Mereka yang Berjalan di Bawah Lindungan Cadar

10 Maret 2018 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Cadar kini tengah menjadi polemik. Pemakaiannya di kampus-kampus menuai sejumlah perdebatan, ada yang setuju dan ada yang sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Menyoal tentang cadar, kumparan (kumparan.com) menemui beberapa perempuan yang kukuh mengenakannya. Mereka adalah mahasiswa di sebuah kampus besar di Indonesia dari jenjang S1 dan S2.
Di tengah kebisingan Kota Depok pada sore hari, kumparan berbincang dengan seorang mahasiswi bercadar berinisial D. Sudah 3 tahun lamanya, ia memakai cadar dan baju muslimah.
Perjalanan D mengenakan cadar bisa dibilang panjang. Tahun 2012 lalu, ia diterima di sebuah PTN dengan status mahasiswa rantau. Berada jauh dari keluarga membuat D semakin mengingat Tuhannya. D pun sebenarnya bukan berasal dari keluarga yang paham betul soal agama. Namun, ia bertekad kuat untuk mendalami agama.
Awalnya, D mulai memanjangkan jilbabnya. Niatan memakai cadar sudah ada tapi tak lantas ia realisasikan.
ADVERTISEMENT
"Sejak masuk kuliah itu sudah ada niat menggunakan cadar. Saya kan anak rantau ya. Jadi entah kenapa saya itu justru saat merantau lebih mendekat kepada Allah gitu kan. Lebih ingat orang tua, lebih ingat Allah. Jadi itu kayak semacam panggilan ruhaniyah juga, semacam hidayah datang dari Allah," cerita D, di sebuah tempat makan di Depok, Kamis (8/3).
"Namun, juga pelan-pelan pakai cadarnya. Jadi jilbabnya dulu lebih panjang terus lama-lama akhirnya pakai cadar," tambah D.
Lain halnya dengan D, seorang mahasiswi S2 Matematika memilih menutupi wajahnya dengan cadar lantaran pengaruh lingkungan. Mulanya, Aisyah (nama samaran) memakai jilbab layaknya kebanyakan orang. Hal itu ia ceritakan ketika bertemu dengan kumparan di sebuah musala di kampusnya.
ADVERTISEMENT
Pada suatu hari, ia mendapat pekerjaan di tempat bimbingan belajar. Di sana, ia mengaku bertemu dengan orang-orang saleh. Bahkan ada di antaranya yang memakai cadar.
Ilustrasi cadar. (Foto: Pixabay)
Aisyah pun hatinya semakin tergerak untuk memakai cadar. Ia banyak mencari tahu soal hukum memakai cadar dalam Islam.
Dalam pencariannya, Aisyah mendapatkan beberapa referensi. Ada yang mewajibkan pemakaian cadar dan ada juga yang menyebutnya sebagai sunah (dilakukan mendapat pahala dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa) yang disarankan. Dari situ Aisyah mantap memakai cadar sekitar Juli 2015.
Ketika keluarga menentang
Memakai cadar tak hanya serta merta menambahkan penutup pada sebagian wajah. Berbagai macam pertimbangan turut menghantui nurani kala cadar akan dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
D, mahasiswi yang sudah 3 tahun mengenakan cadar awalnya mendapat tentangan dari keluarganya. Namun, ia terus berusaha meyakinkan keluarga akan pilihan yang sudah ia ambil.
"Apalagi saya dari keluarga yang tidak, istilahnya yang masih awam gitu kan. Semuanya, keluarga yang belum paham Islam semua. Terutama, kedua orang tua yang sebenarnya belum setuju gitu kan. Akhirnya mereka juga tetap setuju setelah lama-lama saya kasih pengertian," terang D.
"Lama-lama saya kasih, ya kita apa ya makanya butuh proses yang lama kan pakai cadar sekitar tiga tahun niatnya. Tapi akhirnya terealisasi di tahun 2015 gitu," imbuh D.
Cerita D hampir mirip dengan Aisyah. Mulanya, keluarga Aisyah begitu mengecam pemakaian cadar olehnya. Ketakutan menjadi perasaan yang menyelimuti Aisyah kala itu.
ADVERTISEMENT
"Awalnya itu saya takut, karena keluarga ada yang mengancam. Ngapain sih kamu bercadar, nanti cadarnya saya buka di jalan," ujar Aisyah.
Aisyah lalu menyiasati tentangan keluarganya dengan memakai masker. Di luar, Aisyah mantap memakai cadar. Namun, ketika ia akan pulang, ia melepas cadar itu dan menggantinya dengan masker.
Kebiasaan Aisyah itu ia lakukan dalam beberapa waktu. Saat menikah, ia mantap mengenakan cadarnya. Terlebih lagi, di kampus ia belajar, ada seorang mahasiswi yang juga mengenakan cadar.
"Suami saya alhamdulillah juga lebih suka kalau saya bercadar," kata Aisyah.
Rasa tenang
Di negara beriklim tropis seperti Indonesia, sebagian orang menganggap mengenakan cadar lengkap dengan jubah gelapnya akan terasa panas. Namun, anggapan itu tak berlaku bagi perempuan-perempuan ini.
ADVERTISEMENT
Bagi D, memakai cadar membawa rasa tenang dalam hatinya.
"Perasaan sih alhamdulillah semakin tenang. Dari yang belum berjilbab menjadi hijrah ke berjilbab itu pasti sangat tenang. Apalagi yang seperti saya misalnya dari yang sebelum berjilbab kemudian berjilbab, kemudian akhirnya pakai cadar yang bertahap ini, saya terus merasakan ketenangan," tutur D.
Cadar adalah alat pengingat yang selalu melekat pada D. Pengingat tersebut tidak ia anggap sebagai penghalang, melainkan sebagai hal menyenangkan yang kini ada pada dirinya ketika ridho illahi hendak ia capai.
"Dulunya memang apa ya kalau pun yang berjilbab maupun tidak berjilbab kan teman kita sama ya, mau cowok cewek. Ketika pakai cadar sudah beda. Sulit ikut organisasi sampai malam, sulit ikut ngumpul-ngumpul sampai makan-makan di luar sampai malam apalagi gabung cowok cewek," sebut D.
ADVERTISEMENT
Sementara, Aisyah juga merasakan hal yang serupa dengan D. Ia mengaku lebih tenang kala mengenakan cadar.
Soal pelarangan pemakaian cadar di kampus
Baik D maupun Aisyah memiliki pandangan berbeda soal larangan pemakaian cadar di kampus. D, menganggap aturan tersebut wajar mengingat pemakaian cadar belum dianggap biasa di Indonesia.
"Kalau menurut saya ya, kalau memang kampus dari awal mau menegakkan peraturan yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak boleh memakai cadar. Ya menurut saya hal itu wajar-wajar saja ya. Karena pemerintah pasti memiliki, eh bukan kok pemerintah, pihak kampus juga memiliki pertimbangan. Mungkin salah satunya adalah, ini adalah Indonesia mungkin memang belum terbiasa dengan kultur mahasiswa yang bercadar misalnya," ungkap D.
D juga berasumsi, mungkin pihak kampus menimbang bila mengenakan cadar akan menghambat aktivitas mahasiswa selama di kampus. Oleh karena itu, pemakaian cadar dilarang.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, mahasiswa juga harus menaati keputusan pihak kampus karena baginya memakai cadar adalah sunah. Jadi, bila cadar dilarang dipakai di kampus, jangan sampai penutup itu dikenakan di area yang memang dilarang.
"Itu akan medatangkan mudharat (kerugian) yang lebih banyak bila dipakai di kampus, pertama dikekang oleh pihak kampus, kedua bisa dikeluarkan oleh pihak kampus. Itu kan sangat merugikan bagi dia. Sedangkan, Islam itu memudahkan menurut saya." sebut D.
Ilustrasi cadar (Foto: Reuters)
Di sisi lain, Aisyah dengan tegas menolak pelarangan tersebut. "Kalau saya tidak setuju karena kan kita ini apa masyarakat Indonesia kan. Jadi kita punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Jadi jangan dibeda-bedakan seperti itu. Kita ini juga manusia dan ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik," katanya.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana bila cadar dikaitkan dengan radikalisme?
Bagi D, tak bisa digenaralisasi bahwa semua perempuan bercadar itu radikal. Siapa pun perlu melihat dan meninjau dengan benar karakter di balik perempuan yang disangka radikal. Dari segi Islam, biasanya dilakukan dengan tabayyun (mencari kejelasan tentang sesuatu).
D dengan tegas menolak jika perempuan bercadar erat kaitannya dengan radikalisme.
"Dilihat dulu kan setiap orangnya apakah memang benar dia ikut kelompok yang seperti itu atau tidak. Karena fitrahnya wanita bercadar itu sunnah. Enggak semuanya itu dianggap radikal," ujar D.
Terlepas dari polemik pemakaian cadar yang tengah menjadi perbincangan, baik D maupun Aisyah masih tetap istiqomah (konsisten) dengan cadar yang mereka kenakan.
D dan Aisyah tetap berjalan di bawah lindungan cadar saat menuntut ilmu di kampus yang telah dipilih.
ADVERTISEMENT