Munas Alim Ulama NU: Tak Ada Istilah Kafir di Sistem Kewarganegaraan

1 Maret 2019 13:14 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
Wakil Presiden Jusuf Kalla (ketiga kiri) berfoto bersama saat  menutup Musyawarah Nasional Nahdatul Ulama di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat. Foto: Dok. Setwapres
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Presiden Jusuf Kalla (ketiga kiri) berfoto bersama saat menutup Musyawarah Nasional Nahdatul Ulama di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat. Foto: Dok. Setwapres
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyampaikan laporannya terkait hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdhlatul Ulama Tahun 2019 kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hasil ini disampaikan saat penutupan munas yang dihadiri Wapres JK.
ADVERTISEMENT
Said mengatakan, dalam rapat yang berlangsung hingga Kamis (28/2) tengah malam, dihasilkan beberapa keputusan komisi. Baik itu yang berkaitan dengan agama maupun yang berkaitan dengan organisasi.
Keputusan yang pertama adalah NU sepakat bahwa dalam sistem kewarganegaraan tidak dikenal istilah kafir. Sehingga ke depannya ia berharap tidak ada kader NU yang menyebut istilah kafir.
"Pertama, dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Maka setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi," kata Said di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3).
Said menjelaskan, istilah kafir digunakan oleh Nabi Muhammad untuk menyebut orang-orang penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci di Makkah. Namun, Nabi Muhammad tidak menyebut kafir terhadap warga yang non muslim.
Wakil Presiden Jusuf Kalla didampingi Ketua PBNU Said Aqil tiba di lokasi untuk penutupan Munas NU. Foto: Nadia Riso/kumparan
"Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut nama orang-orang penyembah berhala yang tak memiliki kitab suci, (tak memiliki) agama yang benar. Tapi setelah hijrah ke Kota Madinah tak ada istilah kafir untuk warga Madinah yang non muslim. Disebut non muslim, tidak disebut kafir," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Disebut non-muslim, tidak disebut kafir. Enggak apa-apa saya sendiri sering dikafirkan orang," lanjut dia.
Dalam rapat semalam, dibahas juga mengenai sampah plastik yang akhir-akhir ini menjadi sorotan. Menurutnya, penanganan sampah plastik harus melibatkan unsur kebudayaan sehingga terbangun cara pandang untuk pengelolaan sampah plastik yang baik, agar masyarakat dapat terhindar dari bahaya sampah plastik.
Yang terakhir adalah disepakatinya peran NU dalam mengatasi konflik, baik itu konflik nasional dan konflik internasional dengan mewujudkan islam nusantara. Hal ini, kata Said, sudah sering dilakukan JK untuk membantu mengatasi dan menengahi konflik nasional dan konflik internasional.
"Sudah dilakukan wapres dengan berkunjung ke Afghanistan dan diterima semua pihak. Sebenarnya wapres sudah menjalankan fungsi NU," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sementara NU dalam praktiknya juga beberapa kali terlibat untuk menengahi konflik internasional. Seperti konflik 4 faksi di Afghanistan, pun dengan Beijing dan suku Uighur yang hingga saat ini masih menjadi sorotan.
"Kami coba jadi penengah Beijing dan Uighur. Di Malaysia, orang penduduk asli Malaysia mendirikan Nadhatul Ulama. Asli orang Malaysia dateng ke PBNU untuk mendirikan Pertumbuhan NU di Malaysia. Di Afghanistan (juga) sudah mendirikan NU menggunakan lambang yang sama. Walhasil inilah visi NU," pungkasnya.