Pekik Merdeka di Pegangsaan Timur 56

17 Agustus 2018 9:36 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari kejadian warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Tahun 1947. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari kejadian warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Tahun 1947. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
ADVERTISEMENT
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
Djakarta, 17 Agustus ‘05
Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Hayoo.. kalian hafal enggak, sih, sama teks Proklamasi?
Terlepas hafal atau tidak, sudah seharusnya kita menyadari betapa pentingnya memaknai lebih dalam, momen bersejarah hasil ‘perdebatan’ Sukarno-Hatta dengan para pemuda saat itu.
Segala perencanaan dan eksekusi dalam tempo sesingkat-singkatnya, pada akhirnya membuahkan momentum besar bagi nasib bangsa.
Proklamasi dibacakan, beriring pula lagu Indonesia Raya dan kibaran bendera Merah Putih, tanda lengkap sudah kelak bakal jadi hari lahir Indonesia.
Tepat 17 Agustus 2605 (berdasarkan perhitungan kalender Jepang --Kaisar Jimmu-- yakni 1945) pukul 10.28 waktu Jawa zaman pendudukan Jepang, Sukarno, atas berkat dorongan pemuda, berhasil mengumandangkan teks Proklamasi di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
ADVERTISEMENT
Proklamasi kemerdekaan begitu teduh dibacakan di Bulan Ramadhan kala itu, meski kita tahu, segala sesuatunya dipersiapkan hanya dalam satu-dua hari.
Tiang bendera yang dibuat dari bambu, mikrofon hasil pinjam dari pengusaha radio milik orang Indonesia di Jakarta, hingga bendera Merah-Putih hasil jahitan istri Sukarno, Fatmawati.
Segala rangkaian malam suntuk, debat panjang, pertemuan kucing-kucingan yang dilakukan untuk menghindari pengawasan Jepang, seakan terbayar. Indonesia merdeka tanpa memikirkan harapan palsu kemerdekaan hadiah.
Soekarni Kartodiwirjo, salah seorang tokoh dari golongan muda, sudah memerintahkan rekan-rekannya untuk meminta seluruh rakyat memenuhi Lapangan Ikada di Gambir (Kini Monumen Nasional), mendengarkan kabar kemerdekaan dari mulut Sukarno.
Namun belakangan, Sukarno dengan tegas menolak. Dia mengetahui gerak-gerik kempeitai (polisi militer Jepang) yang mengawasi lokasi-lokasi terbuka.
ADVERTISEMENT
“Tidak, Lebih baik proklamasi dilakukan di halaman rumah saya, di Pegangsaan Timoer. Pekarangan di depan rumah saya cukup luas, bisa menampung ratusan orang. Lapangan Gambir adalah lapangan umum. Menyelenggarakan pertemuan di sana tanpa minta izin akan bisa memancing salah paham. Salah-salah, malahan memancing bentrok yang tidak perlu dengan tentara Jepang,” kata Sukarno.
“Oleh karena itu, saya minta saudara-saudara hadir di Pegangsaan Timur 56, pukul 10.00, besok pagi, jangan ada yang terlambat,” tuturnya, menambahkan.
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
Kendati pengumuman terlanjur tersebar, kendati ramai-ramai banyak orang dari segala sudut yang bergelora datang ke Lapangan Ikada, namun, Proklamasi akhirnya tetap berlangsung di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Rumah yang dihuni Sukarno.
Atas pengumuman dadakan itu pula, sebagian rakyat akhirnya berbalik arah ke Pegangsaan. Mereka, dari berbagai kalangan, berbaris teratur berjalan menuju --mengepung, menyesaki-- rumah Sukarno. Mereka siap mendengar kabar merdeka itu.
ADVERTISEMENT
“Pada pukul sembilan (pagi), kira-kira 500 orang berdiri di depan beranda rumahku. Fatmawati (istri Sukarno), yang terus menjagaku selagi aku tidur, membangunkanku. Mukaku pucat dan menggigil. Aku hanya tidur selama beberapa menit,” tulis Sukarno dalam autobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat oleh Cindy Adams.
Beberapa dari mereka bahkan ada yang membawa bambu runcing, demi menghalau serangan kempeitai. Meski, keamanan mereka sudah dijamin oleh prajurit-prajurit Barisan Pelopor --organisasi sayap Jawa Hokokai yang dikepalai Sukarno--.
Drama belum selesai. Pukul 09.30, meski teks sudah dirampungkan, Sukarno tetap tak mau mengumumkan.
Sukarno (kiri) didampingi Moh. Hatta memmpin Upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada saat dinyatakan kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi, Jakarta. (Foto: Arsip foto Kempen RI)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno (kiri) didampingi Moh. Hatta memmpin Upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada saat dinyatakan kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi, Jakarta. (Foto: Arsip foto Kempen RI)
Hatta belum tiba.
Padahal, kemeja putih dan celana linen yang dikenakan Sukarno sudah betul-betul rapih. Demam tinggi akibat Malaria juga perlahan menurun.
ADVERTISEMENT
“Aku memerlukan Hatta, karena aku orang Jawa dan Hatta dari Sumatera. Demi persatuan, aku memerlukan seseorang dari Sumatera. Hatta adalah pilihan paling baik agar bisa menjamin datangnya dukungan dari rakyat di pulau besar itu. Sukarno dan Tanah Air Indonesia menunggu kedatangan Hatta,” begitu ungkap Sukarno, dalam hati.
Untuk beberapa saat ia mengabaikan desakan rakyat yang sudah cukup lama menunggunya di halaman rumah.
“Sekarang, Bung, sekarang...! Bacakan Proklamasi sekarang....! Sekarang, Bung....ucapkan pernyataan kemerdekaan sekarang! Bung, hari sudah siang....matahari mulai panas…”
Lima menit sebelum pukul 10.00, orang yang ditunggu-tunggu muncul. Raut wajah Sukarno berubah.
ADVERTISEMENT
Sukarno langsung merapikan pakaiannya. Hatta tiba.
“Apakah Bung Karno siap?” tanya perwira Pembela Tanah Air (PETA), Latif Hendradiningrat, si pengerek bendera. Sukarno mengangguk tegas.
Sukarno, berjalan menuju halaman rumah, mendekati mikrofon.
Presiden Sukarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
Saudara-saudara sekalian.
Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting. Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita, bahkan selama ratusan tahun.
Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada Zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Saudara-saudara.
Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
Dengarkan Proklamasi kami:
PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain.
Diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
Djakarta, 17 Agusus ‘05
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta.
***
ADVERTISEMENT
Ini cerita bermula dari Jepang yang memberikan harapan palsu mengenai janji kemerdekaan Indonesia. Kala itu, di akhir-akhir Perang Pasifik, Jepang terpojok, menyadari tembok pertahanannya dalam menghadapi serangan sekutu tak sekuat dulu.
Dibuatkanlah iming-iming janji manis itu dengan mengundang Sukarno-Hatta ke Dalat, Saigon, Vietnam, pada 12 Agustus 1945. Seperti dikutip dari Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan oleh A.J Sumarmo, Terauchi menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Desas-desus itu terdengar hingga ke telinga para pemuda radikal yang tinggal di asrama-asrama sederet Jakarta. Mereka tak terima merdeka dari pemberian atau hadiah. Berbagai cara dilakukan, mulai dari rapat gelap, mendesak, hingga ‘menculik’ Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Usaha mereka berhasil. Sukarno-Hatta mau merumuskan dan membacakan teks kemerdekaan itu tanpa disponsori Jepang.
Laksamana Maeda dan rumahnya di Jakarta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Laksamana Maeda dan rumahnya di Jakarta. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Dini hari, teks Proklamasi itu berhasil dirampungkan di rumah perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda, Laksamana Tadashi Maeda.
ADVERTISEMENT
Penyebaran Proklamasi tentu urung jika misi ‘menculik’ Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok tak berhasil. Untung saja, Achmad Soebardjo --tokoh golongan tua yang juga andil menelurkan Proklamasi-- memenuhi janjinya kepada Komandan Kompi tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Rengasdengklok, Shudancho Subeno, agar Indonesia bisa segera merdeka tanpa sponsor luar.
Tak main-main. Jaminannya adalah kepala Soebardjo.
Karena atas janji Soebardjo pula, para pemuda dan prajurit PETA mau ‘menyerahkan’ Sukarno-Hatta kembali dari Rengasdengklok ke Jakarta, usai melalui perjalanan dan perdebatan super panjang.
Sepulang dari Rengasdengklok, Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta sekitar pukul 20.00. Anak Sukarno, Guntur, yang tak pernah lepas dari dekapan Fatmawati --istri Sukarno--, dibawa masuk ke rumahnya. Sementara Sukarno bertolak ke rumah Hatta di Myako Dori Boulevard Nomor 57.
Presiden Sukarno (tengah), Wapres Mohammad Hatta (keempat kanan), bersama para menteri kabinet pemerintahan RI pertama di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 4 September 1945. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno (tengah), Wapres Mohammad Hatta (keempat kanan), bersama para menteri kabinet pemerintahan RI pertama di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 4 September 1945. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
Apa sih, yang mereka bicarakan di rumah Hatta?
ADVERTISEMENT
Hatta sempat menghubungi pihak Hotel Des Indes, menanyakan apakah masih ada ruangan yang bisa dipakai untuk mengadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Namun, di atas pukul 22.00, Jepang melarang seluruh macam kegiatan.
Hatta akhirnya meminta izin Laksamana Muda Tadashi Maeda untuk menggunakan rumahnya sebagai basis perundingan. Maeda, merupakan salah satu orang Jepang kepercayaan Sukarno-Hatta, yang turut simpati atas perjuangan rakyat Indonesia.
Lho, kok bisa rumah Maeda yang dipilih?
Seperti tercatat dalam Djakarta 1945: Awal Revolusi Kemerdekaan oleh Julius Pour, hubungan antara Rikugun (Angkatan Darat kekaisaran Jepang) dengan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) terjalin cukup baik dan saling menghormati.
Subardjo mengusulkan untuk menggunakan rumah Maeda, yang saat itu menjabat Perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik. Sehingga --secara de facto-- Rikugun di luar teritori Maeda, tidak boleh mencampuri aktivitas rumah Maeda sebagai wilayah Kaigun.
ADVERTISEMENT
Seperti yang pernah dikatakan Sukarno, “Aku tidak akan pernah lupa kepada kata-katanya bahwa di dalam rumahku (Maeda), Kaigun akan bertanggungjawab, tetapi di luar rumahku, aku tidak bisa membantu karena merupakan wilayah kekuasaan Rikugun.”
Singkat cerita, naskah itu dirumuskan oleh Sukarno-Hatta dengan buah pemikiran tokoh-tokoh muda dan tua yang hadir.
Teks Proklamasi, akhirnya disepakati ditandatangani oleh Sukarno-Hatta, demi menghindari pernyataan-pernyataan yang memunculkan bahwa Proklamasi dibentuk atas kolaborasi PPKI bentukan Jepang.
Selamat Hari Raya Kemerdekaan, Sekali Merdeka Tetap Merdeka.
-------------------
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).