Lipsus "Menghabisi KPK", Cover Collection

Noda Hitam Capim KPK

9 September 2019 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus "Menghabisi KPK". Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Menghabisi KPK". Foto: Indra Fauzi/kumparan
Sejumlah catatan mengiringi daftar 10 nama calon pimpinan KPK yang akan mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Kinerja Pansel menguliti rekam jejak, gagasan, dan integritas para kandidat mendapat sorotan. Di sisi lain, Presiden Jokowi melanggar janjinya untuk tak tergesa-gesa mengajukan nama capim KPK ke DPR. Bagaimana sesungguhnya cerita di balik pemilihan 10 nama capim KPK yang diajukan Pansel?
Perdebatan mewarnai rapat Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK di salah satu ruangan Gedung Sekretariat Negara, Senin (2/9). Siang itu, mereka tengah mengerucutkan daftar capim KPK dari 20 nama menjadi 10 nama untuk disetorkan ke Presiden Jokowi.
Setiap anggota pansel datang berbekal form penilaian terhadap 20 orang capim KPK yang telah mengikuti wawancara dan uji publik yang berlangsung sepekan sebelumnya. Format penilaian, menurut Hendardi—seorang anggota Pansel—meliputi indikator integritas hingga pengetahuan para capim.
Penilaian dari masing-masing anggota Pansel kemudian direkapitulasi untuk mengurutkan peringkat para capim KPK. Pandangan tertulis dari praktisi hukum Luhut Pangaribuan dan akademisi Mutia Gani Rahman juga masuk dalam pertimbangan. Keduanya adalah panelis yang dilibatkan dalam tahap wawancara dan uji publik capim KPK.
Hasilnya, dua capim perwakilan Kejaksaan dan Polri masuk 10 besar. Bagi Pansel, komposisi itu tak ideal. Mereka ingin keterwakilan dari kedua instansi itu tak terlalu dominan.
“Kami tidak ingin memberi beban berat pada Presiden. Kemudian ketika Presiden serahkan (10 nama capim KPK itu) ke DPR, diserang orang banyak. Ribut terus ini,” kata Hendardi di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).
Dalam daftar awal, ada nama Irjen Antam Novambar dan Irjen Firli Bahuri dari perwakilan Polri. Antam ialah Wakil Kepala Bareskrim Polri, sedangkan Firli yang pernah menjabat Deputi Penindakan KPK selama setahun kini menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan.
Sementara dari klaster jaksa, muncul nama Johanis Tanak dan Jasman Panjaitan. Johanis adalah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, sedangkan Jasman ialah mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejakgung.
Pansel kemudian memutuskan agar perwakilan polisi dan jaksa masing-masing dibatasi satu orang saja. Saat menimbang-nimbang siapa yang akan dieliminasi dari daftar capim KPK itulah terjadi silang pendapat di antara sembilan anggota Pansel. Rapat yang dimulai pukul 10.00 dan diselingi makan siang itu baru rampung tiga jam kemudian.
“Kepala sembilan orang Pansel tambah dua pendapat tertulis panelis ya pasti berbeda-beda, pasti berdebat,” ujar Hendardi menuturkan diskusi di internal Pansel.
Ketua Panitia Seleksi (pansel) calon pimpinan KPK Yenti Garnasih (keempat kiri) bersama anggota pansel. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Pansel lantas memutuskan memasukkan nama Johanis Tanak dan Firli Bahuri dalam daftar 10 capim KPK. Sorenya, sembilan anggota Pansel beranjak ke Istana Negara untuk menyerahkan daftar itu ke Presiden Jokowi. Jokowi, dalam pertemuan itu, mengapresiasi kerja Pansel.
Jokowi, menurut Hendradi, menyadari hiruk pikuk perkara seleksi capim KPK yang mengemuka di tengah masyarakat. Namun sang Presiden tak mempersoalkan nama-nama yang diajukan pansel.
“Dia bilang, ‘Intel saya banyak—ada di polisi, ada di jaksa.’ Di dalam KPK, apa yang terjadi, dia (Presiden) tahu,” kata Hendradi menceritakan ucapan Jokowi.
Selepas pertemuan dengan Jokowi, Pansel pun mengumumkan sepuluh nama capim KPK pilihan Pansel. Mereka adalah Alexander Marwata, Komisioner KPK; Firli Bahuri, Perwira Tinggi Polri; I Nyoman Wara, auditor Badan Pemeriksa Keuangan; Johanis Tanak, Jaksa Agung Muda; Lili Pintauli Siregar, advokat; Luthfi Jayadi Kurniawan, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang; Nawawi Pomolango, Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar; Nurul Ghufron, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember; Roby Arya Brata, PNS Sekretariat Kabinet; dan Sigit Danang Joyo, PNS Kementerian Keuangan.
Dua hari kemudian, Rabu (4/9), Jokowi mengirimkan daftar 10 capim ke DPR untuk ditindaklanjuti. Lima dari 10 nama di daftar itu nantinya akan dipilih para anggota badan legislatif itu menjadi pimpinan KPK 2019-2023 melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR.
Persetujuan Jokowi terhadap 10 nama capim KPK tersebut memantik reaksi. Penolakan juga disuarakan pegawai KPK sendiri. Di sela aksi mereka menentang revisi UU KPK, Jumat (6/9), para pegawai KPK turut mempersoalkan masuknya capim yang punya rekam jejak sebagai terduga pelanggar kode etik KPK.
Aksi damai Pegawai KPK dan aktivis antikorupsi di Gedung KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Karton bertuliskan “Pelanggar Etik Dilarang Masuk” dan “Zona Antipelanggar Etik” dibawa para peserta aksi di pelataran Gedung Merah Putih yang jadi markas KPK itu. Peserta aksi juga membentangkan garis pembatas hitam-merah—yang biasa digunakan KPK untuk menyegel ruangan yang digeledah—berisi kalimat bernada serupa di pintu masuk gedung.
Sebelumnya, KPK telah mewanti-wanti Pansel dengan mengirim petisi yang ditandatangani 1.000 pegawai KPK ke Jokowi. Inti petisi itu: menolak calon-calon bermasalah memimpin KPK empat tahun ke depan.
“KPK seharusnya dipimpin oleh orang-orang berintegritas, orang-orang yang punya rekam jejak baik," kata Yudi Purnomo Harahap, Ketua Wadah Pegawai KPK, kepada kumparan.
Salah satu nama yang disoal adalah Irjen Firli Bahuri. Ia sempat bertugas di KPK sebagai Deputi Penindakan, dan—menurut sejumlah sumber di KPK—diduga beberapa kali bertemu dengan tokoh yang pernah masuk radar penyelidikan KPK terkait perkara divestasi PT Newmont Nusa Tenggara, yakni Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang saat itu menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat.
Menurut sumber-sumber itu, Firli juga diduga pernah membocorkan rencana operasi tangkap tangan. Firli, ujar dua sumber yang sama, juga sudah diperiksa oleh pengawas internal KPK. Hasilnya: ia mendapat catatan dugaan pelanggaran etik. Namun tindak lanjutnya kemudian terhenti di pimpinan KPK.
Firli Bahuri saat mengikuti tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan KPK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dalam uji publik yang digelar Pansel, Firli membantah sengaja bertemu TGB. Menurut Firli, pertemuannya dengan TGB di sebuah lapangan tenis hanya kebetulan.
“Diundang main tenis dengan pemain tenis nasional—namanya Panji, Danrem, dan Danlanal. Saya datang pukul 06.30. Setelah saya main dua set, pukul 09.30 barulah TGB datang. Jadi saya tidak mengadakan hubungan dan tidak mengadakan pertemuan. (Kalau) bertemu, iya,” kata Firli memberikan klarifikasi.
Ia juga menegaskan, kala itu TGB belum berstatus tersangka. Itulah sebabnya, menurut dia, pertemuan tersebut tak menyalahi kode etik KPK. Firli yang kemudian dihubungi kumparan, belum merespons permintaan wawancara hingga artikel ini ditayangkan.
Soal Firli itu sempat pula disinggung Presiden Jokowi dalam pertemuan santap siang bersama pemimpin redaksi media massa nasional, Selasa (3/9), di Istana Negara. Jokowi ketika itu mengatakan mengecek isu-isu yang berseliweran terkait capim KPK.
“Katanya ada capim KPK yang saat menjabat di KPK bertemu dengan pihak berperkara. Setelah saya cek, ternyata pertemuannya di ruang terbuka saat main tenis. Kan biasa itu, bukan pertemuan khusus. Lagi pula, yang ditemui juga bukan tersangka, bukan saksi,” kata Jokowi, sembari mengutarakan harapannya agar KPK membangun sistem pencegahan korupsi, tak sekadar penangkapan.
“Coba sekarang lihat, sudah banyak yang ditangkap, tapi masih banyak yang berani korupsi. Ini bagaimana?” imbuh Jokowi.
Calon Pimpinan KPK Foto: Indra Fauzi/kumparan
Seorang anggota DPR yang enggan disebut namanya mengatakan, Firli yang menjadi satu-satunya perwakilan korps Bhayangkara dalam seleksi pimpinan KPK kali ini, punya potensi kuat dipilih menjadi pimpinan KPK.
“DPR akan mempertimbangkan keterwakilan Polri dalam komposisi pimpinan KPK,” ujarnya. Sejak KPK berdiri, unsur Polri hanya alpa di jajaran pimpinan KPK periode 2011-2015.
Legislator itu juga menyatakan, peluang Firli untuk ditetapkan DPR sebagai Ketua KPK bahkan paling besar.
Di sisi lain, lolosnya Firli dalam daftar 10 capim KPK disesalkan pegiat Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana. Ia menilai Pansel tak serius menguliti rekam jejak para calon.
“Ketika ada salah satu figur calon pimpinan KPK menyebut tentang dugaan pelanggaran kode etik yang tidak terbukti, harusnya Pansel bisa mengkonfirmasi jawaban tersebut ke KPK. Apakah benar statement dari yang bersangkutan ketika proses uji publik,” kata Kurnia, menunjukkan bolong prosedur Pansel dalam melakukan pengujian.
Ucapan itu dibantah oleh Hendardi. Menurutnya, Pansel menampung semua masukan untuk menjaring rekam jejak seluruh capim yang mengikuti tahapan wawancara dan uji publik. Pansel, lanjutnya, juga telah bertemu KPK pada 29 Agustus.
Dalam pertemuan dengan KPK itu, Hendardi mencecar komisi antirasuah dengan pertanyaan terkait dugaan pelanggaran etik Firli. Perwakilan KPK, ujar Hendardi, menjelaskan Firli telah menjalani pemeriksaan internal.
Tapi Hendardi merasa tak mendapat jawaban memuaskan seputar putusan final terhadap dugaan pelanggaran Firli itu. Musababnya, saat tahapan pemeriksaan berjalan, Firli ditarik kembali oleh Polri.
“Ditarik Kapolri artinya no case. Tentu saja, kasusnya sudah enggak ada,” kata Hendradi. Ia menjamin Pansel akan menggugurkan nama capim yang terbukti bermasalah dengan keputusan hukum mengikat.
Menurut Hendardi, Firli lebih dipilih Pansel ketimbang Antam Novambar dari klaster kandidat Polri justru karena telah berpengalaman di KPK.
“Anatomi KPK dia cukup paham. Bukan karena Pak Antam nilainya jelek, enggak. (Sebab) ternyata pandai orang itu,” papar Hendardi.
Alexander Marwata saat mengikuti tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan KPK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Bukan cuma nama Firli yang disoal pegiat antikorupsi. Masuknya Alexander Marwata dan Roby Arya Brata juga dipertanyakan Kurnia Ramadhana. Keduanya, dalam uji publik, menyatakan tak keberatan melimpahkan kasus korupsi yang melibatkan anggota Polri dan Kejaksaan ke institusinya masing-masing.
Ide itu dianggap kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Kurnia mengingatkan, KPK justru dibentuk untuk membersihkan lembaga penegak hukum lain. Oleh karena itu Pasal 11 UU KPK memberi kewenangan kepada komisi itu untuk menindak anggota Polri dan Kejaksaan yang terlibat korupsi.
“Mereka terkesan hanya seperti cari panggung ketika proses uji publik dan wawancara,” ucap Kurnia.
Ia juga menyoroti kurang galaknya Pansel dalam mempersoalkan sejumlah calon dari penyelenggara negara yang tak patuh melaporkan harta kekayaan. Baginya, laporan harta kekayaan merupakan hal mendasar untuk menguji integritas dan akuntabilitas capim KPK.
Sejak awal, pegiat antikorupsi pesimistis Pansel bisa menghasilkan 10 nama capim KPK yang berkualitas. Sebab, terdapat dugaan konflik kepentingan pada anggota Pansel. Sorotan mengarah kepada Hendardi dan Indriyanto Seno Aji yang merupakan Penasihat Ahli Kapolri.
Tudingan itu membuat Hendardi berang. Ia mengatakan, pandangan macam itu terlalu menyederhanakan penilaian terhadap reputasi yang ia bangun sejak 40 tahun silam.
Anggota Pansel KPK, Hendardi. Foto: Faiz/kumparan
“Biarlah mereka nggak mau percaya. Saya enggak apa-apa. Masih banyak yang percaya saya. Pusing amat. Makanya saya bilang, ‘Emangnya gue pikirin?” kata Hendardi dengan nada meninggi.
Kini, bola panas bergulir ke DPR. Surat Presiden perihal 10 daftar capim KPK telah dibacakan di Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9). Surat itu akan ditindaklanjuti Komisi III DPR yang membidangi hukum dengan menggelar uji kepatutan dan kelayakan terhadap para calon.
Sebelumnya, sempat terbesit harapan dari sejumlah kalangan agar Jokowi meninjau ulang daftar pilihan Pansel. Terlebih, usai menemui Pansel, Jokowi mengatakan tak akan terburu-buru mengirimkan nama capim KPK ke DPR.
"Saya minta agar masukan-masukan, baik dari masyarakat, tokoh-tokoh, bisa dijadikan catatan-catatan dalam rangka mengoreksi apa yang telah dikerjakan Pansel,” kata Jokowi waktu itu.
Namun daftar capim KPK cuma mampir dua hari di meja Jokowi, meski presiden berdasarkan UU KPK sebenarnya punya waktu 14 hari kerja untuk menyerahkan nama hasil seleksi Pansel ke DPR.
Jokowi, menurut Kurnia Ramadhana, juga punya wewenang untuk mencoret capim KPK yang dianggap bermasalah. Toh, Pansel dibentuk Mei lalu berdasarkan Keputusan Presiden.
Masa jabatan pimpinan KPK saat ini pun baru berakhir Desember 2019. Artinya, tambah Kurnia, Jokowi sebetulnya masih punya waktu tiga bulan untuk memastikan capim KPK yang diajukan ke DPR bersih dari catatan masalah.
“Presiden harusnya bisa berbuat banyak, tapi itu tidak dia ambil,” ujar Kurnia.
Terakhir, Kurnia berpendapat, kurang etis bila DPR periode 2014-2019 yang masa jabatannya akan berakhir sebentar lagi, menggelar uji kepatutan dan kelayakan kepada capim KPK. Sebab, mereka sudah pernah memilih pimpinan KPK periode 2015-2019.
“Pada dasarnya, pimpinan KPK yang baru itu akan bekerja sama bukan dengan DPR lama, tapi DPR baru,” tutup Kurnia.
Jadi, kenapa harus terburu-buru?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten