? korban sudah mengalami kerusakan, kebusukan, bau tidak sedap sehingga menimbulkan permasalahan baru sampai kemudian segera dimakamkan di pemakannan massal,” jelas Yogi.
Warga melintasi jalan yang hancur di Balaroa akibat gempa Palu. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintasi jalan yang hancur di Balaroa akibat gempa Palu. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Masa pemulihan listrik dan air di lokasi bencana juga terbilang lama. Terutama saat awal-awal gempa dan tsunami terjadi. Hal ini membuat para relawan juga harus berebut dengan para pengungsi untuk mendapatkan air.
“Bahkan tenaga kesehatan yang datang diawal waktu di hari kedua pasca gempa jadi secondary victim, kenapa? Karena tidak ada air, tidak ada listrik, jadi belum pulih, hal ini menebabkan tenaga kesehatan belum berfungsi maksimal,” tutur Yogi.
Warga melintasi jalanan yang rusak akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR), di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintasi jalanan yang rusak akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR), di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
ADVERTISEMENT
Pembangunan hunian sementara juga baru dilakukan beberapa hari belakangan. MER-C juga mengkritik langkah pemerintah yang tidak langsung mengerahkan helikopter ke lokasi terisolir untuk menyalurkan logistik.
“Pengungsi yang sifatnya kecil-kecil menyulitkan tim penolong karena jalanan banyak yang rusak, hanya beberapa lokasi yang jalanannya bisa dilalui,” kata Arif.
“Di sini kemudian menjadi pertanyaan kenapa tidak digunakan helikopter untuk membagi logistik bagi pengungsi yang membutuhkan?” ucap dia.