Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
"Pasal Pengkritik DPR Bisa Dipidana Cermin Mundurnya Demokrasi"
13 Februari 2018 9:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meski telah disepakati, ada beberapa pasal dalam revisi UU MD3 yang menjadi sorotan. Sebabnya, pasal-pasal tersebut justru membuat anggota DPR antikritik dan kebal hukum.
Pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno mengkritik penerapan pasal 122 huruf k di UU MD3, yang secara implisit menyatakan pengkritik DPR bisa dipidana. Menurutnya, aturan tersebut merupakan cermin mundurnya demokrasi di Indonesia.
"Pertama, jelas ini merupakan langkah mundur demokrasi. DPR itu institusi publik politis yang memproduksi dan menjalankan kebijakan. Jadi wajar kalau jadi objek kritik masyarakat. Tambahan kewenangan DPR bentuk sikap otoriter yang tak mau dikontrol publik," ujar Adi kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (13/2)
ADVERTISEMENT
Selain itu, aturan tersebut semakin membuat DPR sebagai lembaga tak tersentuh. Padahal, menurut Adi, selama ini banyak praktik-praktik korupsi terjadi di lembaga DPR.
"Kedua, tambahan kewenangan dalam UU MD3 menjadikan DPR sebagai institusi superbodi tak tersentuh (untoucable) baik oleh rakyat (anti kritik) maupun oleh hukum (hak imunitas). Padahal DPR merupakan institusi rakyat dan banyak praktik korupsi di dalamnya," terangnya.
Adi menambahkan, dengan diterapkan pasal anti kritik di UU MD3, maka efek destruktifnya bisa cukup besar. Dengan demikian, orang yang mengkritik atau berbeda pandangan dari DPR bisa dituding merendahkan lembaga kedewanan yang bisa berimplikasi hukum. Karena itu, ia menyarankan agar UU MD3 bisa diuji di Mahkamah Konstitusi (MK)
"Putusan dalam UU MD3 yang baru ini harus dijudicial review ke MK karena berpotensi menggerus demokrasi," pungkas Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesi itu.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg DPR, Firman Subagyo, menjelaskan definisi pengkritik yang dimaksud adalah jika anggota mendapat perlakuan buruk dari publik.
Perlakuan buruk yang dimaksud misalnya ketika ada anggota DPR tersangkut kasus korupsi, lalu ia mendapat banyak kritik dan kecaman padahal belum ada putusan hukum yang tetap. Pasal ini bertujuan untuk mencegah munculnya opini publik yang menyudutkan sang anggota DPR.
"Jadi, kalau ada satu anggota dewan yang terjerat kasus korupsi misalnya. Lalu dia mendapatkan perlakuan buruk dari publik. Maka bukan hanya dia yang dilindungi tapi lembaga DPR ini," ujar Firman ketika dihubungi kumparan (kumparan.com), Senin (12/2) kemarin.