Visual Story Lipsus: Sepekan Penuh Tragedi (3)

Paripurna Terakhir DPR: Tamat Menjabat dengan Setumpuk Cacat

30 September 2019 10:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sepekan Penuh Tragedi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sepekan Penuh Tragedi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
DPR periode 2014-2019 menutup masa jabatan dengan rapor buruk. Produktivitas legislasi rendah, kasus korupsi tinggi. Rapat Kerja Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) berlangsung kilat, Jumat (27/9). Tak sampai lima menit, rapat yang dibuka Ketua Pansus Bambang Wuryanto itu sudah ditutup.
Rapat itu batal karena empat perwakilan pemerintah yang diundang—Menkumham Yasonna Laoly, Menpan RB Syafruddin, Menkominfo Rudiantara, dan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara Letjen Hinsa Siburian—tak menunjukkan batang hidungnya.
“Ini menteri-menteri ditunggu juga tidak ada gunanya. Jadi saya buka rapat, setelah itu kita batalkan rapat ini,” ujar Bambang saat hendak memimpin rapat di ruang Komisi III Bidang Hukum DPR.
Agenda rapat hari itu ialah penyampaian pandangan pemerintah dan pembentukan Panitia Kerja Pembahasan RUU KKS. Namun tanpa kehadiran wakil pemerintah, rencana DPR untuk merampungkan RUU KKS agar dapat disahkan di paripurna terakhir DPR pada hari ini, Senin (30/9), kandas.
Pembahasan RUU KKS memang dikebut menjelang tamatnya masa jabatan DPR periode 2014-2019. Meski RUU itu masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2019, panitia khusus untuk membahas rancangan aturan itu baru dibentuk awal September ini.
RUU Keamanan dan Ketahanan Siber menambah panjang daftar RUU yang batal disahkan di pengujung masa jabatan DPR 2014-2019.
Sehari sebelumnya, Kamis (26/9), di ruang rapat Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri dan agraria, pembahasan RUU Pertanahan juga resmi ditunda. Sebabnya, fraksi-fraksi di DPR belum menyepakati beberapa poin krusial dalam RUU itu.
“Ditunda karena masih ada konflik di antara kementerian. Juga ada keberatan masyarakat,” kata anggota Panja RUU Pertanahan Firman Soebagyo di DPR. Ia sudah mencium gelagat penundaan itu sejak Rabu (25/9).
Selain RUU Pertanahan serta Keamanan dan Ketahanan Siber, sejumlah RUU lain gagal disahkan di menit-menit akhir masa jabatan DPR 2014-2019. Semisal RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba.
Pengesahan deretan RUU itu ditunda menyusul rentetan aksi demonstrasi serentak di seluruh Indonesia. Senin (23/9), ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil di Yogyakarta bergerak turun ke jalan dalam aksi #GejayanMemanggil.
Massa mahasiswa berunjuk rasa di Jalan Gejayan, Sleman, DIY. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Demonstran menolak revisi UU KPK dan menentang pengesahan RUU lain yang dikebut pengerjaannya padahal dinilai tidak pro-rakyat seperti RUU Pertanahan, RUU Minerba, RKUHP, dan RUU Pemasyarakatan.
“Momentum akhir di rapat paripurna inilah yang menjadi harapan kita mencegah aturan-aturan itu disahkan,” kata Obed Kresna, mahasiswa Ilmu Politik UGM yang menjadi peserta aksi.
Sehari berselang, Selasa (24/9), ribuan mahasiswa dari berbagai kampus mengepung Gedung DPR/MPR di Jakarta dengan tuntutan serupa. Aksi yang awalnya berjalan damai itu berakhir rusuh setelah polisi melepas gas air mata.
Aksi protes merambat cepat ke berbagai daerah di seantero republik. Sayangnya, aksi disertai tindakan represif aparat kepolisian. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Imawan Randi dan Yusuf Kardawi, tewas ditembak peluru tajam.
Dikepung gelombang demonstrasi besar, Presiden Jokowi lantas meminta DPR menunda pengesahan sejumlah RUU yang mendapat sorotan publik. Pada hari yang sama dengan unjuk rasa #GejayanMemanggil di Yogyakarta, Jokowi menggelar rapat konsultasi dengan pimpinan DPR di Istana.
“Tadi siang saya bertemu dengan Ketua DPR serta ketua fraksi, ketua komisi, yang intinya saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, kemudian RUU Pemasyarakatan, ditunda,” ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin malam (23/9).
Presiden Joko Widodo menyampaikan tanggapan tentang situasi Wamena di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Prasetyo
DPR pun goyah. Sidang paripurna yang digelar esoknya, Selasa (24/9), menuruti kemauan Jokowi untuk menunda pengesahan empat RUU. Padahal, keempatnya sudah disetujui pemerintah dan DPR pada pembahasan tingkat satu.
Meski pengesahan sejumlah RUU ditunda, DPR dan pemerintah berhasil mengebut penuntasan pembahasan beberapa RUU lainnya. Hasilnya, tiga RUU sukses disahkan, yakni UU Sumber Daya Air (SDA), UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), dan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN).
Proses pembahasan yang dinilai kilat dan tidak partisipatif membuat deretan UU itu menuai kritik dan penolakan. UU tersebut dianggap menguntungkan sekelompok orang, namun merugikan kepentingan publik.
Undang-Undang Sumber Daya Air, misalnya, dinilai melanggengkan praktik privatisasi air. Menurut Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial WALHI Wahyu Perdana, UU itu membuat penguasaan negara atas air sekadar kedok, karena ruang pengelolaan air tetap diberikan kepada swasta.
“Ini masih sama seperti pengaturan dalam UU SDA Nomor 7 Tahun 2004. Bahkan (aturan kali ini) memberi ruang luas kepada swasta tanpa ada upaya review terhadap izin yang sudah keluar,” kata Wahyu.
Peserta pendidikan dan pelatihan (diklat) bela negara karyawan Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) angkatan ke 7 mengikuti orientasi pembukaan diklat di Korem 162/WB di Mataram, NTB. Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Sementara UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional dianggap berpotensi melanggar hak-hak sipil warga negara. Sebab, setiap warga negara yang mendaftar sebagai komponen cadangan negara, wajib menjalankan pelatihan militer dan tugas militer oleh negara.
Bila menolak ikut mobilisasi militer, warga yang sudah mendaftar bisa dikenai pidana kurungan maksimal 4 tahun. Di samping itu, Pasal 77 UU tersebut juga mengatur sanksi bagi tiap orang yang menolak menyerahkan sebagian atau seluruh sumber daya alam dan sarana yang ia miliki untuk kepentingan pertahanan negara.
Namun, yang paling mendapat kritik adalah pengesahan revisi UU KPK oleh DPR. Sebagian kalangan menganggap perubahan UU KPK justru melemahkan lembaga antirasuah itu. Apalagi, DPR cuma butuh lima hari—setelah Jokowi meneken surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah ikut membahas revisi UU KPK—untuk merevisi UU KPK.
Pembahasan revisi UU KPK dipandang tidak melibatkan partisipasi publik. KPK sebagai pihak yang terkait langsung dengan beleid itu pun tidak diajak berembuk. Aksi demonstrasi di seluruh Indonesia kompak meminta Presiden membatalkan revisi UU KPK.
Salah satu caranya dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Sejumlah sumber menyebut, Jokowi condong memilih menerbitkan perppu untuk meredakan ketegangan. Kabarnya, ada empat opsi perppu yang sudah disiapkan.
Namun penerbitan Perppu masih terkendala dukungan politik. Sebab, partai politik cenderung ingin agar UU KPK yang telah direvisi tidak diutak-atik. Penolakan kuat terhadap Perppu justru muncul dari PDIP—partai asal Jokowi. Indikasi itu tampak dari pernyataan Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto. Ia menyatakan, Jokowi tak berhak membatalkan revisi UU KPK.
“Jika isi perppu-nya pembatalan, justru Presiden akan dinilai bertindak tanpa wewenang, abuse of power yang akan berujung pada impeachment. Jadi saran saya kalau (memilih) perppu, isinya penundaan, bukan pembatalan,” ujar legislator itu.
Aturan Sesat dari Senayan Foto: Putri S. Arifira/kumparan
Bagi Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), protes publik yang masif terhadap sejumlah RUU dan UU menunjukkan buruknya kualitas legislasi DPR periode 2014-2019.
“Nafsu mereka untuk mengesahkan (semua UU) ini dalam waktu cepat di akhir periode itu bermasalah ketika kemudian banyak pasal di dalamnya yang belum tuntas disosialisasikan ke publik,” kata Lucius.
Di luar RUU yang dikebut di akhir periode pun, kualitas produk legislasi DPR 2014-2019 tak bagus-bagus amat. Jumlah undang-undang yang digugat ke Mahkamah Konstitusi bisa menjadi parameter.
“Ada 46 perkara yang diajukan ke MK dan dikabulkan. Dari jumlah itu, kita bisa mengatakan bahwa ada persoalan dalam hal kualitas legislasi DPR,” ujar Lucius.
Di sisi lain, produktivitas DPR dalam menghasilkan undang-undang rendah. Formappi mencatat, DPR periode 2014-2019 mengajukan 159 RUU untuk masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Namun, dari 84 UU yang disahkan DPR, hanya 35 yang berasal dari prolegnas prioritas. Sementara 49 sisanya merupakan RUU kumulatif terbuka yang berada di luar Prolegnas.
Kinerja itu, menurut Lucius, masih jauh dibanding DPR periode 2009-2014 yang mengesahkan 125 RUU.
"Akumulasi jumlah UU (kali ini) sangat sedikit dibanding DPR periode lalu-lalu. Capaiannya per tahun untuk periode lima tahun ini juga paling buruk,” kata Lucius.
Sebagai catatan, selama DPR periode 2014-2019, Komisi VI punya rapor legislasi terendah karena tidak menghasilkan produk undang-undang apapun.
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango saat menjalani fit and proper test di Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (11/9). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Selain produktivitas dan kualitas produk undang-undang, DPR juga disorot kinerjanya terkait seleksi pimpinan lembaga negara. Kontroversi, misalnya, muncul saat proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum memilih Firli Bahuri dengan suara mutlak. Publik dan aktivis pemberantasan korupsi dibuat kecewa karenanya. Sebab, Firli justru punya banyak catatan rekam jejak dibanding kandidat lain.
Ia diduga melanggar etik kala bertugas sebagai Direktur Penyidikan KPK. Firli diketahui menemui eks Gubernur NTB Tuan Guru Bajang, yang saat itu tengah diselidiki KPK keterlibatannya dalam skandal divestasi perusahaan tambang Newmont.
Peneliti ICW Kurnia menilai seleksi pimpinan KPK yang dilakukan DPR memang tak bisa lepas dari konflik kepentingan. "Sangat memungkinkan terjadi. Bahkan di beberapa tokoh itu berbicara hampir semua seleksi pimpinan tinggi lembaga negara yang melalui DPR selalu ada lobi-lobi politik. dan harapannya itu tidak lagi terjadi," kata Kurnia.
Tak hanya seleksi pimpinan KPK, kuatnya kepentingan politik juga mewarnai proses seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Indonesia Budget Center mencatat, Komisi XI DPR memilih sejumlah anggota BPK yang berpotensi memiliki konflik kepentingan.
Empat dari total lima anggota BPK terpilih memiliki hubungan dengan partai politik. Mereka adalah Pius Lustrilanang (Gerindra), H, Achsanul Qosasi (Demokrat), Daniel Lumban Tobing (PDIP), serta Hary Azhar Azis (Golkar)
"Laporan temuan dan opini BPK rentan diintervensi. Temuan audit rentan jadi alat menekan dan meloloskan proyek-proyek tertentu," seperti tertulis dalam laporan IBC.
Taufik Kurniawan(Kiri) dan Setya Novanto(Kanan) Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan, Nugroho Sejati/kumparan
Di luar aspek kinerja, DPR periode 2014-2019 juga tercoreng catatan buruk. Sejumlah anggota DPR menjadi tersangka kasus korupsi. ICW mencatat 23 anggota DPR menjadi tersangka dalam kasus korupsi 5 tahun terakhir.
Kasus korupsi bahkan menyeret unsur pimpinan DPR, yakni Setya Novanto, mantan Ketua DPR, dan Taufik Kurniawan, Mantan Wakil Ketua DPR. Lucius Karus mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif umumnya terkait dengan fungsi penganggaran.
Para pelaku, menurut Lucius, memanfaatkan kekuasaan mereka di bidang anggaran untuk kepentingan memperkaya diri dan juga partai. Ia khawatir kondisi seperti itu akan kembali terulang di DPR periode mendatang bila tak ada terobosan sistem yang transparan.
"Juga kalau partai politik masih saja memanfaatkan anggota untuk mencari uang demi membiayai operasional partai, korupsi yang melibatkan anggota DPR mungkin belum akan berakhir," katanya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten