Fakta Proklamasi: Sukarno Malaria dan Foto yang Disembunyikan

16 Agustus 2018 12:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari Presiden Sukarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari Presiden Sukarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat membombardir Jepang. Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur, kantong-kantong wilayah jajahan Jepang berhasil diduduki. Tepat 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Momen ini dimanfaatkan Indonesia untuk merebut kemerdekaan segera.
ADVERTISEMENT
***
Pagi itu, sekitar pukul 10.28 waktu Jawa, revolusi dimulai. Lagu Indonesia Raya berkumandang syahdu di bulan Ramadhan, meski dinyanyikan tanpa alunan musik.
Musik itu digantikan dengan suara dari ratusan orang yang berkumpul di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, Jumat 17 Agustus 1945. Pemindahaan kekuasaan Jepang ke Indonesia, berhasil diumumkan melalui teks Proklamasi yang dibacakan Sukarno.
Kendati begadang dua hari yang dirundung demam tinggi, tekad Sukarno bersama Hatta dan pemuda di sekelilingnya tak goyah apalagi mati. Perasaan cemas atau diintai kempeitai (polisi militer Jepang), jauh-jauh sudah mereka singkirkan.
Untuk pertama kalinya, Sang Merah-Putih hasil jahitan Fatmawati, istri Sukarno, tegak berkibar di atas tiang bambu yang belum lama dibuat dan ditancapkan di pekarangan. Gegap-gempita, sorak-sorai ratusan orang yang berbondong-bondong menyesaki halaman rumah yang kala itu dihuni Sukarno.
ADVERTISEMENT
Di samping euforia berkepanjangan, ada beberapa fakta seputar Proklamasi yang luput namun patut untuk diketahui.
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari Presiden Sukarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari Presiden Sukarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
1. Saat membaca Proklamasi, Sukarno sedang diserang Malaria
Beberapa jam sebelum Proklamasi dibacakan, Sukarno berkeluh kesah dengan Fatmawati di ruang tidurnya. Dua-tiga malam sebelum itu, Sukarno bersama Hatta dan beberapa pentolan pemuda, berjuang semalam suntuk membulatkan tekad agar kemerdekaan dipercepat.
“Aku tak hanya tidak tidur selama dua hari, tetapi aku juga diserang Malaria. Seluruh tubuhku, dari kepala sampai kaki, menggigil, gemetar. Suhu tubuhku mencapai 104 derajat (Fahrenheit, atau 40 derajat celcius, -red),” kenangnya, dalam Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams.
Bung Karno sarapan bersama Fatmawati. (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Bung Karno sarapan bersama Fatmawati. (Foto: perpusnas.go.id)
Fatmawati tahu betul keadaan suaminya. Dia mencoba memberikan ruang untuk Sukarno merenung seorang diri, sebelum siap membacakan Proklamasi. “Aku sangat sakit,” keluh Sukarno.
ADVERTISEMENT
“Lalu aku pergi tidur. Meski aku sebetulnya ingin tetap terjaga dan bekerja, tetapi fisikku tak mampu. Aku sangat mual. Aku menutup pintu kamarku dan tertidur dalam keadaan sangat dingin”.
Namun semangat pria yang sehari setelah Proklamasi didapuk menjadi Presiden RI pertama itu, tak kian runtuh.
2. Bantahan Sudiro tentang mikrofon Proklamasi hasil curian
Seluruh peralatan penunjang pembacaan Proklamasi memang disiapkan mendadak. Kalau bukan karena desakan pemuda radikal (Menurut salah seorang pemuda di masa itu, Hanafi, sebutan radikal pertama kali dimunculkan oleh temannya, Adam Malik) dan peristiwa ‘penculikan’ di Rengasdengklok, Indonesia bisa-bisa menerima ‘kemerdekaan hadiah’ dari Jepang.
Berbicara peralatan penunjang, salah satu alat yang digunakan Sukarno, yaitu mikrofon, masih diperdebatkan kepemilikannya.
ADVERTISEMENT
“Aku berjalan ke arah pengeras suara yang dicuri dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat Proklamasi kubacakan,” tutur Sukarno.
Belakangan, Sudiro, mantan sekretaris pribadi Achmad Subardjo --salah satu tokoh yang ikut andil memperjuangkan kemerdekaan-- meyakini mikrofon itu bukan hasil curian.
“Itu tidak betul!” ucap Sudiro dalam Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945.
4 Fakta Unik Proklamasi. (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
4 Fakta Unik Proklamasi. (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
Menurutnya, mikrofon itu adalah milik Gunawan, yakni pemilik Radio Satriya yang membuka usahanya sendiri di Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta.
Tentu, Sudiro masih mengingatnya. Karena, kata dia, di saat-saat genting seperti itu, Indonesia hanya menggunakan satu --zegge en schrijve -- mikrofon saja.
“Mikrofon tersebut adalah hasil buatan saudara Gunawan sendiri. Baik corongnya, maupun standarnya. Baik versterker-nya, maupun band-nya, yang dibuat dari zilverpapier, selabung rokok. Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan keterampilan tangan seorang Indonesia, yang bernama Gunawan,” kata Sudiro.
ADVERTISEMENT
Diceritakan Sudiro, 17 Agustus 1945 waktu pagi-pagi sekali, dua pemuda kisaran 35 tahun yaitu Mr. Wilopo dan Njonoprawoto, turun dari mobilnya dan tiba di toko Gunawan untuk meminjam mikrofon. Akan tetapi, kedua pemuda itu tidak menjelaskan kepada Gunawan untuk apa mikrofon itu akan digunakan.
Pembacaan Proklamasi oleh Sukarno. (Foto: Wikimedia Commons.)
zoom-in-whitePerbesar
Pembacaan Proklamasi oleh Sukarno. (Foto: Wikimedia Commons.)
Lantaran Wilopo dan Njono tak bisa memasang dan mengoperasikan mikrofon tersebut, Gunawan meminta seorang anggota keluarganya, Sunarto, untuk ikut bersama Wilopo dan Njono.
Barulah dalam perjalanan menuju Pegangsaan Timur 56, Sunarto mengetahui mikrofon tersebut akan dipakai untuk menggelegarkan suara Sukarno saat membaca Proklamasi.
“Setelah selesai dipakai, siang itu juga, mikrofon diserahkan kembali oleh Saudara Wilopo kepada saudara Gunawan,” tutur Sudiro.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam bukunya, Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?: Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia, turut mengamini pernyataan Sudiro. "Di muka beranda rumah terpasang mikrofon dan versterker (amplifier) yang disewa dari Gunawan..” tulisnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Sudiro seolah diperkuat dengan pengakuan Gunawan yang ditulis dalam koran Kompas, 16 Agustus 1984. “Magnitnya saya buat dari dua buah dinamo sepeda, sementara bandnya hanya dari grenjeng (kertas perak pembungkus rokok),” ungkap Gunawan, seperti dikutip kumparan dalam berita yang dimuat Historia, 17 Agustus 2017, berjudul Mencari Mikrofon Proklamasi.
Suasana Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (15/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (15/8/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
3. Suara Sukarno Membaca Proklamasi, Bukan Direkam pada 17 Agustus 1945
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
Jika membaca petikan lengkap Proklamasi di atas, suara lantang Sukarno akan selalu terngiang-ngiang dalam ingatan. Namun, rekaman yang terlanjur fenomenal dan diulang-ulang itu, rupanya bukanlah suara Sukarno saat membacakan Proklamasi untuk kali pertama di Pegangsaan Timur Nomor 56 pada 17 Agustus 1945, melainkan direkam tahun 1950-an.
ADVERTISEMENT
Fakta itu berawal dari kisah Moehammad Joesoef Ronodipoero, wartawan Hoso Kyoku, yang di kemudian hari menjadi pendiri Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Menurut Jusuf, seperti tertera di buku Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan, alat perekam yang digunakan di Pegangsaan Timur 56 saat itu, tidak berfungsi. Walhasil, suara Sukarno tidak terekam.
Meski, ada beberapa sumber pula yang menceritakan bahwa sama sekali tidak ada --pun tak terpikirkan-- aktivitas perekaman di saat-saat genting seperti itu.
“Suara rekaman yang kemudian diperdengarkan mengesan hingga sekarang itu, diucapkan akhir tahun 1951. Menurut Jusuf, ia kebetulan datang menghadap dan meminta Bung Karno membacakan lagi teks Proklamasi kemerdekaan itu,” tulis sang penulis buku, Sularto, yang merujuk sumber koran Kompas, 16 Agustus 1995.
ADVERTISEMENT
Sehingga, yang membacakan ulang teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945 di ruang studio Kantor Berita Domei saat itu, tak lain adalah Yusuf. Dibantu rekannya, Suprapto, Syahrudin dan Bakhtiar Lubis, Jusuf membacakan ulang teks Proklamasi ke dalam Bahasa Inggris sekitar pukul 19.00 waktu Jawa.
Pembacaan ulang Proklamasi itu ia lakukan atas perintah Adam Malik, yang mendapat mandat Sukarno untuk menyebarkan berita kemerdekaan seluas-luasnya.
Sementara, dalam buku Bung Karno Sang Singa Podium, perekaman suara Bung Karno dibuat di studio RRI Jakarta. Lalu, sumber lain juga menyebut, rekaman itu dibacakan bukan tahun 1951, melainkan tahun 1950, ketika RRI sudah lima tahun terbentuk dan memiliki peralatan-peralatan mumpuni.
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari kejadian warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Tahun 1947. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari kejadian warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Tahun 1947. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
4. Tidak ada foto Sukarno membacakan teks Proklamasi saat berita tersiar di koran-koran
ADVERTISEMENT
Foto Sukarno dengan pakaian bernuansa putih lengkap dengan peci hitamnya yang memegang secarik kertas dengan kedua tangannya --lalu fenomenal dilihat seluruh dunia-- rupanya baru bisa dipublikasikan beberapa bulan setelah Proklamasi itu dibacakan. Oleh karena itu, berita-berita yang disebarkan melalui pamflet maupun koran, sama sekali tidak memajang foto Sukarno.
“Koran - koran yang ada di bawah Jepang seperti Asia Raya, Suara Asia, dan juga koran yang berada di Sumatra, Celebes dan segala macam itu, tanggal 18 dan 19 (Agustus 1945) menyiarkan berita itu tanpa foto proklamasi. Itu foto baru 6 bulan berikutnya bisa kita lihat di koran Merdeka yang sudah terbit,” kenang jurnalis senior Antara, Oscar Motuloh, saat berbincang dengan kumparan.
ADVERTISEMENT
Foto detik-detik pembacaan Proklamasi diabadikan oleh dua orang bersaudara, Frans dan Alex Mendur. Kamera Leica dan satu rol film berhasil mengabadikan momen Proklamasi.
Suasana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 (Foto: jakarta.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 (Foto: jakarta.go.id)
Kempeitai (polisi tentara Jepang) berhasil merampas bidikan foto-foto milik Alex. Alhasil, hanya foto Frans yang bisa diselamatkan, lalu ia sembunyikan di bawah pohon, di halaman belakang Kantor Harian Asia Raya.
Sukarno (kiri) didampingi Moh. Hatta memmpin Upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada saat dinyatakan kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi, Jakarta. (Foto: Arsip foto Kempen RI)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno (kiri) didampingi Moh. Hatta memmpin Upacara pengibaran Bendera Merah Putih pada saat dinyatakan kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi, Jakarta. (Foto: Arsip foto Kempen RI)
Ada 3 pelat negatif foto yang ia potret, antara lain: saat Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pengiringan bendera merah putih, dan suasana para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.
"Foto-foto bersejarah tersebut pertama kali dimuat di Harian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946," tulis Rhien Soemohadiwidjojo, dalam Bung Karno Sang Singa Podium.
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).
ADVERTISEMENT