Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mereka yang Berani Melawan Kejahatan Seksual
29 November 2018 9:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Awal November 2018 publik dikejutkan dengan laporan dari Balairung Press mengenai kejahatan seksual yang menimpa mahasiswi UGM, Agni (nama samaran). Kasus ini menjadi pemberitaan nasional lantaran perjuangan Agni untuk meraih keadilan seolah tak didukung oleh UGM yang merupakan salah satu kampus terbaik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Agni yang mengaku dilecehkan oleh rekan satu timnya saat KKN di Pulau Seram, Maluku, justru mendapat kesialan bertubi-tubi. Dari penanganan kasus yang awalnya tak serius, hingga nilai KKN yang sempat hancur.
Agni kemudian mendapat dukungan dari LSM Rifka Annisa untuk memperjuangkan kasusnya. Hingga saat ini, kasus yang terjadi pada pertengahan 2017 itu masih diusut polisi.
Belum selesai dengan perjuangan Agni, muncul lagi kasus kekerasan seksual yang menempatkan perempuan pada posisi sulit. Kali ini soal Baiq Nuril, guru honorer di SMAN 7 Mataram, NTB, yang mendapat kekerasan seksual verbal oleh atasannya, Muslim.
Nuril justru dihukum bersalah oleh Mahkamah Agung dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dia dianggap melanggar pasal 27 ayat 1 juncto pasal 45 UU ITE dan dihukum 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan atas kasus yang terjadi pada tahun 2012 tersebut. Padahal sebelumnya di Pengadilan Negeri Mataram dia divonis bebas.
ADVERTISEMENT
Baiq Nuril lantas melawan dan melaporkan balik Muslim ke Polda NTB. Publik juga mendorong Baiq Nuril untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA yang menghukumnya bersalah.
Agni dan Baiq Nuril sama-sama mendapat dukungan publik karena berani menyuarakan kasusnya. Sayangnya menurut catatan LBH APIK, masih banyak korban kekerasan seksual di Indonesia yang tak berani buka suara. Alasannya macam-macam, dari takut menjadi bahan gunjingan, hingga khawatir dirinya justru dipersekusi dan dilaporkan balik oleh pelaku.
Sementara undang-undang yang ada saat ini hanya mencakup soal tindakan cabul, dan belum ada aturan khusus soal pelecehan seksual. Oleh karena itu Komnas Perempuan mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) guna memutus mata rantai kekerasan seksual dan menghadirkan pemulihan korban.
RUU PKS ini banyak memberikan manfaat bagi korban kekerasan seksual, misalnya adanya aturan tentang pemenuhan hak korban, pemulihan fisik dan psikis korban pascakejadian, hingga proses hukumnya. Selain itu juga adanya aturan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual seperti pelaku harus membayar restitusi bagi korban misalnya dengan menanggung biaya pemulihan korban.
ADVERTISEMENT
Tak hanya di Indonesia, kasus kekerasan seksual juga masih banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Kampanye '16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan' (25 November-10 Desember) yang sudah digalakkan sejak 1991 nampaknya belum memberikan dampak signifikan. Dalam kasus kekerasan seksual, perempuan justru kerap mendapat derita tambahan, meski dia adalah korban.
kumparan mengulik kembali sejumlah kasus pelecehan seksual yang sempat mencuat ke publik dan mewawancarai pihak-pihak terkait. Meski sudah membawa kasus tersebut ke ranah hukum, para korban mengaku tidak mendapat keadilan yang pantas atas pelecehan yang mereka alami.
Selain itu kasus pelecehan seksual membuat psikis mereka terganggu, sering ketakutan, bahkan depresi. Ditambah lagi stigma sebagai korban kekerasan seksual terus melekat dan membuat kehidupan sosial mereka terganggu. Salah satu korban mengaku sempat dua kali diputus kontrak dari pekerjaannya lantaran kasusnya diketahui atasan.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya konten spesial kumparan dalam topik Korban Cabul Melawan .